Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengapa Ladia Galaska Merusak Lingkungan

4 Januari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam ingin membuka jalan yang menghubungkan pantai barat Aceh, yang berbatasan dengan Lautan Hindia, dengan kawasan Gayo Alas dan pantai timur Sumatera, yang berbatasan dengan Selat Malaka. Jalan tembus yang dijuluki "Ladia Galaska" ini akan memotong hutan lindung ekosistem Leuser. Alasan pemerintah membuat jalan ini adalah untuk membuka isolasi rakyat dan merangsang pembangunan daerah pedalaman, terutama di kawasan Gayo Alas, serta penduduk lain yang tinggal di sekitar Leuser. Biaya tahap awal proyek ini adalah Rp 250 miliar, sementara seluruh proyek diperkirakan akan memakan dana lebih dari Rp 1 triliun. Departemen Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menolak rencana ini, tapi Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah mendukungnya. Bahkan jalan antara Blangkejeren-Pinding sudah dibangun, tanpa studi kelayakan dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang transparan. Proyek ini dengan demikian mengesampingkan kerja sama Uni Eropa dengan pemerintah Indonesia melalui "Program Pengembangan Leuser 1998-2005". Setiap pembangunan memang bermaksud mengelola sumber daya alam daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Persoalannya adalah bagaimana kesejahteraan itu dapat dicapai dengan biaya sehemat mungkin. Saya usulkan agar Ladia Galaska versi Pemerintah Daerah Aceh sebaiknya diganti dengan jalur jalan lain yang tidak merusak ekosistem Leuser. Proyek Ladia Galaska menurut saya tak layak karena beberapa alasan. Pertama, peta pembangunan daerah Aceh mengungkapkan permukiman penduduk terhimpun terutama di daerah pantai, yakni di pantai utara sepanjang jalan raya dari Banda Aceh melalui Sigli, Bireuen, Lhok Seumawe, dan Langsa ke Medan yang berbatasan dengan Selat Malaka. Juga di pantai barat dari Banda Aceh melalui Tapaktuan ke Singkil yang berbatasan dengan Lautan India. Dari Bireuen di pantai utara, kini telah terdapat jalan ke Takengon. Jalan ini bisa menjadi penghubung penduduk yang bermukim di kawasan Gayo Lues antara Takengon dan Blangkejeren. Yang perlu sekarang hanyalah memperbaiki jalan dari Meulaboh ke Geumpang. Jalan ini bisa menghubungkan Sigli dengan pantai Aceh barat berbatasan dengan Lautan Hindia dan pantai Aceh utara di Selat Malaka. Dengan jalan ini, maksud membangun Ladia Galaska sebetulnya sudah tercapai. Jalur ini lebih mendorong pembangunan Aceh karena menopang pengembangan arus barang ke pelabuhan bebas samudra Sabang. Ladia Galaska versi Pemda Aceh mendorong arus barang dan manusia ke Sumatera Utara melalui Medan dan pelabuhan laut Belawan. Padahal Belawan sudah memiliki daerah penyangga (hinterland) pembangunan yang ditopang oleh kegiatan ekonomi daerah Sumatera Utara. Pelabuhan Sabang-lah yang belum digunakan secara optimal. Digalakkannya pembangunan wilayah penyangga Pelabuhan Sabang—melalui pengembangan segitiga Banda Aceh, Lhok Seumawe, dan Meulaboh (BLM)—akan meringankan beban Pelabuhan Belawan dan Sumatera Utara. Pembangunan segitiga BLM dan meningkatkan fungsi Sabang sebagai pelabuhan samudra bebas akan mendukung pola pembangunan segitiga kawasan Thailand-Malaysia-Indonesia. Alasan Pemda Aceh bahwa Ladia Galaska akan membuka isolasi penduduk di sekitar Leuser juga sulit diterima. Umumnya penduduk memilih dataran rendah untuk bermukim, karena tanahnya baik untuk pertanian dan lebih mudah membangun sarana jalan. Hanya sekitar 70 ribu jiwa hidup terpencar dengan mata pencarian mengambil hasil hutan di kawasan hutan lindung Leuser. Tidak ada ladang sawah dalam hutan lindung Leuser. Maka, investasi membangun jalan melalui Leuser kurang bermanfaat karena jalan itu tidak melewati pusat kegiatan ekonomi masyarakat Aceh, yang sebetulnya lebih tertarik pada segitiga BLM sebagai pusat pertumbuhan. Kedua, bagian terbesar kawasan hutan lindung Leuser memiliki sistem lahan dengan dominasi ciri-ciri Bukit Pandan—yakni lahan dengan curah hujan dari 2.100 hingga 5.100 mm per tahun selama 8 bulan, kemiringan slope tanah di atas 60 persen, dan tipe tanah peka longsor lokal. Kondisi ini menyebabkan pemerintah Belanda dulu tidak menjadikan kawasan ini untuk perkebunan, dan menetapkannya sebagai hutan lindung. Tanah Leuser memiliki lahan atas (top soil) yang tipis sehingga tidak subur untuk tanaman pangan. Tanahnya yang peka longsor sangat berbahaya jika dijadikan permukiman. Penduduk Aceh memahami keadaan ini. Karena itu, mereka tidak bertani dan bermukim di kawasan Leuser dan memilih hidup di dataran rendah dekat pantai. Kalaupun pemerintah merencanakan pembangunan jalan di kawasan dengan kondisi lahan seperti ini, biaya pembangunan dan pemeliharaannya sangat mahal. Curah hujan yang tinggi mengharuskan bangunan jalan ini tahan segala musim (all weather road). Pembukaan jalan di tengah hutan juga akan menimbulkan pembabatan hutan tidak legal (illegal logging). Bagi para penebang liar, ongkos membabat, mengangkut batang pohon, plus biaya sogokan akan lebih rendah dari harga kayu gelondongan di pasar. Inilah pola yang timbul di hutan Amazon, Brasil, sebagai akibat pembangunan jalan raya Transamazon. Akibatnya, hutan primer alam tropis di sana hancur. Ketiga, peranan hutan lindung Leuser sangat besar untuk menampung air hujan dan menjadi sumber mata air bagi sungai yang bermuara di pantai Aceh Barat dan Timur. Karena Leuser, Aceh saat ini tergolong daerah surplus air bersih. Air tawar adalah komoditas ekonomi yang sangat bernilai. Saat ini Singapura sangat bergantung pada impor air tawar dari Indonesia dan Malaysia. Di masa depan, tak tertutup kemungkinan Pulau Jawa membutuhkan air tawar dari Aceh. Hutan Leuser sebagai pencegah banjir juga memiliki nilai ekonomi terselubung yang tak terhingga. Tumbuhnya hutan di tanah yang kurus dan peka longsor dapat mencegah erosi tanah dan sedimentasi sungai-sungai yang bermuara di dataran rendah. Hutan juga mencegah banjir bandang gaya Bohorok tempo hari. Tanpa Leuser, dampak tanah longsor dan banjir akan dipikul oleh penduduk Aceh. Daerah Aceh memiliki tanah daratan subur di tepi pantai sebagai muara aliran sungai yang hulunya berasal dari Leuser. Kabupaten-kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan memiliki sungai yang hulunya ada di Leuser. Pembukaan hutan Leuser akan mengakibatkan banjir bandang di kabupaten-kabupaten ini. Keempat, kawasan hutan Leuser merupakan ekosistem yang menghidupi tumbuhan rempah-rempah, jamu, dan hasil hutan non-kayu lainnya yang belum digarap untuk pembangunan. Kulit kayu pohon Pinus Aceh punya khasiat sebagai obat penyembuh penyakit kanker. Ekosistem Leuser juga menjadi habitat tempat hidup bermacam ragam hewan yang sudah tergolong langka, seperti badak, gajah, orangutan, harimau, serta burung-burung Sumatera. Hutan bakau di kawasan Singkil memiliki populasi orangutan yang terpadat di dunia: rata-rata 10 ekor per kilometer persegi. Hewan-hewan ini berfungsi sebagai pembawa dan penghidup bibit tumbuhan dan sekaligus memurnikan nilai alami tumbuh-tumbuhan. Kupu-kupu Leuser menghasilkan kepompong sutra yang tinggi nilainya. Kelima, hutan ekosistem Leuser juga bermanfaat bagi lingkungan global untuk penyerap karbon. Transportasi, energi, dan industri melepaskan karbon yang mengancam kehidupan manusia dengan menaikkan suhu bumi. Air laut akan mekar dan permukaannya akan meninggi. Iklim semakin panas dan pertanian dan kesehatan manusia akan terganggu. Kekeringan akan terjadi di mana-mana. Ancaman terhadap lingkungan ini terutama akan mengenai daerah khatulistiwa. Untuk mengatasi ancaman ini, pemerintahan seluruh dunia termasuk Indonesia—kecuali Amerika Serikat, Australia, dan Rusia—telah sepakat untuk melaksanakan "Protokol Kyoto". Kesepakatan ini memungkinkan "ditukarnya" hutan yang mampu menyerap karbon dengan uang. Dalam variasi yang lain, pengelolaan hutan oleh negara berkembang bisa dipakai untuk membayar utang ke negara maju. Leuser memiliki potensi itu. Hutan bakau kawasan Singkil saja mampu menyerap 1/3 juta ton karbon setahun. Dalam konteks "Protokol Kyoto", hutan Singkil bisa dipakai dalam bisnis "perdagangan karbon" tersebut. Penduduk dunia akan bertambah dari 6,1 miliar saat ini menjadi 9 miliar pada tahun 2200. Penambahan penduduk ini umumnya akan berlangsung di negara berkembang. Bisa diramalkan bahwa konsumsi dunia akan barang dan jasa akan semakin naik. Semua ini memerlukan sumber daya alam. Dunia akan semakin sempit dijejali oleh muatan alam buatan manusia dan teknologi. Sekarang saja sudah tampak peningkatan kebutuhan manusia untuk "kembali ke alam", baik berupa makanan, obat, kosmetik, maupun obyek wisata. Liburan di alam bebas makin digandrungi. Ini sebabnya eko-turisme Leuser memiliki masa depan yang cemerlang. Posisi Leuser yang dikelilingi negara pariwisata, seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura, menjadikannya sangat strategis. Aceh sudah memiliki pintu masuk pariwisata berupa pelabuhan udara di Takengon, Meulaboh, Lhok Seumawe, Banda Aceh, dan pelabuhan samudra Sabang. Langkah pertama adalah menempatkan empat kota ini dalam peta wisata ASEAN yang ditopang oleh jaminan keamanan dan stabilitas politik daerah dalam tahun-tahun 2005-2020. Dengan pertimbangan di atas, mengembangkan pusat pertumbuhan yang mengacu pada Banda Aceh, Lhok Seumawe, dan Meulaboh (segitiga BLM) sebagai penunjang pembangunan segitiga Thailand, Malaysia, dan Indonesia (Aceh) menjadi penting. Pengembangan BLM perlu dipertimbangkan sebagai alternatif dari Ladia Galaska yang diusulkan Pemda Aceh. Di luar itu, tentu saja putra Aceh perlu dilatih untuk memahami ilmu life sciences, bioteknologi, rekayasa genetik, ekologi air, fauna-flora, kelautan, wisata, serta rekayasa kehutanan lain untuk meningkatkan nilai tambah hutan Leuser. Pola pembangunan yang ditempuh di Aceh mestinya bukan pembangunan konvensional yang merusak lingkungan. Emil Salim Pengamat lingkungan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus