Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Apa Saja Kejanggalan Proyek Menara BTS

Pembangunan menara BTS Kementerian Komunikasi dan Informatika di daerah terpencil sarat masalah. Tak membayar tanah masyarakat.

28 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah berencana membangun BTS di 7.904 desa.

  • Proyek BTS sarat masalah dari tender hingga pelaksanaan di lapangan.

  • Meski BTS sudah dibangun, masyarakat masih susah mendapat sinyal Internet.

MENARA base transceiver station (BTS) 4G di Desa Lahema, Kecamatan Wakate, Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku, sudah berdiri sejak Maret lalu. Tingginya menjulang hingga 32 meter. Tapi masyarakat masih kesulitan menggunakan Internet. “Kalau pesan WhatsApp lama terkirim. Telepon juga tidak bisa,” kata Syahrul Kaiterlomin, salah seorang warga desa, pada Rabu, 24 Mei lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiang baja tersebut merupakan satu dari 12 BTS proyek Kementerian Komunikasi dan Informatika yang dibangun di Kabupaten Seram Bagian Timur pada 2022. Pelaksanaannya dikoordinasi Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI). Pembangunan menara berjalan terseok-seok. Penyebabnya, kontraktor tak kunjung membayar upah pekerja sebesar Rp 5-10 juta per orang. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syahrul mengetahui informasi itu karena sebagian pekerja adalah penduduk lokal. Sisanya berasal dari Sanana, Kepulauan Sula, Maluku Utara; dan Negeri Tamilouw, Maluku Tengah. “Mereka tidak bekerja empat bulan,” ujar pria 28 tahun itu.

Baca: Mengapa Proyek Pembangunan Internet Desa Terpencil Kisruh?

Persoalan upah pekerja hanya satu dari sekian masalah proyek BTS pemerintah di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal. Rencananya Bakti akan membangun BTS di 7.904 desa di seluruh Indonesia pada 2021-2024. Proyek yang dinamakan Satu Desa Satu BTS itu menelan dana sekitar Rp 16 triliun yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pembangunan BTS terbagi menjadi dua tahap. Tahap pertama sebanyak 4.200 BTS. Area pembangunan berada di desa terpencil di Pulau Sumatera, Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara, Papua Barat, dan Papua. Sisanya dilanjutkan di tahap kedua. 

Desa Lahema, tempat tinggal Syahrul, termasuk penerima menara Internet pada tahap pertama. Dari catatan tender, wilayah ini masuk paket 1 pembangunan BTS untuk wilayah Sulawesi dan Kalimantan. Kontraktornya adalah PT Fiberhome Technologies Indonesia bersama PT Multi Trans Data.

Fiberhome bersama Multi Trans Data serta PT Infrastruktur Telekomunikasi Indonesia (Telkominfra) adalah konsorsium yang memenangi tender paket 1 dan 2 dengan nilai lebih dari Rp 3,5 triliun. Telkominfra merupakan anak usaha PT Telkom, sedangkan Fiberhome anak usaha perusahaan asal Cina, Wuhan Fiberhome International Technologies. Di tahap pertama, konsorsium itu berencana membangun BTS di 1.435 desa.

Pemenang tender lain adalah konsorsium PT Lintasarta, Huawei, dan PT Surya Energi Indotama. PT Lintasarta dan PT Surya merupakan anak usaha Indosat dan PT Len Industri. Konsorsium tersebut memenangi paket 3 senilai Rp 2,8 triliun untuk membangun BTS di Papua Barat dan Papua bagian tengah-barat.

Adapun paket 4 dan 5 senilai Rp 4,3 triliun dimenangi konsorsium PT Infrastruktur Bisnis Sejahtera (IBS) dan ZTE Indonesia. Konsorsium ini membangun BTS di hampir seluruh Papua. IBS merupakan cicit usaha PT Mora Telematika Indonesia.

Dari penelusuran akta kepemilikan, PT Mora merupakan kongsi bisnis Sinar Mas Group dan Galumbang Menak Simanjuntak lewat PT Candrakarya Multikreasi dan PT Gema Lintas Benua. Dihubungi lewat akun WhatsApp, Corporate Communication Sinar Mas President Office, Stephanie Halim, menilai keterlibatan anak perusahaannya dalam proyek ini tak terkait dengan manajemen. “Tidak relevan jika dikaitkan dengan Sinar Mas sebab kami tidak ikut dalam tender tersebut,” ujarnya.

Belakangan Kejaksaan Agung mengendus kejanggalan proyek tersebut. Penyidik sudah menetapkan tujuh tersangka. Salah seorang di antaranya adalah Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate. Galumbang juga sudah menjadi tersangka korupsi BTS.

Dari audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, proyek BTS itu diduga merugikan negara Rp 8,03 triliun. Presiden Joko Widodo menunjuk Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menggantikan Johnny yang meringkuk di bui sejak Rabu, 17 Mei lalu.

Pemerintah merancang proyek BTS sejak 2006. Pada waktu itu, Sofyan Djalil menjabat Menteri Kominfo. Mahfud Md. mengatakan sudah memanggil para mantan menteri untuk dimintai pendapat tentang kelanjutan pembangunan BTS, termasuk Sofyan.

Pekerja menggali area yang akan dijadikan pondasi cakar ayam BTS 4G Bakti Kominfo di Desa Fat Iba, Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara, 26 Desember 2021. Dok. Tempo

Menurut Sofyan, proyek BTS tersebut adalah program yang bagus untuk mengatasi kesenjangan digital antarwilayah, khususnya di daerah terpencil. Ia menyarankan Mahfud melanjutkan proyek itu. “Mungkin eksekusinya ada masalah,” ucap Sofyan pada Sabtu, 27 Mei lalu. Belakangan Mahfud memutuskan tetap melanjutkan proyek itu.

Badan Pemeriksa Keuangan juga menemukan kejanggalan proyek BTS. Audit BPK menemukan program tersebut dianggap boros Rp 1,5 triliun. Anggota BPK, Achsanul Qosasi, mengatakan, selain pemborosan, pembangunan BTS sarat problem dari tender hingga pelaksanaan di lapangan.

Misalnya pelaksanaan tender paket 4 dan 5. Audit BPK menyebutkan, berdasarkan hasil evaluasi penawaran, kelompok kerja Kementerian sudah menyepakati konsorsium IBS-ZTE Indonesia tidak lolos untuk tender paket 4 dan 5 karena tidak memenuhi syarat finansial dan teknis pada 15 Januari 2021. Belakangan, kelompok kerja mengubah dokumen penawaran teknis. Perubahan itu, tulis audit BPK, membuat konsorsium IBS-ZTE Indonesia bisa memenuhi persyaratan serta ditetapkan sebagai pemenang tender.

Permasalahan lain adalah perihal teknologi. Menurut Achsanul, teknologi yang dipakai untuk 4.200 BTS tak kompatibel dengan teknologi satelit Satria. Satelit Satria bersama pembangunan BTS merupakan proyek pemerintah demi mengatasi persoalan susah sinyal serta kesenjangan digital. “Kalau enggak cocok, besar kemungkinan akan diganti dengan teknologi di BTS dan akan muncul proyek baru lagi,” tutur Achsanul pada Rabu, 24 Mei lalu.

Adapun satelit Satria dibangun oleh PT Satelit Nusantara Tiga bekerja sama dengan perusahaan asal Prancis, Thales Alenia Space. Anggaran pembangunan menelan dana Rp 8 triliun. Danareksa dan Telkom memiliki saham PT Satelit Nusantara lewat PT Pasifik Satelit Nusantara. Rencananya Satria akan diluncurkan pada Juni nanti.

BPK juga menyoroti persoalan lahan dalam pembangunan BTS. Pembangunan BTS dianggap belum seluruhnya memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Dari  1.007 BTS yang telah dibangun pada 2021, baru 37,8 persen yang memiliki IMB. Adapun yang memiliki perjanjian kerja sama pinjam-pakai lahan baru di 58 lokasi atau desa.

Di lapangan, masalah lahan menjadi persoalan. Hariyati Umaternate, warga Desa Modipuhi, Kecamatan Mangoli Utara, Kepulauan Sula, Maluku Utara, mengatakan diminta menandatangani sebuah surat hibah tanah oleh aparat desa untuk pembangunan BTS. Tanah itu, dia mengungkapkan, dihibahkan oleh orang tuanya kepada pemerintah desa untuk pembangunan BTS. Tanpa curiga, Hariyati meneken surat itu.

Esoknya ia menceritakan penandatanganan itu kepada kakaknya. Sang kakak, Hariyati menambahkan, justru marah. “Dia bilang, seharusnya pemerintah bayar karena itu bukan milik pribadi,” ujar Hariyati.

Berbeda dengan Hariyati, Mochtar Saniapon, warga Desa Minaluli, mendapat ganti rugi Rp 30 juta. “Tanah itu bertuan. Kalau diambil untuk masyarakat enggak masalah, tapi ini untuk perusahaan,” kata Mochtar. 

Kini Hariyati hanya bisa gigit jari. Selain tak mendapat uang ganti rugi, guru honorer sekolah dasar itu pun masih berjibaku dengan sinyal Internet yang naik-turun. Meski menara BTS sudah berdiri di desanya, Hariyati masih saja kesulitan mendapat sinyal Internet. “Sekarang saya kalau telepon harus ke pantai cari sinyal, baru bisa.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Riky Ferdianto, Fajar Pebrianto, dan Ihsan Reliubun berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sinyal Janggal Internet Desa"

Erwan Hermawan

Erwan Hermawan

Menjadi jurnalis di Tempo sejak 2013. Kini bertugas di Desk investigasi majalah Tempo dan meliput isu korupsi lingkungan, pangan, hingga tambang. Fellow beberapa program liputan, termasuk Rainforest Journalism Fund dari Pulitzer Center. Lulusan IPB University.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus