Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Kontroversi Rencana Sanksi untuk Penunggak Iuran BPJS Kesehatan

BPJS Watch menilai pemerintah tak perlu merumuskan aturan baru soal sanksi untuk penunggak iuran BPJS Kesehatan.

9 Oktober 2019 | 14.46 WIB

Ilustrasi BPJS Kesehatan. Dok.TEMPO/Aditia Noviansyah
Perbesar
Ilustrasi BPJS Kesehatan. Dok.TEMPO/Aditia Noviansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah tengah menyusun regulasi untuk menertibkan pembayaran iuran peserta mandiri atau peserta bukan penerima upah (UPBU) BPJS Kesehatan. Dalam aturan itu, peserta yang menunggak membayar iuran bakal dipersulit mengakses kebijakan publik, seperti pembuatan dan perpanjangan SIM hingga pengajuan kredit perumahan rakyat di bank.

"Domainnya ada di Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Drafnya lagi disusun, jadi memang belum bisa dibuka untuk publik," kata Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma'ruf saat dihubungi Tempo pada Rabu, 9 Oktober 2019.

Saat ini, aturan tersebut sedang dirembuk oleh Kemenko PMK bersama Kementerian Kesehatan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, serta kementerian dan lembaga terkait lainnya. Draf aturan ini bakal terbit sebagai instruksi presiden atau inpres. Setelah draf kelar digodok, dokumen tersebut secara resmi akan disorongkan ke Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk disahkan.

Iqbal mengatakan pemerintah dan BPJS Kesehatan sepakat segera mengambil langkah untuk mendisplinkan peserta mandiri JKN yang kerap mangkir membayar premi. Selain mengusulkan aturan, pemerintah bakal segera menyusun integrasi data yang langsung terkoneksi antara BPJS Kesehatan, kepolisian, lembaga penegak hukum, dan kementerian atau lembaga pemerintah lainnya.

Pemerintah telah memiliki aturan yang memayungi pemberian sanksi bagi peserta jaminan sosial yang bermasalah. Aturan itu tertuang dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.

Pasal itu menyebutkan bahwa sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu dapat dikenakan kepada setiap orang selain pemberi kerja, pekerja, dan penerima bantuan iuran yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program jaminan sosial.

Adapun pelayanan publik yang dimaksud ialah pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB), surat izin mengemudi (SIM), sertifikat tanah, paspor, dan surat tanda nomor kendaraan (STNK). Sanksi itu dapat diberikan oleh unit pelayanan publik instansi pemerintah, pemerintah daerah, provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan ketidakdisiplinan peserta mandiri JKN untuk membayar iuran menjadi salah satu akar masalah membengkaknya defisit yang mesti ditanggung entitasnya. "Akar masalah kita adalah kolektabilitas (iuran) kurang dari 3 persen dari spending (pengeluaran)," ujar Fachmi.
Usulan Mengerek Premi Asuransi BPJS Kesehatan
Sejak berdiri 6 tahun lalu, BPJS Kesehatan selalu membukukan keuangan yang merah. Pada awal beroperasi, BPJS menanggung gagal bayar mencapai sekitar Rp 3 triliun. Sedangkan pada 2018, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan mencatat BPJS Kesehatan telah mengalami gagal bayar sebesar Rp 9,1 triliun. Tahun ini, defisit tersebut diduga akan membengkak menjadi Rp 32,84 triliun.

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, hingga saat ini, peserta mandiri yang rutin membayar iuran BPJS hanya 50 persen. Ia menyebut, separuh dari peserta mandiri biasanya membayar iuran hanya saat sakit. Setelah sembuh, mereka tersebut tak lagi memenuhi kewajibannya.

"Jadi yang buat bleeding (berdarah-darah) itu peserta mandiri. Yang bikin bleeding itu 32 juta orang (jumlah peserta mandiri). Sedangkan yang lainnya tidak buat bleeding," ujarnya.

Ketua Bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengapresiasi langkah pemerintah menegakkan aturan untuk peserta mandiri JKN yang tak tertib membayar premi. Sebab, aturan itu dapat membantu menambal tunggakan BPJS Kesehatan yang makin hari makin bertambah.

"Semangat untuk menekankan pada kepatuhan pembayaran iuran adalah baik mengingat tunggakan iuran masih besar," tuturnya.

Namun, ia berpendapat, pemerintah tak perlu lagi merumuskan aturan lantaran telah memiliki perangkat hukum berupa PP Nomor 86 Tahun 2023. Menurut dia, lembaga terkait hanya perlu mempertebal instrumen sanksi dan aplikasi penegakannya di lapangan.

Di sisi lain, Timboel mengatakan pemerintah juga mesti merancang dan menegakkan aturan yang sama kepada badan usaha. Sebab, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013, pemerintah mewajibkan seluruh badan usaha mendaftarkan dan membayarkan iuran pekerjanya ke BPJS Kesehatan.

Bila badan usaha ketahuan menunggak pembayaran BPJS Kesehatan karyawannya, entitas juga mesti memperoleh sanksi. "Karena faktanya masih banyak badan usaha yang tidak patuh, tapi tidak dapat sanksi layanan publik," ucapnya.

Sembari mempertajam penegakan hukum bagi peserta yang menunggak, Timboel meminta pemerintah memperbaiki sistem layanan JKN. Dengan sistem yang rapi, masyarakat bakal otomatis terdorong untuk rutin membayar premi asuransi.

Saat ini, pemerintah mencatat jumlah peserta iuran BPJS Kesehatan mencapai 223 juta jiwa. Sebanyak 32 juta di antaranya adalah peserta mandiri. Sedangkan 133,8 juta jiwa merupakan peserta penerima bantuan iuran atau PBI dari pusat dan daerah. Sisanya ialah peserta dari kelompok pegawai BUMN, PNS, TNI, dan Polri.

Adapun Ombudsman menilai pemerintah perlu berhati-hati saat hendak menerbitkan sanksi terkait kepesertaan BPJS Kesehatan. Lembaga itu pun menyarankan adanya institutional review terhadap skema pelayanan jaminan sosial.

Anggota Ombudsman Alamsyah Saragih menjelaskan polemik muncul di masyarakat setelah BPJS Kesehatan menyatakan akan menyiapkan regulasi untuk penerapan sanksi bagi peserta penunggak iuran. 

Menurut Alamsyah, Ombudsman memandang perlu kehati-hatian bagi pemerintah dan BPJS Kesehatan dalam menerbitkan suatu kebijakan mengenai sanksi yang tidak diatur oleh undang-undang.

"Jangan karena pemerintah gagal membangun kelembagaan sosial-ekonomi untuk mendukung kepastian pembiayaan jaminan kesehatan, kemudian rakyat dihukum dengan mencabut hak-hak konstitusional lainnya. Pelayanan publik itu hak konstitusional warga," ujar Alamsyah.

Menurut dia, sebagian dari masyarakat yang menunggak iuran tersebut bukanlah penerima upah formal. Bahkan, mereka relatif terdiskriminasi dibandingkan dengan masyarakat yang bekerja di sektor formal karena tak bisa berbagi beban iuran dengan perusahaan tempatnya bekerja.

Sanksi terhadap penunggak iuran BPJS Kesehatan juga ditanggapi warga net. Salah seorang netizen mengaku tak habis pikir dengan rencana pemerintah tersebut. "Serius tanya. Ini BPJS sebetulnya pelayanan apa sih? Melebar kemana-mana," katanya seperti dikutip dari media sosial Twitter, Senin, 7 Oktober 2019.

FRANCISCA CHRISTY ROSANA | BISNIS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, ia bergabung dengan Tempo pada 2015. Kini meliput isu politik untuk desk Nasional dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco. Ia meliput kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke beberapa negara, termasuk Indonesia, pada 2024 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus