Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kejaksaan Agung hanya berfokus menelusuri tiga perusahaan yang terjerat korupsi minyak goreng.
Ada dua perusahaan besar kelapa sawit lain yang tak ikut terseret.
Kuasa hukum Lin Che Wei meminta penyidik juga memeriksa perusahaan kelapa sawit lain.
RAPAT secara online Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) itu berlangsung pada Rabu, 16 Maret 2022. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, yang menjadi Ketua Komite Pengarah BPDPKS, memimpin diskusi. Selain pengusaha yang datang, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati serta Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil juga hadir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Acara itu menghadirkan empat pembicara yang berstatus "narasumber utama" Komite Pengarah BPDPKS. Mereka adalah Chief Executive Officer Golden Agri-Resources Ltd, perusahaan yang menguasai Sinar Mas Group, Franky Oesman Widjaja; Martias dari Grup First Resources; Martua Sitorus dari Grup KPN; Arif Patrick Rachmat dari Grup Triputra; dan Rino Afriano sebagai Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia. Menteri Airlangga mengangkat mereka sebagai anggota Komite dua tahun sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Franky Oesman datang mewakili PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk, anak perusahaan Golden-Agri Resources. Sama seperti Franky, pemilik hingga petinggi perusahaan kelapa sawit lain turut hadir sebagai peserta. Salah satu agenda pertemuan itu adalah membahas kelangkaan minyak goreng di pasar dalam negeri. “Semangatnya untuk menjamin ketersediaan minyak goreng dengan harga terjangkau,” kata Rino Afriano mengenai pertemuan tersebut pada Sabtu, 29 Juli lalu.
Pertemuan digelar sehari setelah Presiden Joko Widodo menggelar rapat pembahasan harga minyak goreng yang naik di Istana Negara. Ia meminta anak buahnya menindaklanjuti keputusan penerapan domestic market obligation (DMO) atau kewajiban perusahaan kelapa sawit memasok kebutuhan minyak goreng dalam negeri untuk refined, bleached, and deodorized palm olein sebesar 30 persen sebagai upaya mengontrol harga.
Baca: Bagaimana Pengusaha Menikmati Dana Sawit
Sebelumnya, serangkaian pertemuan juga sudah digelar dan melibatkan petinggi korporasi sawit. Salah satu pertemuan dilangsungkan pada 12 Februari 2022. Pertemuan itu dibuat oleh Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei, anggota Tim Asistensi Menteri Airlangga Hartarto, yang belakangan masuk bui karena menjadi terpidana dugaan korupsi minyak goreng. Dalam rapat ini, untuk pertama kali, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyampaikan stok minyak goreng nasional yang sudah kritis.
Lutfi meminta para pengusaha sawit menggalang suplai distribusi minyak goreng sebesar 20 juta liter mulai 14 Februari 2022. Penggelontoran ini belakangan menjadi syarat korporasi sawit bisa tetap mengekspor minyak sawit ketika harga sedang naik. Lutfi meminta pengusaha berkoordinasi dengan para narasumber utama BPDPKS.
Di ujung pertemuan, Franky turut menyampaikan komitmennya mendistribusikan minyak goreng ke pasar dalam negeri. Ada 15 perusahaan yang terlibat. Grup Wilmar menyatakan komitmen penyaluran 70 ribu ton dalam sebulan, menyusul Grup Musim Mas sebanyak 60 ribu ton, Grup Asian Agri 53 ribu ton, Grup Sinar Mas 40 ribu ton, dan Grup Permata Hijau 30 ribu ton.
Jaksa di Kejaksaan Agung mencium aroma tak sedap dari serangkaian pertemuan itu. Kecurigaan jaksa melahirkan pengusutan dugaan korupsi minyak goreng. Jaksa menilai keputusan pemerintah dan pengusaha dalam pertemuan tersebut merugikan negara.
Kejaksaan Agung menetapkan lima tersangka dugaan korupsi itu. Mereka adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana, Komisaris Utama PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor, General Manager PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang, dan Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group Stanley Ma. Belakangan, Lin Che Wei ikut terseret. Kelimanya sudah divonis bersalah dalam putusan kasasi Mahkamah Agung.
Tak hanya perseorangan. Pada Juni lalu, Kejaksaan Agung juga menetapkan Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group sebagai tersangka korporasi. Penetapan ini mengacu pada putusan kasasi terpidana yang memastikan kerugian negara sebesar Rp 6,47 triliun dalam distribusi minyak goreng. “Putusan inkracht itu merupakan gambaran aksi dari tiga korporasi terhadap kerugian negara,” ucap Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana.
Tiga terdakwa kasus ekspor minyak sawit mentah dan turunannya, mantan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana (tengah); anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Perekonomian, Lin Che Wei (kanan); dan Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup Stanley Ma, mengikuti sidang perdana pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 31 Agustus 2022/Tempo/Imam Sukamto
Masalahnya, masih ada dua perusahaan yang tak masuk penyelidikan jaksa, yakni Sinar Mas Group dan Asian Agri Group. Padahal jaksa menemukan informasi bahwa dua perusahaan itu diduga tidak memenuhi kewajiban mereka kepada pemerintah seperti yang tertuang dalam ketentuan DMO. Mereka juga selalu hadir dalam pertemuan yang membahas solusi pencegahan kelangkaan minyak goreng. Dalam catatan jaksa, perwakilan Sinar Mas dan Asian Agri hadir dalam rapat 2 Maret 2022 yang dipimpin Indrasari ketika membahas persetujuan ekspor.
Seseorang yang mengikuti penyelidikan korupsi minyak goreng mengatakan nama Sinar Mas dan Asian Agri sebenarnya sudah disebut dalam gelar perkara di Kejaksaan Agung. Sinar Mas dianggap berperan karena mengikat komitmen DMO lebih besar ketimbang tiga perusahaan yang sudah menjadi tersangka. Namun pemimpin penyidik jaksa memutuskan penyelidikan hanya berpusat pada Wilmar, Musim Mas, dan Permata Hijau dengan alasan jumlah personel yang terbatas.
PT Sinar Mas Agro merupakan salah satu korporasi kelapa sawit raksasa di Indonesia. Berdasarkan data The Science Agriculture pada 2020, PT Sinar Mas Agro menghasilkan pendapatan hingga Rp 40,3 triliun, terbesar di antara 10 perusahaan sawit yang melantai di Bursa Efek Indonesia. Asian Agri, milik taipan Sukanto Tanoto, juga memiliki kebun sawit hingga seratusan ribu hektare.
Handika Honggowongso, kuasa hukum Lin Che Wei, turut mempertanyakan alasan Kejaksaan Agung yang hanya menjerat tiga korporasi sebagai tersangka korupsi minyak goreng. Meski dituduh menyebabkan kerugian negara, dia menjelaskan, nilai kontribusi Wilmar, Musim Mas, dan Permata Hijau hanya 40 persen dari total Rp 6,47 triliun. Sisa 60 persen justru berasal dari perusahaan lain di pusaran kasus ini. “Kejaksaan tidak fair karena perusahaan yang mengekspor itu banyak,” tuturnya.
Tempo mengajukan surat permohonan wawancara kepada Franky Oesman Widjaja lewat Corporate Communication Senior Officer PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk Annisa Indriyanti. Annisa berjanji meneruskan surat itu. Tapi hingga Sabtu, 29 Juli lalu, surat tak kunjung berbalas. Staf komunikasi Sinar Mas Group enggan menjawab pertanyaan karena merasa bukan kewenangannya.
Permintaan konfirmasi juga dikirimkan kepada Sustainability and Stakeholder Relations Director Asian Agri Bernard Riedo. Dalam berkas dakwaan jaksa, Bernard disebut hadir dalam berbagai pertemuan bersama pengusaha kelapa sawit dan pemerintah mewakili Apical Group, bagian usaha Royal Golden Eagle. Bernard tak bersedia memberi penjelasan. “No comment,” ujarnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan tiga perusahaan yang sudah menjadi tersangka membawahkan puluhan korporasi dalam mendapat persetujuan ekspor. Penyidik, dia mengimbuhkan, masih berfokus mengembalikan kerugian negara lewat ketiganya. Dia menjelaskan, dua perusahaan lain yang terlibat akan didalami lebih lanjut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Erwan Hermawan dan Riky Ferdianto berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jerat Korupsi Tiga Korporasi"