Diperkirakan 18 juta jiwa di Afrika, sebagian Amerika Latin dan Timur Tengah, mengidap cacing penyebab kebutaan yang disebar oleh lalat hitam. Tulisan Erik Eckolm, editor sains dan kesehatan dalam The New York Times Magazine, mengelu-elukan invermectin sebagai senjata baru yang spektakuler untuk menggempur. SETELAH kemarau yang panjang, hujan pertama tercurah di kawasan sabana luas, Afrika Barat. Batang gandum setinggi 10 kaki pun merunduk diberat, bernas bulir-bulirnya. Dalam cemerlang pagi, terpancar keriaan di perkampungan gubuk-gubuk tanah liat Sikoroni, Mali. Pemimpin desa yang berpenduduk 400-an itu mengundang tetua masyarakat untuk berkumpul guna menjalankan upacara menyambut tamu. Ini tata krama. Ketika seorang bocah berlari untuk menjemput mereka, segera berdentang musik pedesaan Afrika. Kami mendengar irama kuno yang ribut dari para wanita penumbuk gandum tawa dan jerit kanak-kanak, serta kokok sumbang ayam-ayam jago yang berkeliaran. Sementara itu, tenunan mewah yang dikenakan para wanita menghadirkan warna-warni mencolok yang mengatasi kusamnya pemandangan sekitar. Tetapi kemudian, keadaan buruk di Sikoroni perlahan-lahan muncul. Nampak seorang lelaki, lalu yang lain dan lainnya lagi, dituntun ke tempat pertemuan oleh bocah kecil yang memegang ujung tongkat mereka. Orang-orang itu -- kebanyakan berusia 50 atau 60 tahun -- mengenakan kemeja panjangnya dan peci muslim, memperlihatkan sikap warga yang punya martabat. Tapi ketika mereka terhuyung-huyung menuju beranda, dengan mencengangkan aku menemukan: selusin dari 14 orang itu punya goresan di atas matanya. Mereka adalah korban onchocerciasis -- kebutaan sungai. Dinamakan begitu lantaran lalat hitam kecil yang menyebarkan penyakit ganas itu berkembang biak di air yang mengalir deras. Diperkirakan 18 juta jiwa di Afrika, sebagian Amerika Latin dan Timur Tengah, mengidap cacing parasit penyebab kebutaan sungai itu dalam tubuhnya. Ini menurut badan kesehatan dunia WHO. Banyak penderita merasa sangat gatal dan rusak kulitnya. Lebih dari 300 ribu orang telah buta. Dunia medis yang penuh kejutan itu menganggap kawasan Afrika Barat -- yang dilanda seabrek nestapa lantaran miskinnya pedesaan -- adalah wilayah yang tak banyak bisa diselamatkan. Kelalaian, birokrasi, ketiadaan dana bisa dituding sebagai biang keroknya. Tapi kasus kebutaan sunyai ini sebenarnya sudah merupakan persoalan dunia. Di abad yang justru dianggap era kemenangan besar buat kalangan medis ini, momok yang tak dapat dikontrol itu mencekik. Pertemuan antara para tenaga medis dan masyarakat pun dimulai di Sikoroni. Kepala suku minta maaf karena ada beberapa kepala keluarga -- yang tampaknya cukup kuat bekerja -- masih berada di ladang mereka dan tak bisa datang. Kenyataannya, ujarnya, 13 dari 20 orang kepala keluarga di kampung itu telah kehilangan penglihatannya. Banyak laki-laki dan perempuan di kampung itu juga buta. Mereka duduk tenang di gubuknya atau di bawah kerindangan pohon di sekitar ladang, membantu memunguti kacang-kacangan yang dipanen oleh kawan-kawannya, pagi itu. "Di sini," kata kepala suku, "sebelum engkau berambut putih sudah biasa bila menjadi tunanetra." Kepala suku itu sendiri memang masih bisa melihat. Tetapi sisik dan bercak-bercak pada kulit lengannya menunjukkan bahwa ia juga mengidap cacing-cacing parasit. Kebutaan sungai di padang sabana Afrika Barat ini merupakan bencana besar yang tak ada tandingannya di seluruh dunia. Laknat itu mendekam di padang rumput dan pepohonan yang menghampar di lebih dari selusin negara, yang memisahkan pinggiran Sahara dari pantai yang berhutan lebat. Di ratusan desa di dekat tempat berkembang biaknya lalat hitam itu seperti halnya di Sikoroni -- hampir seluruh penduduknya telah kena infeksi. Sepersepuluh mereka telah buta, sebagian besar yang telah berusia 45 hingga 50 tahun. Ribuan kampung lain pun terserang kendati masih pada tingkat yang berbeda. Selama dua minggu perjalananku di pedesaan Mali dan Guinea yang berdebu, melewati lembah-lembah yang dijejali penyakit, tak sulit menemui korban-korban itu. Di sepanjang jalanan merah tanah di wilayah mana pun, Anda akan melihat seorang tua yang dituntun bocah lelaki dengan tongkat. Dan hampir pada setiap keluarga yang berada di kampung-kampung itu, terlihat pemandangan yang sulit dilupakan: lelaki dan perempuan yang telah kehilangan penglihatannya duduk, menganggur, dan amat sabar. Sulit buatku membayangkan arti kebutaan di permukiman terpencil itu. Tempat itu memerlukan pekerja keras untuk mencerabut makanan dari dalam tanah. Sejumlah orang buta mencoba menolong membawa keranjang, dan mencabut kacang tanah dari akarnya. Tapi itu bukan kerja keras yang biasa dilakukan oleh seorang dewasa. Yiriba Bissan, seorang ahli entomologi Mali yang bekerja di The Onchocerciasis Control Program, menjelaskan dampak penyakit itu. Bukan penjelasan ilmiah, memang. "Sewaktu kecil di pedesaan yang jauh di Mali Selatan," tuturnya, "tugasku setiap pagi adalah menuntun pamanku yang tunanetra ke sebuah pohon besar jauh dari kampung." Di sana, mereka berdua menghabiskan waktunya di keteduhan. "Selama tiga tahun aku melakukan itu," kata Dr. Bissan yang kini berusia 36 tahun. Lima tahun lalu, ayahnya pun menjadi buta. Dan kini giliran ibunya. Untuk mereka yang menjadi buta, seperti kata Dr. Bissan, persoalan utama adalah seberapa besar keluarga mereka. Seorang warga yang buta sering tetap kuat lantaran ditopang oleh keluarga besarnya. Lihat saja pada perkampungan yang telah kukunjungi. Seorang kepala kampung, yang mengenakan jubah putih dengan gagahnya, dapat mempertahankan kekuasaan dan gengsinya kendati sudah 18 tahun buta. Namun, bagi mereka yang kehilangan penglihatannya tanpa didukung keluarga yang kuat, sebagaimana hasil pengamatan Bissan, "itu sebuah bencana." Mereka, biarpun tak bersalah, seakan-akan menerima hukuman dari masyarakat lantaran gampang bisa diejek. "Jika kamu sendirian di masyarakat ini, jika kamu tak beristri, tak bersuami, dan tak beranak -- yang akan menopangmu -- orang-orang bilang bahwa kamu telah tama," katanya lebih lanjut. "Di sini berakhir seperti itu lebih buruk ketimbang mati." Perang melawan kebutaan telah dikobarkan sejak tahun 1974. Waktu, tenaga, dana, sarana dan pengabdian, semuanya telah dikorbankan. Pasukan kesehatan beruntung punya dua senjata luar biasa, untuk menghajar cengkeraman penyakit itu. Pertama adalah upaya kerja sama dunia. Selama beberapa waktu, kerja sama itu telah mengerahkan seluruh kekuatan untuk menekan serangga yang menyebarkan cacing The Onchocerciasis Control Program -- lembaga yang kini dijalankan WHO -- secara berencana menggunakan insektisida buat menumpas serangga di wilayah luas Afrika Barat, dan kini beroperasi menjangkau 11 negara. Perang melawan kebutaan sungai makin seru dengan senjata baru: ivermectin, obat efektif dan aman yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Obat ini semula dikembangkan tahun 1970-an untuk menggempur parasit ternak. Namun, pada tahun 1980-an, hasil serangkaian percobaan pada manusia menjadikan para dokter percaya, inilah obat yang bisa mengganyang parasit laknat yang sebelumnya tak terkalahkan itu. Untungnya, perusahaan Merck, penghasil invermectin itu, baik hati. Mereka menyumbangkan obat gratis pada penduduk -- setiap orang sekali setahun -- untuk jangka waktu yang belum ditentukan. Hingga kini sudah lebih dari 60 ribu orang menerima pil kecil putih bagian pertama dari dosis tahunan yang diharapkan bakal menyelamatkan ribuan pasang mata. Jumlah yang yang diobati akan lebih banyak lagi pada tahun-tahun mendatang. Biarpun pil itu gratis, membagikannya pada penderita tetap memakan biaya jutaan dolar. Untuk kondisi macam pedesaan Afrika, untuk sekali menyampaikannya dalam setahun, diperlukan waktu dan dedikasi. Itulah yang kulihat pada suatu hari di perkampungan timur Guinea. Di sana jelas, pengobatan harus dilakukan dengan penuh rasa kemanusiaan. Hanya enam persen penduduk Morigbedou yang buta, tapi kajian terakhir menunjukkan bahwa empat dari lima orang penduduk pedesaan mengidap cacing itu. Kini sebuah tim medis mendirikan sebuah meja di beranda sebuah sekolah yang memiliki dua ruangan, di dekat pohon baobab raksasa. Sekitar separuh jumlah penduduk berkerumun, membawa bangku dan kursi yang ada. Seorang dokter Italia yang menggebu-gebu, mengenakan celana pendek dan berkaus kutung bertuliskan Denuer Broncos, memanggili nama penduduk. "Sekou Keita! Fanta Konate!" Ia mengucapkan setiap kata dengan ramah, memberi senyuman pada massa dan penderita yang sebagian di antaranya kelihatan gugup. "Ladia Traore! Sadika Conde!" Ketika namanya disebut, setiap lelaki, wanita, dan anak-anak melangkah maju. Mereka menyebutkan umurnya untuk dicatat dokter. Namun, sering dokter -- setelah mengamati menambahkan atau mengurangi 5 atau 10 tahun dari umur yang mereka sebut. Setiap orang mendapat dosisnya sendiri-sendiri, setengah hingga dua tablet tergantung bobot badannya. Yang hamil atau tengah menyusui, orang-orang sakit, dan anak-anak balita tidak kebagian karena obat ini belum dijamin aman untuk mereka. Penduduk kampung segera memasukkan tablet ke mulutnya, menelannya dengan air, menggunakan cangkir yang sama. Para tetua di sekeliling meja, membantu menyebutkan nama dan umur pasien, mengusir jauh anak-anak yang penasaran mau tahu, pokoknya ikut campur, berdebat -- menyenang-nyenangkan diri mereka sendiri. Ketika pekerjaan untuk pagi itu usai, karena masih banyak kampung lain yang harus ditangani, dokter diam-diam "menutup tokonya". Para tetua mulai ramai, sibuk membujuk dokter agar tinggal lebih lama. Alasannya, masih banyak lagi penduduk yang harus menerima pil ajaib. Dokter itu lalu membereskan perkakasnya. Ternyata, memang masih ada beberapa keluarga lagi yang datang dari balik rerumputan tinggi yang mengelilingi kampung. Seorang petugas medis akan tetap tinggal di kampung itu selama dua hari, untuk memeriksa bila ada reaksi buruk akibat pengobatan. "Kami harus datang ke kampung-kampung," seru Dokter Giuseppe de Sole, yang mengepalai bagian epidemiologi program itu. "Kami tak bisa mengharapkan orang-orang ini melakukan perjalanan ke rumah sakit buat pembagian ini." Untuk mencetak hasil nyata, misi seperti itu harus mengunjungi setiap perkampungan sekali setahun -- mungkin selama 15 tahun. Dan catatan kondisi setiap pasien harus terus terjaga sampai akhir program itu. Dr. De Sole menyatakan bahwa ia tak pernah membayangkan bakal ketemu obat ampuh sewaktu ia bergabung dengan program itu tiga tahun lalu. "Sungguh amat menyenangkan kami," tambahnya. "Dengan ivermectin hasilnya yang nyata segera nampak, dan kami dapat memastikan akan berhasil menyembuhkan penduduk." Sekarang para ahli menghitung berapa banyak lagi penyemprotan lalat yang harus dilakukan. Di wilayah yang dibersihkan dari parasit, ivermectin nampaknya dapat menekan bangkitnya kembali penyakit itu. Pada beberapa daerah yang selama ini hanya menggunakan bahan kimia untuk memerangi lalat hitam baru, petugas mulai hendak mengombinasikan cara penyemprotan dengan pemberian obat. Kombinasi dua cara itu diharapkan akan lebih hebring hasilnya. Menurut perkiraan, penyemprotan insektisida sampai tahun 1990 sudah memadai. Tentu saja para pekerja kesehatan amat bahagia oleh kehadiran senjata yang dahulu tak pernah terbayangkan itu. Mereka yang mengenal betul geografi dan penduduk di daerah kebutaan sungai masih sulit membayangkan seberapa hasil uang akan dicapai. Beberapa di antaranya ragu, adakah obat itu akan mampu memberantas. Tetapi Dr. Vagelos dari Merck optimistis. "Secara teoretis, kita mampu menyikat habis penyakit itu," ujarnya. Perang melawan kebutaan itu masih berkepanjangan. Namun, pasti, kebutaan sungai tidak akan lagi menjadi bencana laten bagi generasi mendatang, di wilayah yang selama ini menganggap kehilangan penglihatan adalah sesuatu yang normal. Tetapi ini tidak berarti akan langsung mengubah kehidupan di perkampungan macam Sikoroni dan Morigbedou. Irama kehidupan kuno tampaknya masih akan tetap bergema, sementara kedatangan hujan yang buruk di musim panas masih akan tetap meningkatkan laju kematian. Namun, setidak-tidaknya, di padang sabana Afrika Barat itu, salah satu beban kehidupan yang mengerikan sedang dikubur. "Kita harus memberikan mereka kesempatan," kata Dr. Samba. "Itulah yang sedang kami lakukan."Z.U.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini