Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Pajak Mobil Mewah Naik, BMW dan Mercedes-Benz Tak Terpengaruh

Baik produk BMW maupun Mercedes-Benz yang dipasarkan di Indonesia mayoritas merupakan rakitan lokal, tidak terkena dampak kebijakan impor mobil mewah.

6 September 2018 | 20.48 WIB

Booth Mercedes-Benz di GIIAS 2018. 2 Agustus 2018. TEMPO/Wawan Priyanto
Perbesar
Booth Mercedes-Benz di GIIAS 2018. 2 Agustus 2018. TEMPO/Wawan Priyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah resmi mengumumkan penyesuaian tarif pajak penghasilan (PPh) pasal 22 impor untuk 1.147 komoditas barang konsumsi, Rabu, 5 September 2018. Salah satu komoditas yang terkena penyesuaian kebijakan tarif PPh 22 tersebut adalah mobil mewah yang diimpor utuh (completly built up/CBU) dan motor besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Untuk barang mobil mewah, dalam situasi seperti ini, itu adalah barang mewah yang sama sekali tidak penting bagi republik ini," ujar Sri Mulyani dalam konfrensi pers yang diadakan di Kantor Kemenkeu, Rabu, 5 September 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sri Mulyani menjelaskan, pajak penghasilan (PPh) yang sebelumnya dikenakan 2,5 persen, saat ini dinaikkan menjadi 10 persen. Sehingga, para pemilik mobil mewah akan dikenakan pajak sebesar 190 persen.

Baca: Pelemahan Rupiah, Adira Pertimbangkan Budget Tahun Depan

Menanggapi pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, yang mengatakan harga mobil mewah impor akan naik sebesar 190 persen. Vice President Corporate Communications, BMW Group Indonesia, Jodie O’tania mengatakan tidak terlalu berpengaruh pada harga jual.

Menurutnya, hal itu disebabkan 80 hingga 90 persen produksi BMW sudah dirakit Di Indonesia. “Sampai saat ini tidak ada pengaruh untuk harga jual BMW,” katanya di sela acara Mini Plant Tour di PT Gaya Motor pada Kamis, 6 September 2018.

Terkait pelemahan rupiah, ia mengatkan, karena sebagian besar transaksi di BMW menggunakan mata uang euro, sehingga tidak terlalu berpengaruh untuk harga penjualan sampai saat ini.

Dalam menanggapi soal aturan baru ini, ia dan BMW Group Indonesia masih meninjau sejauh mana aturan ini. Ia tetap optimistis dan diharapkan tidak mengoyang penjualan. Karena menurut Jodie, BMW Group Indonesia punya strategi marketing komperhensif guna menjangkau pelanggan potensial di Indonesia.

Sementara itu, brand premium asal Jerman lainnya, Mercedes-Benz, menyampaikan bahwa kebijakan kenaikan pajak dan pembatasan impor mobil mewah tidak berdampak signifikan pada bisnis Mercedes-Benz di Indonesia.

Baca: Dolar Perkasa, Mitsubishi Jaga Harga Mobil Tetap Kompetitif

Department Manager Public Relations PT  Mercedes-Benz Distribution Indonesia Dennis A. Kadaruskan mengatakan bahwa saat ini lebih dari 75 persen penjualan mobil Mercedes-Benz adalah model-model yang dirakit secara lokal (CKD) seperti Mercedes-Benz C-Class, E-Class, S-Class, GLC, GLE atau GLS.

Mercedes-Benz, lanjut Dennis, berharap bahwa peraturan baru ini akan diberlakukan secara adil untuk semua mobil impor dari semua merek dan pesanan mobil yang masih tertunda tidak terpengaruh dengan adanya kebijakan ini. “Kendaraan-kendaraan tersebut telah dirakit untuk dipesan oleh para pelanggan kami," ujarnya.

Mercedes-Benz Indonesia, lanjut dia, menaruh perhatian terhadap diskusi yang sedang berlangsung saat ini terkait kebijakan impor kendaraan CBU, namun pihaknya masih menunggu perincian lebih lanjut. “Kami tetap memantau proses diskusi ini untuk menyesuaikan strategi kami, akan tetapi mobil-mobil yang berkapasitas mesin diatas 3-liter mencapai kurang dari 1 persen dari total penjualan kami,” katanya.

Baca: Dolar Menguat, Toyota Belum Akan Naikkan Harga Mobil

Deputy Director Sales Operation & Product Management MBC PT Mercedes-Benz Distribution Indonesia Kariyanto Hardjosoemarto menyampaikan bahwa posisi Mercedes-Benz saat ini adalah terus memonitor pergerakan nilai tukar valuta terutama euro terhadap rupiah. “Dari sisi harga kendaraan, kenaikan USD tidak serta merta menaikan harga kendaraan CBU kami apalagi kalau kenaikannya bersifat sementara atau sesaat,” ujarnya.

Kariyanto berharap kenaikan dolar AS tidak terjadi secara berkelanjutan. “Jika kenaikan nilai tukar terjadi secara berkelanjutan terutama di euro maka mau tidak mau kami harus melakukan adjustment harga,” katanya.

WISNU ANDEBAR | WAWAN PRIYANTO

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus