Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Prancis tiba-tiba membara menyusul tewasnya seorang remaja Nahel Merzouk di tangan polisi, yang mencoba menghentikannya karena melanggar lalu lintas, Selasa lalu, 27 Juni 2023. Demo rusuh meledak di hampir seluruh kota mulai Rabu, keesokan harinya, dan terus berlanjut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kerusuhan di Prancis mulai mereda Senin malam, 3 Juli 2023, namun mulai merembet ke negara tetangga Swiss. Tak kurang dari 700 orang ditangkap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sama seperti tewasnya pria berkulit hitam George Floyd pada 25 Mei 2020, yang melahirkan gerakan Black Lives Matter di Amerika Serikat dan Eropa, kejadian ini tidak lepas dari masih adanya prasangka rasial aparat terhadap kelompok minoritas.
Hal itu yang memicu masyarakat keturunan Afrika di Prancis turun ke jalan menentang tindakan polisi yang mereka anggak sewenang-wenang dan rasis terhadap warga minoritas.
Kematian Nahel telah membuka luka lama tentang kekerasan polisi dan rasisme sistemik di dalam lembaga penegak hukum, terutama pada warga non-pribumi berpenghasilan rendah di pinggiran kota besar di Prancis. Sejauh ini, tuduhan itu selalu dibantah pihak berwenang.
Meskipun petugas polisi yang terlibat sedang diselidiki atas pembunuhan dan Presiden Emmanuel Macron mengutuk penembakan itu, kemarahan publik telah tumpah ke jalan-jalan di seluruh Prancis. Sekitar 45.000 petugas dikerahkan untuk meredam aksi massa itu, sementara ratusan pengunjuk rasa ditangkap karena disangka merusak atau menjarah toko.
Pembunuhan itu adalah penembakan fatal ketiga berkaitan dengan pelanggaran lintas di Prancis selama 2023, turun dari rekor 13 tahun lalu. Mayoritas korban penembakan sejak 2017 adalah orang kulit hitam atau keturunan Arab.
Seperti Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa lainnya, Prancis telah mengalami gelombang protes sebelumnya atas perilaku polisi, terutama terhadap minoritas.
Pada tahun 2005, kekerasan meletus di pinggiran Paris Clichy-sous-Bois dan menyebar ke seluruh Prancis setelah dua remaja keturunan Afrika tersengat listrik di gardu listrik saat mereka bersembunyi dari kejaran polisi. Kerusuhan itu mengguncang Prancis selama tiga minggu dan memaksa Presiden Jacques Chirac untuk mengumumkan keadaan darurat.
Akar masalah rasial Prancis
Rasisme di Prancis dinilai sebagai masalah sosial paling serius di masyarakat, meski selalu dibantah oleh pemerintah. Sebagian masyarakat percaya bahwa rasisme tidak ada dalam skala serius.
Selain terhadap warna kulit, keluhan rasisme biasanya berupa antisemitisme, serta prasangka terhadap etnis Muslim dan non-Kristen lainnya. Rasisme ini memiliki sejarah panjang. Tindakan telah dilaporkan terhadap anggota kelompok minoritas termasuk Yahudi, Afrika, Arab dan orang Asia. Data kepolisian 2019 menunjukkan sebanyak 1.142 tindakan yang tergolong "rasis" tanpa konotasi agama.
Beberapa tindakan rasis memiliki konotasi agama: data yang sama menunjukkan 1.052 tindakan anti-Kristen, 687 anti-Yahudi, dan 154 tindakan anti-Muslim dilakukan pada 2019 di negara dengan populasi lebih dari 67 juta itu.
Meskipun populasi Muslim Prancis jauh melebihi populasi Yahudi, tindakan antisemit jauh melebihi jumlah tindakan Islamofobia pada 2019 menurut statistik resmi pemerintah.
Penilaian mendalam tentang masalah ini tetap sulit karena undang-undang Prancis melarang pemerintah mengumpulkan data sensus etnis dan agama.
Komisi Nasional dan Konsultatif Hak Asasi Manusia Prancis melaporkan pada 2016 bahwa hanya 8% orang Prancis yang percaya bahwa beberapa ras lebih unggul dari yang lain.
Undang-Undang Dasar 1958 menjamin perlakuan yang sama bagi warga negara terlepas dari asal, ras atau agama. Bahkan Prancis termasuk negara Barat yang mempelopori keterwakilan kelompok kulit hitam dalam parlemen sejak 1793.
Meski begitu, selalu muncul gerakan rasisme, seperti gerakan anti-Arab pada 1970-an. Kelompok Muslim juga selalu merasa dianak-tirikan, misalnya dengan larangan pemakaian burkah.
Namun pemerintah Prancis melihat, masalah kesenjangan di lingkungan perkotaan berpenghasilan rendah dan kenakalan remaja yang jadi penyebab demo, bukan masalah ras atau etnis.
Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin membidik keluarga yang membiarkan anak-anak membuat kekacauan di jalanan, mengatakan rata-rata dari mereka yang ditangkap berusia 17 tahun dengan beberapa di antaranya berusia 12 tahun.
"Ini bukan tugas polisi nasional atau gendarmerie atau walikota atau negara untuk menyelesaikan masalah pembakaran sekolah oleh remaja berusia 12 tahun. Ini masalah otoritas orang tua," kata Darmanin saat berkunjung ke Reims.
Mungkin pemerintah Prancis enggan mengakui bahwa mereka masih mempunya PR dalam malasah keadilan rasial ini.
REUTERS
Pilihan Editor Pertama Sejak Pemberontakan Grup Wagner, Putin Hadiri KTT Kerjasama Shanghai Secara Virtual