Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
aerah Kuningan dipercaya sebagai pusat berdirinya agama Sunda Wiwitan. Sejumlah dokumen di Rumah Paseban, tempat pertemuan mereka, menyebutkan Sunda Wiwitan sudah ada ribuan tahun lalu di wilayah Jawa Barat dan berkembang kembali sejak berdirinya Rumah Paseban Tri Panca Tunggal pada 1840.
Tahun ini Seren Taun, yang digelar setiap tanggal 22 Rayagung (22 Zulhijah), bertepatan dengan 17 Oktober 2014. Namun prosesi telah dimulai malam sebelumnya. Prosesi Seren Taun diawali dengan doa bersama pemeluk lima agama—Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha—serta pemeluk Sunda Wiwitan. Doa secara bergantian itu memohon agar tahun mendatang dijauhkan dari bala dan memohon hasil panen yang melimpah.
Acara doa kembali dilakukan pada Jumat pagi. Setelah itu, dilanjutkan dengan acara Nutu Pare (menumbuk padi) sebanyak 2,2 ton. Makna dari angka 2 adalah dua alam dan keseimbangan. Hampir semua peserta ikut menumbuk padi secara bergantian. Padi hasil panen sebelumnya disimpan di lumbung. Sambil menumbuk padi, peserta berkeliling untuk memberikan alu (penumbuk padi) kepada peserta lain yang telah menunggu.
Sekitar pukul 6 sore, padi 2,2 ton selesai ditumbuk. Padi yang telah ditumbuk dikumpulkan panitia untuk disaring dan ditapis (dibersihkan menggunakan alat tampah ceper). Setelah itu, dimasukkan ke kantong plastik untuk dibagikan kepada warga sekitar dan fakir miskin.
Menurut Pangeran Gumirat Barna Alam, 55 tahun, cucu Ki Madrais, tradisi itu telah berlangsung sejak 1860, ketika Ki Madrais mengembangkan agama tersebut. Selain menumbuk padi, pementasan lain adalah Tari Buyung, Tari Angklung Buncis, Angklis Kanekes, Tari Jamparing Apsari, Puragabaya Gebang, Ngajayak, dan Rajah Pamuka. "Acara ini sempat dilarang selama 17 tahun oleh pemerintah Orde Baru. Namun, setelah era Presiden Abdurrahman Wahid, acara ini dilestarikan," ujarnya seusai acara. Pangeran Gumirat dianggap sebagai Rama atau orang yang dituakan oleh pemeluk Sunda Wiwitan.
Ki Madrais adalah keturunan dari Pangeran Alibasa, putra kesembilan Sultan Pangeran Gebang, yang menikah dengan Nyi Raden Kastewi, keturunan kelima dari Tumenggung Jayadipura Susukan. Pada 1822, Nyi R. Kastewi melahirkan putra bernama Pangeran Sadewa Alibasa atau Pangeran Surya Nata atau Pangeran Kusuma Adiningrat. Agar tidak diketahui sebagai cucu turunan Pangeran Gebang, dia dititipkan kepada Ki Sastrawardana, bekas panglima perang Kerajaan Mataram, yang memilih menetap di Cigugur. Oleh Ki Sastrawardana, Pangeran Sadewa dipanggil Madrais.
Madrais ketika belia sempat mengenyam pendidikan Islam dari keluarga kakek ibunya. Namun, saat berumur 10-13 tahun, ia mulai belajar beberapa ilmu kehidupan di perguruan berbagai daerah di Jawa.
Hasil pengembaraan Madrais dalam mencari jati diri dan mendekati penciptanya diperkirakan merupakan perpaduan ajaran tasawuf Islam dengan kepercayaan masyarakat Sunda saat itu. Dari pengalaman itulah Madrais berusaha mengembangkan Sunda Wiwitan dengan menjaga adat, tradisi, dan kebudayaan Sunda.
Madrais berkelana dan menyebarkan ajaran Sunda Wiwitan di daerah Garut, Subang, Purwakarta, Tasikmalaya, Ciamis, Majalengka, Priangan (Bandung), Banten, sampai Baduy. Kemudian dia kembali ke Kuningan.
Perjuangan Madrais bukan tanpa rintangan. Pemerintah Hindia Belanda ternyata terus mengawasi para keturunan Pangeran Gebang. Madrais dinilai membangkang Belanda karena tidak mau tunduk kepada orang asing. Belanda menangkap Madrais dan membuangnya ke Merauke pada 1901-1908.
Saat Madrais ditangkap, para pengikutnya semakin berani melawan Belanda dan terus mengembangkan Sunda Wiwitan. Ajaran ini kemudian resmi dilarang pemerintah Belanda, sehingga saat Madrais dibebaskan dan kembali ke Kuningan, dia terus diawasi Belanda. Akhirnya Madrais ditangkap kembali dan ditempatkan di Rumah Sakit Jiwa Cikeumeuh, Bogor (sekarang RS Jiwa Marzoeki Mahdi, Bogor).
Karena dianggap berbahaya, Madrais dikeluarkan dari RSJ Cikeumeuh dan dikembalikan ke Cigugur, Kuningan, tapi dengan pengawasan ketat dan tidak boleh mengajarkan Sunda Wiwitan. Pada 1927, pimpinan Belanda di Cigugur dipindahkan, sehingga Madrais leluasa menyebarkan Sunda Wiwitan.
Pada 18 Sura 1872, sekitar 1940, Madrais meninggal dan dimakamkan di Kampung Pasir Cigugur. Ajaran Sunda Wiwitan diteruskan oleh putranya, Pangeran Tedjabuana Alibasa Kusuma Wijaya Ningrat.
Fitnah terhadap ajaran Sunda Wiwitan yang menyimpang dari Islam dijadikan hasutan sejak zaman Belanda hingga Jepang. Jepang menggunakan strategi mengadu domba Sunda Wiwitan dengan Islam. Setelah Indonesia merdeka, Sunda Wiwitan kembali berkembang. Namun, pada 21 Desember 1947, Rumah Paseban dibakar tentara DI/TII, yang memusnahkan bagian belakangnya.
Untuk menyelamatkan keluarganya, Pangeran Tedjabuana mengungsi ke Cirebon. Hingga 1955, agama Sunda Wiwitan bebas melakukan kegiatan kembali. Namun, pada 21 September 1964, pemerintah Indonesia memaksa Pangeran Tedjabuana membubarkan Sunda Wiwitan dan dia menyatakan diri menjadi penganut Katolik.
Kemudian terbit Surat Keputusan Nomor 01/SKPTS/BK.PAKEM/K.p./VI/64, Panitia Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) Kabupaten Kuningan, tertanggal 18 Juni 1964, yang menetapkan bahwa perkawinan Sunda Wiwitan, yang selama ini dianggap sah secara adat, adalah perkawinan liar dan tidak sah menurut hukum. Akhirnya banyak penganut Sunda Wiwitan masuk ke agama Katolik atau Islam.
Pada 1981, Pangeran Djatikusumah, cucu Pangeran Madrais, mendirikan sebuah aliran kepercayaan baru yang diberi nama Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU), yang merupakan kelanjutan dari Sunda Wiwitan. Setelah PACKU berdiri, 2.000 orang penganut Sunda Wiwitan menyatakan keluar dari Katolik dan masuk kembali ke Sunda Wiwitan.
Hal ini menimbulkan konflik antara Katolik dan PACKU. Pada 1982, PACKU dibubarkan pemerintah dengan Surat Keputusan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Nomor: Kep. 44/K.2.3/8/82. Anggotanya kemudian masuk ke Kristen Pasundan dan Islam. Hingga masa Orde Baru, ajaran ini dilarang, sampai akhirnya pemerintah Abdurrahman Wahid membebaskan Sunda Wiwitan sebagai ajaran agama bagi penganutnya. Hingga saat ini di Jawa Barat diperkirakan ada sekitar 30 ribu penganut Sunda Wiwitan.
Mukana, 66 tahun, penghayat Sunda Wiwitan, warga Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, yang mengikuti acara Seren Taun, meyakini Rumah Paseban Kuningan sebagai pusat Sunda Wiwitan. "Leluhur saya belajar Sunda Wiwitan dari Rumah Paseban," ujarnya. Sebagai penghayat Sunda Wiwitan, ia ingin agar Sunda Wiwitan diakui sebagai agama di kartu tanda penduduk. Dia mengatakan anak laki-lakinya mencantumkan agama Islam di KTP untuk dapat menikah. "Yang penting pernikahannya diakui negara," ujarnya.
Mukana mengatakan, meskipun tidak tertarik pada masalah politik, dia menghormati siapa pun yang menjadi pemimpin Indonesia. "Tapi, secara keyakinan, saya taat kepada pimpinan Sunda Wiwitan," tuturnya.
Menurut Nuhrison M. Nuh, peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama, Sunda Wiwitan mengalami kendala untuk mendapatkan pelayanan karena tidak berbentuk organisasi. "Mereka menganggap kepercayaannya sebagai adat yang tidak bisa diorganisasikan," ujarnya. "Padahal, agar dapat terdaftar di Direktorat Kebudayaan dan terlayani, harus berbentuk organisasi."
Dalam penelitiannya terhadap Sunda Wiwitan, dia menemukan penganut Sunda Wiwitan yang kemudian menggunakan aliran kepercayaan yang telah terdaftar agar pernikahannya diakui. "Dalam pelaksanaan acara menggunakan adat Sunda Wiwitan, tapi surat nikah berdasarkan kepercayaan yang telah terdaftar," ujarnya.
Mubarok, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama, mengakui kelompok yang mengklaim sebagai agama lokal, termasuk Sunda Wiwitan, ingin agar bisa mendapatkan pelayanan dari pemerintah seperti agama lain.
Pemerintah masih memiliki kendala soal peraturan. Secara sistem, menurut dia, agama yang dilayani secara penuh berdasar undang-undang ada enam, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. "Di luar yang enam, semua agama diakui, tapi tidak dibantu. Dibiarkan saja," ujarnya.
Ia menambahkan, persoalan ke depan terkait dengan definisi agama yang belum disepakati bersama, sementara tuntutan klaim agama terus berkembang. "Pemerintah sendiri selalu menggunakan standar formal dalam mengambil kebijakan. Jadi harus ada definisi formal," ujarnya.
Erwin Zachri, Deffan Purnama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo