Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Selama ini kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) lebih kerap dan menarik perhatian untuk dibicarakan. Namun menurut Direktur Pelindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, dari 53 ribu kasus Warga Negara Indonesia (WNI) yang berangkat ke luar negeri secara unprosedural, mayoritas merupakan kasus penyelundupan manusia. Meski ia tidak bisa merinci angkanya, sebab tidak tercatat secara rinci di Kementerian Luar Negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Karena penyelundupan manusia dia yang mau berangkat, jadi dia nggak mau lapor," ujar Judha. Kasus ini berbeda dengan korban TPPO yang melapor kepada Konsulat Jenderal RI setempat, karena mereka merasa dieksploitasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Umumnya, menurut Judha, kasus penyelundupan manusia memiliki kenalan atau keluarga di negara tujuan. Ia diajak untuk ikut bekerja di sana. Dengan kemauan sendiri, ia pindah ke negara lain. Namun dalam kasus TPPO, ada pemaksaan dan ekspolitasi serta pencabutan kemerdekaan korban.
Berdasarkan data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) pada Agustus 2023 ada 2.425 korban TPPO yang berhasil diselamatkan. Data itu dari laporan yang diterima selama rentan waktu 5 Juni-14 Agustus.
Sementara, berdasarkan data dari satu data indonesia, ada 3.363 korban TPPO selama tahun 2023. Data ini dihimpun dari data Bareskim dan Polda. Artinya, angka korban penyelundupan manusia lebih dari itu.
Sumber Tempo di Kemenlu yang mengetahui ruang lingkup pekerja migran ilegal mengatakan, tingginya angka korban penyelundupan manusia salah-satunya karena sistem perizinan di Indonesia yang ribet dan mahal. "Jalur resmi mbulet, mahal prosesnya mejanya banyak," ujar sumber tersebut. Sementara ia menyebut negara lain seperti Filipina mampu memfasilitasi warganya untuk bekerja di luar negeri dengan sistem yang ringkas.
Menaggapi hal itu, Judha mengakui, bahwa memang perlu adanya pembenahan tata kelola di imigrasi. Yakni membuat koridor aman migrasi yang mudah, murah dan aman. "Perlu dilakukan penyederhanaan proses administrasi keberangkatan ke luar negeri," ujar Judha.
Ia juga menyebut, Indonesia perlu membuat sistem layanan pekerja migran satu pintu. Lewat cara ini, pekerja migran hanya perlu melalui satu pintu loket untuk memenuhi prasyarat. Pekerjaan rumah selanjutnya ialah, masing-masing lembaga yang terlibat harus bekerja sama di satu loket yang terkoordinasi.