Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Konversi 'Bukan untuk Konsumsi Publik'

21 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISTILAH konversi menjadi populer di dunia pendidikan dalam sepekan terakhir. Akibat konversi, ratusan ribu siswa yang nilainya jeblok diluluskan dari ujian akhir nasional (UAN). Namun, ribuan lainnya merasa kecewa karena nilai mereka yang kinclong harus melorot. Menurut Departemen Pendidikan, konversi ini dipakai karena mereka membuat 30 paket soal yang berbeda untuk UAN. Perbedaan ini dikaitkan dengan keragaman kemampuan akademik siswa di daerah tertentu. Pemerintah menyediakan paket soal dengan tingkat kesulitan lebih rendah bagi sekolah-sekolah di kawasan timur Indonesia dibandingkan dengan sekolah di Pulau Jawa. Untuk Jakarta saja, ada tiga paket soal dengan tingkat kesulitan yang beragam. "Dengan tabel konversi ini, justru lebih adil," kata Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Departemen Pendidikan, Bahrul Hayat. Melalui konversi, hasil UAN dapat dibandingkan secara linier dalam skala baku yang bersifat nasional. Sebab, nilai seseorang dapat langsung dibandingkan dengan nilai orang lain yang menggunakan paket soal yang berbeda. Sehingga, jika ada nilai yang diturunkan, itu karena paket tersebut termasuk dalam kategori soal yang mudah. Bahrul meyakinkan bahwa paket soal dalam satu sekolah pasti sama. Sehingga, tidak mungkin nilai seorang siswa dinaikkan, sementara lainnya diturunkan. Terjadinya kontroversi kali ini ada kemungkinan karena siswa meraba-raba sendiri skor mentahnya, lantaran dalam laporan tidak ada laporan skor mentah. Padahal, bisa jadi karena jawaban tidak jelas sehingga tidak terbaca di pemindai komputer. Pemerintah melakukan konversi ini sejak sembilan tahun lalu, dengan tujuan untuk seleksi dan sertifikasi. Selain itu, ia digunakan sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan pengendalian mutu di tingkat sekolah, daerah dan nasional. Mengapa diam-diam? "Proses konversi skor tidak untuk konsumsi publik, karena tidak mudah memahami bahasa statistiknya," alasan Bahrul. Agung Rulianto, Rina Rachmawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus