Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LARANGAN kampanye pasangan calon presiden dan wakil presiden Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi yang dijatuhkan Komisi Pemilihan Umum Bali bisa dicabut. Hal ini dikatakan anggota KPU Pusat, Mulyana W. Kusumah, setelah menerima klarifikasi tim kampanye Mega-Hasyim pada Selasa pekan lalu.
Megawati dan Hasyim tak diperkenankan mengadakan rapat umum di Bali. Sempritan itu ditiup KPU setempat setelah kampanye pasangan itu di Tabanan, Bali, 11 Juni lalu, dihadiri para kepala desa dan pegawai negeri sipil di Bali. Atas sempritan itu, ketua kampanye dan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Sutjipto menyatakan, ?KPUD Bali overacting.?
Dalam klarifikasinya, tim kampanye mengakui ada pengerahan kepala desa dan pegawai negeri. Namun pengundangnya bukan PDI Perjuangan dan tim suksesnya, melainkan Gabungan Rakyat Bali (Garba). Kehadiran pegawai negeri dan kepala desa inilah yang menurut KPU setempat melanggar aturan kampanye, sesuai dengan surat KPU Bali tanggal 12 Juni 2004.
Menurut Mulyana, masa kampanye Mega-Hasyim di Bali sebenarnya sudah habis 14 Juni lalu. Karena itu, pencabutan larangan tersebut tidak begitu berpengaruh terhadap kampanye pasangan ini. Sedangkan pelanggaran kampanye oleh Garba kini diproses oleh Panitia Pengawas Pemilu. ?Kami akan memproses pelanggaran pidana pemilu oleh Garba,? kata anggota Panwaslu, Topo Santoso.
Tragedi Polisi, Ironi Guru
MENYAYANGI anak tentunya wajib, asalkan tidak gelap mata yang ternyata mengundang bencana. Guru boleh membela diri, tapi juga harus menahan diri. Marah karena anaknya dihukum sekolahnya, Alim Salman, seorang polisi berpangkat brigadir kepala (bripka) di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, melabrak dan memukuli guru si anak, 5 Juni lalu. Dari sinilah lahir tragedi dan ironi.
Peristiwanya bermula ketika putra Pak Polisi, Muhammad Riswan Alim, terlambat apel pagi di sekolahnya, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri I Raha, Selasa, 1 Juni silam. Sesuai dengan aturan, Riswan ditegur. Eh, alih-alih mengaku salah, Riswan, yang masih duduk di kelas dua, malah berkilah dirinya siswa kelas tiga yang tidak lagi diwajibkan mengikuti apel pagi. Tentu saja, setelah dicek, pemuda tanggung 14 tahun ini dimarahi gurunya. Ia juga sempat ditendang dan dibawa ke ruangan konseling.
Di sana terungkap, Riswan juga sering bolos dan suka menenggak minuman keras. Hari itu juga pihak sekolah langsung melayangkan surat panggilan kepada orang tua Riswan. ?Itu surat kedua. Sebelumnya, 13 Desember tahun lalu, pun kami mengirim su-rat panggilan,? kata Kepala SLTP Negeri 1 Raha, La Tiala.
Esoknya, sekitar pukul 7 pagi, Alim Salman mendatangi sekolah. Setelah memarkir sepeda motornya, Pak Bripka langsung meneriakkan ungkapan amarah. Upaya Wakil Kepala SLTP Negeri 1 Raha yang mengajaknya masuk ruangan pun ditolaknya mentah-matang. Untung, saat itu tak ada insiden.
Tapi, tiga hari kemudian, terjadi pemukulan oleh sang hamba hukum yang merasa telah menjadi hakim. Sasarannya La Tiala dan anggota satuan pengamanan. ?Tak hanya memukuli satpam dan mencoba memukul saya, ia juga mengancam meledakkan sekolah dengan granat,? kata sang kepala sekolah.
Kontan, seluruh Muna geger. Hari-hari berikutnya, ribuan guru di Kabupaten Muna serentak mogok mengajar. Seluruh aktivitas belajar-mengajar di Muna sontak terhenti. ?Kami tak akan mundur hingga pelaku dipecat dari kepolisian,? kata Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Muna, Suhadar Silangin. Tidak tanggung-tanggung, Pelaksana Harian Kepala Dinas Pendidikan Nasional Muna, La Ode Tisi, bahkan mengeluarkan surat dinas berisi seruan agar guru di seluruh Muna mendukung pemogokan tersebut.
Alim Salman sendiri saat ini masih meringkuk di ruang tahanan Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara. Ia membantah versi para guru. ?Demi Tuhan, saya tidak memukul guru. Hanya satpam, itu pun tidak telak,? kata lelaki 50 tahun ini. Telak atau tidak, satpam kan manusia juga. Dan tampaknya Alim harus siap menghadapi konsekuensi ulah cerobohnya. ?Kami tak akan segan menindaknya bila terbukti bersalah,? kata Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Tenggara, Komisaris Polisi Djihartono.
Namun patut disayangkan ketika pihak terserang beralih menjadi penindas dan kehilangan akal sehat. Surat kepala dinas pendidikan tersebut tak hanya menyokong aksi mogok, tapi juga meminta semua sekolah di Muna dan Sulawesi Tenggara menolak menerima Muhammad Riswan Alim. Hal itu disayangkan Rektor Universitas Haluoleo, Kendari, Mahmud Hamundu. ?Itu justru tindakan pelecehan hak asasi oleh para guru,? kata Mahmud. Giliran lingkungan pendidikan yang kehilangan kewarasan. Ironis!
Wakil Gubernur NAD Diperiksa
PEJABAT Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) bergantian diinterogasi tim Markas Besar Kepolisian RI. Jumat pekan lalu, giliran Azwar Abubakar, Wakil Gubernur NAD, diperiksa di Jakarta. Pemeriksaan ini terkait dengan dugaan korupsi pembelian genset listrik senilai Rp 30 miliar oleh pemerintah daerah konflik itu.
Pekan sebelumnya, dua pejabat Aceh juga sudah ditanyai tim Mabes Polri. Mereka adalah Teuku Lizam, Kepala Biro Keuangan Provinsi NAD, dan Sekretaris Daerah Tantowi, menyusul ?bos? mereka, Gubernur Abdullah Puteh.
Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri kini lagi memeriksa aliran dana dari rekening Azwar Abubakar lantaran ?Pak Wagub? memiliki kewenangan mengatur keuangan internal. ?Kalau dari dokumen itu ada (penyimpangan), tinggal sekarang apakah aliran dana itu khusus untuk pemberdayaan listrik atau ada aliran dana lain,? kata Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Suyitno Landung.
Datang ke Mabes Polri tanpa dampingan pengacara, Azwar menyatakan dirinya hanya satu kali mengikuti rapat rencana pembelian arus listrik. Sedangkan soal tudingan korupsi, ia menolak berkomentar. ?Itu polisi yang menilai. Saya sudah menjawab apa adanya,? katanya.
Para pejabat di Aceh masih menghadapi tudingan adanya penggelembungan harga helikopter Mi-2 dari Rusia. Kasus pembelian heli seharga Rp 12 miliar ini sedang ditangani kejaksaan.
Gunung Ijen Ditutup
ALAM tampaknya bereaksi terhadap suhu politik Tanah Air. Setelah Gunung Bromo ?terbatuk?, kini giliran Gunung Ijen di Bondowoso, Jawa Timur, meleduk. Karena kawah gunung mulai menunjukkan kegiatannya, kawasan itu pada Kamis pekan lalu akhirnya ditutup total untuk umum.
Larangan itu berlaku untuk semua pendaki, wisatawan, dan warga di sekitar gunung, yang selama ini dikenal sebagai penambang belerang tradisional. Menurut Kepala Taman Nasional Alas Purwo, M.Z. Hudiyono, penutupan ini atas masukan Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. ?Kondisinya meningkat selama sepekan terakhir. Kami tak ingin aktivitas gunung ini membahayakan seperti yang terjadi pada Bromo,? katanya.
Aktivitas vulkanis Gunung Ijen mulai terasa pada Kamis siang. Banyak batuan belerang yang sudah mulai hangus terbakar keluar dari tepian dasar kawah. Air kawah, yang biasanya berwarna putih, sudah berubah menjadi hijau dan menimbulkan busa panas yang suhunya mencapai 50-an derajat Celsius.
Kotak Pos Etnis Tionghoa
ADA banyak cara menampung aspirasi. Tengok yang dilakukan Pergerakan Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti). Agar anggotanya tak diperlakukan diskriminatif lagi, organisasi ini membuka sebuah tromol pos yang khusus menampung pengaduan mereka. ?Semuanya bisa disampaikan melalui Tromol Pos 888/JKT 10900,? kata Lieus Sungkharisma, Ketua Umum Parti.
Hingga saat ini, perlakuan diskriminatif terhadap warga Tionghoa masih banyak terjadi. Misalnya saat mereka mengurus dokumen seperti kartu tanda penduduk, paspor, dan akta kelahiran. Sebenarnya, menurut Lieus, pemerintah tak menerapkan kebijakan yang diskriminatif. Hanya, hal itu tak tersosialisasi ke daerah. ?Karena itu, kami berharap semua pengaduan ini bisa disampaikan dan tidak terjadi lagi kondisi seperti itu,? ujar Lieus.
Calon Presiden Mejeng di AFI
BAGI para calon presiden, setiap peluang menuai simpati mesti disambar. Ajang gaul anak baru gede semacam Akademi Fantasi Indosiar (AFI) pun disambangi para politisi gaek itu. Tak ayal, dua hari sebelum grand final AFI berlangsung, tiga kandidat presiden mendatangi lokasi acara di Jakarta Convention Center itu, dari Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Amien Rais. Tak dilaporkan apakah mereka membawa poster Tia, Micky, dan Haikal.
?Mereka ingin merebut 6,2 juta suara anak muda pemilih pertama,? kata Ikrar Nusa Bhakti. Pengamat politik ini juga melihat, dengan datang ke ajang pesta anak muda itu, para kandidat presiden ingin terlihat ?gaul? dan tidak dianggap kuno?dan anak muda memilih mereka.
Namun pengamat telekomunikasi Roy Suryo tak setuju dengan aksi kontestan politik itu. Menurut dia, selain final itu sendiri akan menjadi sangat formal dengan kehadiran mereka, AFI menjadi terpolitisasi. ?Ini ibarat nasi goreng pakai tembakau,? kata Roy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo