Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HASIL Ujian Akhir Nasional (UAN) sempat melegakan pelaku pendidikan. Seperti yang diumumkan Departemen Pendidikan, jumlah siswa sekolah menengah umum yang tidak lulus tahun ini hanya 11,45 persen. Angka ini hampir sama dengan tahun sebelumnya, sekitar 10 persen. Padahal batas nilai kelulusan (untuk mata pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika) dinaikkan dari 3,01 tahun lalu menjadi 4,01 tahun ini.
Lalu makin pandaikah para siswa SMU dan sekolah menengah kejuruan itu? Ternyata tidak. Senin pekan lalu, sejumlah sekolah mengungkap akal-akalan Departemen Pendidikan agar tingkat kelulusan sesuai dengan target di bawah 15 persen. Utak-atik angka dengan memakai patokan tabel konversi membuat nilai yang jeblok dikatrol naik, sementara nilai yang tinggi malah dikerek turun.
Sepertinya subsidi silang ini cukup adil. Namun sulap nilai itu jelas merugikan para siswa pandai, yang nilainya harus disunat. Misalnya enam siswa SMU Negeri 1 Malang, Jawa Timur, yang jadi korban. Mereka terancam gagal masuk seleksi AMN.
Soalnya, Akademi Militer Nasional itu mensyaratkan rata-rata nilai UAN harus di atas tujuh, sementara keenam siswa tersebut hanya memperoleh nilai rata-rata enam. Padahal baik mereka maupun guru mereka sendiri yakin nilai yang diraih tidak kurang dari angka delapan. "Mereka korban konversi," kata Bambang Tri Bagyo, guru bahasa Inggris SMU Negeri 1 Malang.
Nasib serupa dialami ratusan siswa lain yang berniat melanjutkan pendidikan ke sekolah kedinasan seperti Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Begitu pula siswa yang berniat mengajukan permohonan beasiswa kuliah di luar negeri, yang jadinya terpaksa membatalkan niatnya. Sebab, nilai minimal UAN yang disyaratkan pemberi beasiswa tidak dapat mereka lewati.
"Konversi ini merugikan siswa yang pandai," kata Peter B. Sihombing, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMAK Kolese Santo Yusup, Malang. Mengacu pada tabel konversi, menurut Peter, nilai siswa yang hanya bisa menjawab soal dengan benar di bawah separuh ditambah, sedangkan nilai siswa yang mampu menjawab lebih dari separuh dengan benar malah dikurangi.
Peter mencontohkan ujian bahasa Inggris. Jika siswa hanya menjawab 10 dari 60 soal secara benar, nilainya sebelum konversi 1,67. Setelah dikonversi, nilainya bisa melompat menjadi 4,09. Sedangkan nilai siswa yang bisa menjawab 50 soal dengan benar, sebelum konversi, harusnya 8,33. Namun hasil keringat mereka ini dikorting menjadi 6,83.
Departemen Pendidikan mengakui pihaknya memakai sistem konversi itu. Tujuan mereka adalah mengadaptasi keragaman kemampuan daerah serta mengantisipasi kemungkinan terjadinya kebocoran. "Harus diakui, kepada siswa di Papua, misalnya, tidak adil jika diberikan soal yang sama dengan yang diujikan di Jakarta," kata Kepala Pusat Penilaian Pendidikan di Departemen Pendidikan, Bahrul Hayat.
Departemen Pendidikan membuat 30 paket soal yang berbeda. Nah, tabel konversi dibuat untuk menyetarakan hasil ujian siswa dari paket soal yang berbeda tingkat kesulitannya. Bahrul mengakui sistem ini sudah dipakai selama sembilan tahun terakhir. "Proses konversi skor ini tidak untuk konsumsi publik," kata Bahrul.
Soal terhambatnya siswa mendapat beasiswa ke luar negeri, Bahrul menjanjikan, pemerintah akan menghubungi kedutaan asing. Pihaknya juga akan mengirimkan hasil akhir UAN sebagai bahan penafsiran dan pertimbangan penerimaan murid Indonesia di institusi mereka. Informasi serupa akan diteruskan ke lembaga-lembaga pendidikan yang menggunakan nilai UAN sebagai bahan pertimbangan seleksi siswa baru, seperti Akademi Militer.
Ujian akhir memang sangat penting untuk mengetahui standar pendidikan nasional. Dua tahun lalu, saat ujian nasional masih bernama Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas), kelulusan siswa ditentukan oleh sekolah masing-masing. Selain dari nilai, kelulusan itu diukur dari hasil prestasi selama tiga tahun. Nah, nilai Ebtanas tadi bisa menjadi pegangan pemerintah untuk menakar mutu pendidikan di suatu wilayah.
Sejak awal, UAN memang telah memicu pertentangan. Sebab, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengakui adanya prinsip penyelenggaraan pendidikan yang demokratis dan berkeadilan dengan menjunjung tinggi nilai kultural dan kemajemukan. Belum lagi biaya UAN Rp 260 miliar dari pemerintah pusat dianggap sebagai pemborosan. Sementara itu, jika dihitung, uang yang keluar dari anggaran pusat, anggaran daerah, serta dana masyarakat diperkirakan mencapai Rp 1 triliun.
Namun saat itu pemerintah ngotot melaksanakan UAN meski Komisi Pendidikan DPR sudah menyatakan keberatan. Benar saja, UAN kini menimbulkan masalah baru. Ketua Komisi Pendidikan DPR Taufiqurrahman Saleh melihat adanya orientasi proyek dalam UAN. Hal ini membuat DPR memutuskan menyetop anggaran UAN mulai tahun depan. Sebagai gantinya, kelulusan siswa harus diserahkan kepada guru dan sekolah.
Menurut pengamat pendidikan Arief Rahman, konversi memang harus dilakukan karena kualitas pendidikan di negeri ini sangat beragam. Namun seharusnya tidak ada siswa yang dirugikan dengan cara mengurangi nilai yang diraih siswa tertentu. Baginya, nilai siswa harus dikembalikan ke nilai sebelum dikonversi. "Sebab, nilai itu harus mereka hadapi seumur hidup," kata Arief.
Arief tetap melihat ujian akhir diperlukan sebagai diagnosis mutu pendidikan di setiap sekolah atau daerah. Namun dia menolak jika hasil UAN dijadikan satu-satunya instrumen kelulusan. Kelulusan harus diputuskan oleh sekolah melalui rapat kepala sekolah dan dewan guru, bukan oleh pemerintah pusat. "Akibatnya, semua sekolah di negeri ini hanya punya satu kepala sekolah (pemerintah)," kata Arief.
Agung Rulianto, Rina Rachmawati, Indra Darmawan, Agus Rahardjo, Bibin Bintariadi (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo