SUASANA nampak sibuk di pangkalan Ouagadougou -- Burkina Fasos. Truk-truk bersiaga. Helikopter dan pesawat terbang memunggah bahan kimia beracun yang akan dibomkan pada musuh. Seluruh pasukan sudah dalam kondisi siap tempur. Strategi telah dibentangkan. Mereka hanya tinggal menunggu komando, dan... yaaakkkk, menyerbulah mereka sejauh 12 ribu mil aliran air pada sebelas negara di Afrika Barat. Siapa yang mereka gempur? Lalat. Perang melawan penyakit biadab penyebab kebutaan, onchocerciasis, telah dimulai. Siapa yang bakal menang, waktu yang akan menjawabnya. Benua hitam itu memang telah terkoyak-koyak. Perang saudara, kehancuran ekonomi, kekeringan, dan masih diuji pula oleh Tuhan dengan kelaparan. Sementara itu, jumlah penderita kasus AIDS terus membubung, dan malaria tetap menjadi ancaman. Di wilayah semacam itu, di masa banyak bantuan asing sia-sia dan dikorupsi, program ini bukan hanya berjalan, melainkan juga memberi keuntungan langsung pada orang-orang miskin -- di negara termiskin di dunia itu. Upaya telah dilakukan. Kemenangan akan mencegah berkembangnya tragedi yang menghantui kampung-kampung yang tak terhitung jumlahnya. Memang tak ada yang dapat memperbaiki penglihatan yang telah dibutakan oleh penyakit. Namun, nasib kanak-kanak Sikoroni -- Mali, dan ribuan perkampungan lainnya, tak akan seperti banyak orangtua mereka. Kecemerlangan mata mereka tidak bakal kehilangan daya pandangnya, lantaran goresan buruk kebutaan sungai pada lensa mata. Para peneliti mengemukakan, bila laju kebutaan di sebuah desa melebihi angka 10 persen, dikhawatirkan orang-orang muda bakal kabur, produksi pertanian akan merosot, dan keretakan sosial meluas. Semua parit di lahan lembah yang subur telah dijejali lalat-lalat hitam. Padahal, inilah daerah pertanian yang subur yang tidak terancam oleh kekeringan dan kelaparan. Puncak tahun-tahun kebutaan telah dibangun oleh cacing parasit yang disebut Onchocerca volvulus. Cacing itu memasuki tubuh setelah lalat hitam, yang membawanya dan orang yang terinfeksi, meletakkannya pada makanan atau menggigit tubuh orang lainnya. Memang bukan cacing dewasa yang menjadi penyakit. Namun, larva mereka yang disebut microfilariae yang tak tampak oleh mata, dan berkerumun pada kulit dan mata. Sebanyak 200 juta cacing kecil suatu waktu dapat bersarang dalam tubuh orang yang terinfeksi. Mereka, cacing-cacing itu, benar-benar bersuka ria. Dengan hanya mengambil lapisan tipis kulit terluar, dan melihatnya di bawah mikroskop, seorang dokter mudah memastikan apakah seseorang telah menjadi tempat berkembang biak ratusan cacing kecil itu atau tidak. Tidak mengherankan bila salah satu akibat hadirnya cacing-cacing itu adalah rasa gatal pada kulit. Lebih dari setahun dijangkiti, kulit mulai membusuk, menjadi bersisik, melunak dan kadang-kadang kehilangan pigmennya. Luka pun muncul pada mata, dan akhirnya kerusakan tak terhindarkan lagi. Kebutaan juga memperpendek harapan hidup. Barangkali, ini dugaan para ahli, parasit juga menghancurkan kekebalan secara menyeluruh atau membikin kerusakan sistemik. Memang ditemukan sejumlah ragam parasit yang menyebabkan kebutaan. Termasuk di antaranya satu yang ditemukan di bagian berhutan lembap, dan tidak terlalu membutakan dibandingkan dengan jenis yang bermukim di daerah sabana. Terkadang pengobatan malah hanya akan menjerumuskan penderita ke dalam bahaya. Satu obat kadang membawa ke kebutaan lainnya yang fatal bagi pasien. Upaya untuk membunuh cacing dewasa -- yang memang belum ada obatnya -- tak bisa dilakukan, khususnya dalam kondisi pedesaan Afrika. Biasanya, kebutaan mulai menyergap penduduk dalam usia 20-an atau di akhir usia belasan tahun. Namun, yang paling sering terjadi justru pada orang berusia 30-an atau lebih -- setelah bertahun-tahun berkali-kali terkena infeksi. Para petani yang bekerja di ladanglah yang digemari lalat juga pencari ikan atau wanita yang mencuci pakaian dekat markas lalat di sungai yang paling terancam. Kebutaan sungai bukan ancaman bagi penghuni kota, ini kenyataan yang menyedihkan bagi penduduk pedesaan. Pemerintah kolonial di Afrika tidak lekas tanggap terhadap penyebaran kebutaan sungai. Namun pada tahun 1960-an begitu koloni Prancis dan Inggris mendapatkan kemerdekaannya bencana yang menjadi bagian dan legenda sungai macam Niger dan Volta mulai tercatat dengan baik. Sekitar waktu itu, para ahli mulai ikut mempercayai pendapat warga desa: tak ada obat yang ampuh untuk melawan kebutaan sungai, maka mengapa tidak mencoba untuk menaklukkan lalat hitam yang menyebarkan penyakit itu di jantung Afrika Barat. Prospeknya mengecilkan hati. Lalat berkembang biak pada ribuan tempat yang tak diketahui. Lebih dahsyat lagi mereka dapat terbang ratusan mil, ini berarti ancaman dalam skala besar. Bila diracun dengan insektisida, malah hanya akan mencemari lingkungan. Namun, pola perkembangbiakan lalat hitam biadab dari spesies Simulium damnosum itu, dan lalat lain kerabat dekatnya, sudah mencapai titik yang amat mengkawatirkan. Lalat betina meletakkan telurnya di air, menempel pada cabang kayu atau batu beberapa inci di bawah permukaan sungai yang berair deras. Air harus mengalir deras buat menghidupi larva denga sejumlah besar oksigen yang mereka perlukan. Untungnya, para ahli mulai mendusin, tempat berkembang biak lalat --lalat itu tertentu. Ini berarti, lalat tersebut dapat diberantas, tanpa harus mengaliri seluruh sungai dengan racun. Hanya insektisida yang bisa terurai secara alamiah yang boleh digunakan. Kehidupan ikan dan serangga terus diawasi, khusus untuk mengetahui seberapa besar pengaruh buruk insektisida pada alam. Beroperasi di bawah sayap WHO, program ini mendapatkan dana dan ahli dari negara-negara Barat. Belakangan, usaha itu dikembangkan hingga menjangkau 11 negara. Tujuan kerja besar ini sejak awal bukan untuk memusnahkan lalat hitam -- yang memang tak mungkin. Tapi hanya untuk menurunkan populasinya sehingga memutus rantai kehidupan parasit. Jika jumlah lalat bisa dijaga supaya terus berkurang dalam waktu cukup lama, akan semakin sedikit orang yang mendapat infeksi baru. Cacing yang sudah telanjur dalam tubuh manusia secara bertahap akan mati. Sang lalat pun akan menjadi kurang berbahaya. Sebab kendati menggigit, mereka tidak lagi membawa cacing-cacing parasit. Tapi begitu upaya besar itu gagal: sebulan saja lalat-lalat itu dibiarkan berkembang, hasil kerja bertahun-tahun akan sia-sia. Titik utama dalam upaya itu adalah informasi bagaimana persisnya sungai, juga lalat, dan manusia yang menghuni daerah yang jalannya masih sedikit berbatu dan tanpa telepon. Petugas harus datang sendiri buat mengenal perairan dan orang-orang di Afrika Barat secara rinci. Dengan pemetaan detail tentang sungai, serta informasi harian tentang perubahan aliran sungai yang sering diperoleh lewat satelit, mereka dapat melacak dan menandai titik-titik perkembangbiakan lalat itu. Meneliti dengan cara mengendus satu demi satu perkampungan secara berkala adalah wajib. Dengan begitu dokter dapat menggambarkan peta epidemiologi secara rinci. Cara lain adalah mengerahkan ratusan tenaga penyergap. Dari hasil survei itu petugas akan tahu bagaimana keberhasilan penyemprotan minggu sebelumnya. Dan kapan lalat yang masih bertahan hidup akan menyebarkan penyakit. Penyergap duduk sabar pada tempat yang telah ditentukan di tepi sungai, sepanjang hari. Dengan lutut ditekuk, mereka menjadikan dirinya sendiri umpan. Begitu lalat hitam hinggap di kulit, mereka cepat-cepat menyergapnya dengan botol. Lalat dikumpulkan, dihitung jumlahnya setiap hari, dan dicatat. Lalu setiap ekor diperiksa apakah termasuk pembawa parasit. Orang-orang itu harus menangkap lalat sebelum bajingan itu sempat menggigit. Celakanya, mereka bukan hanya dihinggapi lalat hitam. Acap juga datang nyamuk dan lalat tsetse. Untuk pekerjaan macam itu, mereka mendapat upah bagus untuk ukuran setempat. Pada sebuah daerah yang kukunjungi, mereka dibayar 150 dolar AS sebulan. Tetapi apakah tugas begitu etis? "Itu sama halnya kau menjerumuskan orang supaya kena penyakit" kata Pirre Guillet, seorang ilmuwan Prancis yang mengontrol program itu, yang berpangkalan di Mali. "Namun," katanya lebih lanjut, "kami tak punya cara lain untuk mengikuti penyebaran penyakit." Data yang dikumpulkan dari para penyergap amat berarti bagi jalannya perang itu, kata petugas kesehatan. Usaha lain untuk mengumpulkan lalat telah gagal. Setiap Senin, para petugas lapangan mendapat pengarahan tentang rencana penyerbuan mingguan, lewat radio. Sarang pengembangbiakan lalat pada aliran air sungai ditumpahi bahan kimia. Ada lalat yang telah menjadi kebal terhadap suatu bahan kimia, memang. Maka, bahan lain harus digunakan. Semua menjaga agar bahan terpakai sesedikit mungkin. Selain untuk menghemat anggaran, juga menjaga lingkungan. "Ini bagai perang dengan radio dan pesawat terbang," kata Dr. Guillet. Para pilot yang menaburkan sering harus membawa helikopternya bermanuver yang berbahaya di atas pepohonan dan tebing-tebing, membawa peta yang sudah ditandai titik-titik yang harus digempur. Anggaran mereka 30 juta dolar AS (sekitar Rp 50 milyar) setahun. Pasukannya 800 orang termasuk para ahli pilihan dari Afrika dan Barat yang bermotivasi kuat. Tak mengherankan bila program ini punya reputasi baik dan efisien. Doktor Ebrahim M. Samba, yang memimpin program ini sejak 1980, mengatakan dengan bangga bahwa penerbangan penyemprotan terus berlangsung aman kendati terjadi perang pada negara sasarannya -- mereka yang melakukan kudeta selalu menembak jatuh segala macam pesawat lainnya. Lebih dari 14 tahun terakhir, penyemprotan telah memutus rantai penyebaran penyakit di sebuah wilayah yang -- pada periode yang sama -- melahirkan 4 juta anak-anak. Dr. Samba menyebutkan itu dalam wawancara belum lama berselang. "Tanpa proyek ini, 10 persen anak-anak itu akan menjadi buta dalam usia 40 tahun." Memang tak tercatat ada dampak ekologi serius akibat penyemprotan itu. Namun, akibat buruk juga tak terhindarkan. Sejumlah serangga menjadi kebal terhadap insektisida yang tersedia. Lalat hitam menjadi lebih gesit bergerak dari yang diharapkan, dan untuk menyerbunya kembali menjadi masalah yang serius. Susahnya, amat mudah parasit-parasit itu mewabah lagi di tempat bersih. Para ahli pun heran, untuk berapa lama mereka bisa mempertahankan keberhasilan itu. Semuanya serba tak terduga. Ivermectin, yang dianggap potensial itu, baru dikenal satu dua tahun terakhir. Maka, kini di telinga sejumlah ahli terngiang kembali pertanyaan lama: Mungkinkah bisa menang total melawan kebutaan sungai? Di awal tahun 1970-an, ketika program penyemprotan di Afrika tengah dibentangkan, para peneliti perusahaan Merck berupaya keras untuk bisa menggempur cacing parasit yang bertahan dalam tubuh ternak. Mereka tak menduga bahwa upayanya kelak juga menghasilkan senjata baru yang spektakuler untuk memerangi kebutaan sungai. "Kami menginginkan sesuatu yang sungguh-sungguh berbeda," kata William C. Campbell, tokoh utama penelitian itu. Mereka berpaling pada alam untuk mendapatkan ide baru. "Jika kau lihat mikroorganisme, kamu mendapatkan hal yang tak bisa dibayangkan," kata Dr. Campbell. Para peneliti mendatangkan bakteri dari seluruh dunia. Lebih dari 100 ribu spesies dikumpulkan. Setelah dibiakkan dalam kaldu, organisme itu menghasilkan sesuatu yang baru, yang kemudian oleh para ilmuwan dicobakan satu demi satu, pada tikus yang mengidap cacing. Pada tahun 1975, mereka seperti memenangkan undian SDSB lantaran hasil bakteri tanah asal. "Aku teringat luapan kegembiraan pada kelompokku," kata Dr. Cambpell. "Bukan saja produk baru itu menunjukkan kegiatannya untuk memberantas cacing, melainkan juga tidak membahayakan tikus sama sekali." Obat baru ivermectin itu segera memberi keuntungan pada perusahaan setelah dipasarkan tahun 1984. Inilah produk untuk kesehatan temak terlaris, dibanding jenis mana pun. Pada tahun 1987, ivermectin menduduki peringkat kedua paling laku dari seluruh produk Merck baik untuk manusia maupun ternak. Tahun 1978, para peneliti melangkah lebih maju. Mereka menemukan obat pemberantas cacing pada kuda, yang ternyata juga membikin mati cacing yang yang menyebabkan kebutaan sungai pada manusia. Berdasar inilah, pada awal tahun 1980, para peneliti mengusulkan pada perusahaan agar ivermectin bisa dicoba pada manusia. Kurang dari setahun, dokter memberikan obat baru pada beberapa pasien di Afrika. Hasiltlya menggembirakan. Kendati dibilang hebat, toh ivermectin juga tak dapat membunuh si cacing jahanam pada semua tingkat. Yang berhasil hanya menggocoh cacing muda. Yang dewasa akan terus berkembang biak, sebelum kemudian mati. Sedangkan cacing muda memerlukan waktu beberapa bulan untuk tumbuh mencapai tingkat membahayakan. Pada saat itulah, ivermectin berguna. Dengan memberikan obat sekali setahun pada pengidap parasit tersebut, sudah cukup mencegah gejala kebutaan. Sejumlah pasien menjadi bengkak, atau merasakan ketidaknyamanan lain pada hari setelah pengobatan. Sesudahnya, perlahan rasa tak enak itu semakin ringan. Obat itu mengenyahkan cacing yang kasat mata itu dari kulit. Dan di awal bulan, setelah pengobatan, bilamana ada lalat yang menggigit pasien, lalat itu tak lagi membawa cacing. Di kalangan dokter dan petugas yang bertarung melawan kebutaan sungai, kelahiran obat baru itu disambut ayem. Tapi di tahun 1987, keampuhan dan keamanan obat dijamin baik, dan 10 ribu penderita telah menerimanya. Merck juga mengumumkan bahwa mereka akan menyumbangkan ivermectin gratis sebanyak-banyaknya, selama kebutaan sungai masih menjadi ancaman. "Sekadar Anda tahu, itu kan bukan keputusan gampang," kata Dr. Vagelos. "Kami sadar bahwa penderita yang memerlukan ini tak punya uang buat membeli obat ini, berapa pun hartanya. Begitu juga pemerintah mereka." Syukurlah, perusahaan itu mendapat sponsor dari, antara lain, komite independen yang diketuai Dr. William H. Foege -- seorang yang dikenal sebagal tokoh kesehatan masyarakat yang kini mengepalai Carter Centre di Atlanta. Komite ini menyalurkan ivermectin yang nama dagangnya Mectizan untuk membantu lembaga-lembaga, pemerintah, kelompok pribadi, dan siapa pun lainnya yang nampaknya mampu memberikannya pada penderita dengan segera. Program Afrika Barat ini siap menyembuhkan 250 ribu orang setahun, khususnya seluruh penduduk perkampungan yang bertebaran pada 11 negara. Sulit dihitung berapa biaya yang dihabiskan untuk memberikan ivermectin gratis -- bila dijual untuk kepentingan pribadi berharga 3 dolar AS setiap bungkus. "Merck telah menunjukkan respons sosial, dan saya harap ini akan diikuti lembaga farmasi lain," kata Dr. Foege, memuji.Z.U.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini