Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fury
Sutradara: David Ayer
Skenario: David Ayer
Pemain: Brad Pitt, Shia LaBeouf, Jason Isaacs, Jon Bernthal, dan Michael Pena
Produksi: QED International
Ladang pembantaian perang selalu menjadi inspirasi untuk diangkat ke layar lebar. Setidaknya dalam tradisi Hollywood, film bertema perang, khususnya Perang Dunia II, cukup sukses menarik minat penonton, dan sumber duit tentunya.
Bertolak dari cerita kelabu semasa Perang Dunia II pula David Ayer menggarap film terbarunya, Fury. Di jagat perfilman, nama Ayer memang cukup diperhitungkan. Sebagai sutradara, ia telah melahirkan bermacam film aksi yang sukses di pasar. Ia juga terkenal karena naskah filmnya yang mengundang pujian kritikus, seperti SWAT, The Fast and the Furious, dan Training Day.
Fury menjadi ujian pertama bagi Ayer untuk membuktikan kemampuannya menggarap film bertema perang. Dengan naskah yang ditulisnya sendiri, Ayer memusatkan filmnya pada kisah heroik para prajurit yang tergabung dalam 2nd Armored Division saat bertempur melawan tentara Nazi di Jerman. Dalam sejarah, 2nd Armored Division tercatat sebagai salah satu divisi artileri Amerika Serikat yang memiliki peran penting dalam Perang Dunia II, terutama dalam melawan tentara Nazi di Afrika Utara, Sisilia, Prancis, Belanda, Belgia, dan Jerman.
Dalam film ini, kisah heroik itu mengerucut pada satu pasukan yang dipimpin Sersan Don Collier (Brad Pitt). Bersama empat anak buahnya, yakni Boyd Swan (Shia LaBeouf), Trini Garcia (Michael Pena), Grady Travis (Jon Bernthal), dan Norman Ellison (Logan Lerman), Collier bertugas di dalam sebuah tank Sherman M4A3E8 bernama Fury. Mereka diminta membantu pasukan Sekutu merebut beberapa kota di Jerman yang menjadi basis pertahanan pasukan SS (Schutzstaffel), organisasi keamanan dan militer Nazi. Termasuk pasukan Jerman di sebuah persimpangan jalan menuju Berlin. Hanya ada empat tank yang bisa diandalkan dalam melakukan pencegatan itu. Namun, dalam perjalanannya, tinggal Fury yang bisa mencapai persimpangan tersebut, itu pun dalam kondisi rusak akibat melindas ranjau. Dengan kondisi yang serba minim, pertempuran habis-habisan pun terjadi.
Secara garis besar, cerita yang disuguhkan memang terbilang sederhana. Tapi Ayer mampu mengolahnya menjadi tontonan yang apik. Adegan pertempuran—sebagian terlihat brutal—digarap dengan penuh ketelitian. Suguhan visual Ayer begitu dingin dan suram, semakin mempertegas ketidaknyamanan itu dengan menghadirkan segala ketegangan, ketakutan, dan berbagai sisi gelap sebuah peperangan.
Ayer juga sukses memainkan emosi penonton lewat pilihan dialog yang cerdas dan adegan dramatis yang terlihat begitu nyata. Lokasi pertempuran yang sesuai dengan judul film, Fury, hanya berpusat di sekitar tank tempur, tak lantas membuat jenuh.
Lewat karakter Norman, juru ketik yang dipaksa masuk ke medan perang, Ayer juga memperlihatkan tekanan psikologis yang harus dilewati semua prajurit. Norman, prajurit yang baru delapan pekan bergabung di medan tempur, dipaksa menjadi "mesin pembunuh". Lelaki muda yang bahkan bersusah payah menahan mual ketika melihat ceceran darah itu juga harus menutup rapat hati nuraninya dan menghilangkan rasa belas kasihan.
Perang memang bukan persoalan kemanusiaan. Juga bukan masalah benar atau salah. "Dalam perang, kita hanya punya dua pilihan: dibunuh atau membunuh," kata Collier setengah membentak saat memaksanya menembak mati seorang serdadu Jerman. Dan di layar kita melihat bagaimana serdadu yang putus asa meratap-ratap minta dikasihani itu duduk bersimpuh berhadapan dengan prajurit minim pengalaman perang yang menjerit-jerit menangis berusaha sekuat tenaga menolak menjadi eksekutor. Sebuah pemandangan yang menyakitkan.
Tapi tentu saja kekuatan lain dari film ini adalah jajaran pemainnya. Brad Pitt, yang sempat mencicipi adegan perang di Inglourious Basterds, dengan segala pesonanya mungkin masih menjadi magnet utama bagi penonton. Tapi dia bukanlah satu-satunya karakter yang mendominasi. Ayer tetap memberikan porsi seimbang untuk karakter lain yang untungnya memperlihatkan kekuatan akting yang maksimal. Termasuk Shia LaBeouf, yang lebih matang dibanding penampilannya dalam trilogi Transformers.
Fury mungkin tak sehebat Saving Private Ryan, tapi setidaknya film ini mampu menjadi karya yang enak ditonton sekaligus sebuah bahan renungan tentang buruknya perang.
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo