Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Berita Tempo Plus

Proyek Kereta Ringan Pulo Gebang-Joglo Dinilai Janggal

Skema pembiayaan proyek kereta ringan rute Pulo Gebang-Joglo dinilai bakal membebani keuangan daerah.

5 Mei 2021 | 00.00 WIB

Light Rail Transit (LRT) Jakarta rute Kelapa Gading-Velodrome di Pulo Mas, Jakarta, 2 November 2020. Tempo/Tony Hartawan
Perbesar
Light Rail Transit (LRT) Jakarta rute Kelapa Gading-Velodrome di Pulo Mas, Jakarta, 2 November 2020. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Ringkasan Berita

  • Meski memakai skema KPDBU, DKI masih harus menyediakan anggaran pembangunan prasarana Rp 18,9 triliun dan pembebasan lahan Rp 1,8 triliun.

  • Selama masa konsesi, DKI menyerahkan seluruh keuntungan biaya tiket, iklan, penyewaan, dan pengembangan TOD kepada swasta.

  • Harga tiket LRT Pulo Gebang-Joglo diprediksi Rp 12 ribu untuk satu kali perjalanan terjauh.

JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta mempersoalkan rencana pembangunan kereta ringan alias light rail transit (LRT) rute Pulo Gebang-Joglo dengan skema pembiayaan kerja sama pemerintah daerah dengan badan usaha (KPDBU). Sebab, rute yang diusulkan PT Pembangunan Jaya itu tak masuk dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Ibu Kota.

“Dalam skema KPDBU, ternyata DKI tetap harus membayar atau keluar uang. Lalu, buat apa memberikan rute gemuk kepada swasta?” kata Sekretaris Komisi B Bidang Perekonomian, Pandapotan Sinaga, dalam rapat pembahasan pembiayaan KPDBU di gedung DPRD, kemarin. Bahkan sejumlah anggota Komisi B menilai pemerintah daerah sanggup menggarap sendiri proyek senilai Rp 24,05 triliun tersebut.

Berdasarkan dokumen Dinas Perhubungan DKI Jakarta, proyek LRT Pulo Gebang-Joglo menggunakan skema pembiayaan KPDBU unsolicited atau berdasarkan prakarsa perusahaan swasta. Dengan skema ini, pemerintah DKI tetap harus menanggung biaya investasi prasarana sebesar Rp 18,9 triliun dan pembebasan lahan Rp 1,18 triliun.

Adapun PT Pembangunan Jaya, sebagai badan usaha pelaksana (BUP), hanya menanggung biaya investasi atau pengadaan sarana yang diprediksi mencapai Rp 3,89 triliun. Selain itu, selama masa konsesi sepanjang 30 tahun, Pembangunan Jaya akan menanggung biaya operasi serta perawatan prasarana dan sarana LRT Pulo Gebang-Joglo yang menelan biaya sekitar Rp 451 miliar per tahun.

Menurut anggota Komisi B, Gilbert Simanjuntak, dalam skema KPDBU itu, pemerintah daerah juga masih memiliki kewajiban membayar public services obligation (PSO) kepada perusahaan swasta setiap tahun. Sementara itu, berdasarkan studi kelayakan, harga tiket perjalanan LRT Pulo Gebang-Joglo yang memakan biaya Rp 1.553 per kilometer akan ditentukan maksimal Rp 12.343 per penumpang. Adapun tarif normal satu perjalanan penuh di rute sepanjang 32,15 kilometer tersebut mencapai Rp 49 ribu. Dengan begitu, selisih harga tiket itu akan ditanggung pemerintah sebagai subsidi.

“Buat apa memberikan subsidi setiap tahun kepada perusahaan swasta? Lebih baik pemerintah atau BUMD saja,” ujar Gilbert. “Ini bisa triliunan rupiah per tahun. Kalau konsesinya 30 tahun, berapa uang DKI yang harus diberikan ke swasta?”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus