Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Benang Kusut Aturan Minyak Goreng Murah

Penerapan kebijakan DMO dan DPO minyak sawit untuk menjaga harga minyak goreng tetap murah belum berjalan mulus. Timbul kekacauan di lapangan karena belum ada aturan teknis yang jelas.

31 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Implementasi kebijakan DMO dan DPO minyak kelapa sawit menimbulkan kekacauan di lapangan.

  • Ketidakjelasan regulasi membuat harga tandan buah segar sawit di tingkat petani dan mengganggu ekspor CPO.

  • Asosiasi petani berharap pemerintah melindungi harga tandan buah segar sawit.

JAKARTA – Penerapan kewajiban pemenuhan pasar domestik oleh produsen minyak sawit (domestic market obligation/DMO) dan penetapan harga patokan domestik (domestic price obligation/DPO) untuk bahan baku minyak goreng, minyak sawit mentah, dan olein belum berjalan mulus. Ketidakjelasan regulasi itu menimbulkan kekacauan di pasar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga. "Mekanismenya belum jelas sehingga masing-masing (pihak) mengambil jalan sendiri-sendiri," ujar dia kepada Tempo, akhir pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Sahat, pasca-pengumuman kebijakan DMO dan DPO, harga tandan buah segar (TBS) sawit saat ini merosot ke level Rp 2.200 per kilogram. Padahal, sebelumnya, harga rata-rata TBS sawit Rp 3.200 per kg. Penurunan harga ini dianggap merugikan petani. “Padahal tujuan kebijakan ini bukan untuk menekan harga di tingkat petani.”

Penerapan kebijakan DMO dan DPO tersebut berlaku sejak diumumkan pada Kamis, 27 Januari lalu. Kebijakan ini diluncurkan Kementerian Perdagangan karena pemerintah menyetop subsidi minyak goreng satu harga per hari ini (Senin, 31 Januari 2022).

Bersamaan dengan pencabutan subsidi, Kementerian Perdagangan pun menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng. HET minyak goreng curah ditetapkan Rp 11.500 per liter, HET minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan HET minyak goreng kemasan premium Rp 14 ribu.

Agar produsen tidak terbebani memproduksi minyak goreng murah di tengah tingginya harga CPO global, pemerintah mengatur harga bahan baku minyak goreng lewat kebijakan DPO. Dalam aturannya, harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan olein masing-masing dipatok Rp 9.300 per kg dan Rp 10.300 per kg. Adapun melalui aturan DMO, produsen minyak sawit mentah diwajibkan menyediakan 20 persen hasil produksinya untuk kebutuhan dalam negeri sebelum melakukan ekspor.

Sahat menilai aneka kebijakan baru ini belum tentu bisa dijalankan oleh semua pelaku usaha. Seharusnya, kata dia, pemerintah menentukan perusahaan mana saja yang wajib mengikuti ketentuan DPO dan DMO. "Kami mendorong regulasi tersebut dilengkapi agar pelaksanaannya tertib dan jelas. Ketidakjelasan itulah yang membuat kekacauan saat ini," ujar Sahat.

Konsekuensi ketidakjelasan aturan baru itu juga membuat ekspor kelapa sawit tertunda. Banyak perusahaan, kata dia, tak bisa melakukan ekspor karena belum bisa memenuhi kewajiban DMO minyak sawit. Akibatnya, sebagian pelaku usaha terkena demurrage atau pengenaan biaya tambahan dari perusahaan pelayaran karena durasi pemakaian kontainer bertambah lama.

Aktivitas pengisian minyak curah di kawasan pasar Cipete, Jakarta, 6 Januari 2022. Tempo/Tony Hartawan

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, menilai kebijakan DMO dan DPO akan menimbulkan masalah bagi pabrik minyak goreng yang tidak mempunyai kebun sawit sendiri. Perusahaan-perusahaan semacam ini, ujar dia, bakal kesulitan mendapatkan CPO dengan harga Rp 9.300 per kilogram. “Kebijakan DMO dan DPO hanya bisa dijalankan perusahaan yang punya pasar ekspor.”

Lebih rinci, Eddy menjelaskan, penyebab pabrik bakal kesulitan mendapatkan CPO sesuai dengan harga DPO ialah kenaikan biaya pupuk. Semula, harga pupuk hanya Rp 6.000 per kilogram, tapi kini naik menjadi Rp 10 ribu per kilogram. Sementara itu, saat ini harga CPO dan olein di tingkat global masing-masing sudah sekitar Rp 15 ribu per kilogram dan Rp 17 ribu per kilogram. "Produsen bakal keberatan kalau harus menjual CPO sesuai dengan patokan DPO. Sebab, mereka membeli TBS petani saja sudah di harga Rp 3.000 per kilogram," ujar Eddy.

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung, meminta pemerintah melindungi petani dengan menjaga tingkat harga TBS sawit. Gulat khawatir penerapan DMO dan DPO akan memunculkan aksi spekulan CPO.

Ia berharap penerapan kebijakan itu juga diawasi kantor lelang milik negara, PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN). "Jangan mengobati satu penyakit, malah muncul penyakit baru. Penyakit baru ini di sektor hulunya, yaitu harga TBS petani, dan ini tugas KPBN mengurusinya," tutur Gulat.

Gulat meminta agar kebijakan DMO dan DPO tidak menjadi modus untuk menekan Indeks K–salah satu indikator penghitungan harga TBS. Indeks K biasanya ditetapkan pada setiap Selasa di 22 provinsi yang dilakukan para pemangku kepentingan. Semakin rendah indeks K, harga TBS juga akan semakin rendah. Ia berharap harga TBS petani tidak dikonversikan ke harga CPO yang dipukul rata Rp 9.300 per kilogram. 

Menurut Gulat, harga TBS petani wajib merujuk pada harga KPBN dengan pembanding harga Rotterdam dan Malaysia. Kalau harga DPO menjadi patokan, kata Gulat, harga KPBN (lelang CPO dalam negeri) akan berbeda jauh dengan harga CPO Rotterdam sehingga akan berdampak ke harga TBS petani. Sementara itu, saat ini petani sudah sangat tertekan akibat harga pupuk, herbisida, dan pestisida yang tinggi. "Ditambah lagi beban bea keluar dan pungutan ekspor yang totalnya mencapai US$ 375 per ton CPO.”

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai bukan tak mustahil kebijakan DMO atau DPO menimbulkan dampak terhadap harga TBS petani. Namun Bhima menilai kenaikan harga TBS sudah cukup tinggi dibanding situasi sebelum pandemi. "Artinya petani pun masih memiliki keuntungan dibanding biaya operasional yang dikeluarkan," kata dia.

Juru bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri, enggan memberikan keterangan lebih lanjut perihal implementasi kebijakan DMO dan DPO. Menurut dia, saat ini Kementerian masih membahas kebijakan tersebut secara internal. 

LARISSA HUDA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus