JAKARTA -- Berbekal tampah anyaman bambu seukuran setir mobil, Tarjuki mondar-mandir memindahkan 40 kilogram kedelai yang sudah ia rebus di kediamannya, di salah satu rumah di Gang Kwista 9, Kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta Pusat, kemarin. Pembuat
tempe ini memindahkan rebusan kedelai yang berada di tong besi bekas drum minyak itu ke dalam drum plastik.
Selanjutnya, kedelai itu akan ia giling. Setelahnya, kedelai akan dicuci sampai bersih sebelum diberi bibit ragi. "Proses pencucian harus benar-benar bersih. Kalau tidak, kualitas tempenya bakal buruk," kata pria berusia 65 tahun itu.
Setelah diberi ragi, kedelai tersebut akan ditata berbentuk memanjang dalam kantong plastik. Di atas papan bambu sepanjang dua meter, Tarjuki menata dua batang adonan tempe. "Kedelai 40 kilogram biasanya bisa jadi 12 lonjor tempe yang tersimpan di enam papan bambu," kata dia.
Tempe yang ia produksi sudah punya pembeli tetap, yakni sejumlah pedagang di Pasar Gaplok, Kramat, Senen. Namun ia tak mau menyebutkan berapa harga jual tempe ke para pedagang. "Rahasia kami itu," katanya.
Tarjuki baru memulai membuat lagi tempe setelah libur sejak Sabtu pekan lalu. Sesuai dengan kesepakatan dengan para pembuat tempe lain di Kampung Tahu Tempe Rawa Selatan RW 04, Tarjuki dan kawan-kawan tak mengedarkan tahu dan tempe selama tiga hari sejak Senin lalu. "Baru hari ini mulai produksi lagi biar bisa dijual hari Kamis. Sebab, bikin tempe lebih lama, bisa dua-tiga hari," kata Tarjuki.
Tarjuki bisa memaklumi gerakan mogok produksi para pembuat
tempe dan tahu dari Senin hingga hari ini. Musababnya, harga kedelai yang teramat tinggi memang menyiksa para perajin. Menurut dia, saat ini harga kedelai mencapai Rp 12 ribu per kilogram. Padahal sebelumnya hanya Rp 8.000 per kilogram.
Turipah, istri Tarjuki, mengatakan tak mungkin bagi mereka menaikkan harga atau mengurangi takaran tempe. Sebab, berdasarkan pengalaman sebelumnya, para pembeli akan memprotes dan memilih tak jadi membeli tempe. Walhasil, daripada semakin merugi lantaran pembeli berkurang, Tarjuki dan Turipah memilih untuk menjual tempe mereka dengan harga lama.
Kondisi Kampung Tahu Tempe di Jalan Kwista 9, Kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta, 22 Februari 2022. Tempo/Indra Wijaya
Risikonya, keuntungan keduanya merosot lantaran mesti menomboki mahalnya bahan baku kedelai. "Tapi, pertanyaannya, buat apa bekerja kalau tidak dapat untung? Sampai kapan harga kedelai naik?" kata Turipah.
Turipah berharap pemerintah segera turun tangan menstabilkan harga kedelai. Sebab, tempe dan tahu adalah makanan murah yang bisa dijangkau semua kalangan. "Tempe dan tahu itu penting untuk keluarga tidak mampu. Kalau tempe-tahu tidak ada, mereka akan makan apa?" kata perempuan berusia 65 tahun berlogat Jawa Tengah itu.
Perajin tempe lainnya, Faisal Basri, memilih untuk libur, kemarin. Pria berusia 20-an tahun itu baru akan memulai produksi tempe hari ini. Selain Faisal, sejumlah perajin tempe di wilayah tersebut masih belum menjalankan produksi mereka.
Tampak sejumlah perajin
tempe asik kongko di depan rumah produksi mereka. Ada pula yang memilih untuk beres-beres peralatan produksi tempe dan tahu, atau membersihkan rumah mereka. Tampak papan bambu, yang biasanya dipakai menaruh adonan tempe, kini dipakai untuk menjemur kasur, bantal, dan guling.
Faisal dan rekan-rekannya berharap pemerintah segera menurunkan harga kedelai. Sebab, menurut dia, bukan baru kali ini harga kedelai meroket. "Biasanya harga kedelai turun lagi dalam waktu 20 hari. Semoga kali ini lebih cepat," kata dia.
Menurut Faisal, para perajin di Kampung Tahu Tempe Rawa Selatan punya komunikasi yang bagus dan terkoordinasi. Menurut dia, para pembuat tempe satu suara untuk mogok produksi sejak Senin lalu hingga hari ini.
Faisal mengatakan, ia dan para perajin mendapat arahan mogok produksi lewat surat edaran Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Kopti) sejak pekan lalu. Karena tujuan mogok demi mendorong pemerintah menstabilkan harga kedelai, ia dan pembuat tempe di Kampung Rawa Selatan setuju. "Daripada ikut demonstrasi di jalan, aksi mogok ini lebih mengena desakannya," kata Faisal.
Faisal mengatakan tak ada kegiatan razia sesama perajin untuk mencari perajin yang nekat membuat tahu dan tempe di masa mogok. "Di sini, saling percaya saja," kata dia.
Sebab, sempat muncul kabar upaya sweeping yang dilakukan paguyuban produsen tempe di Sunter dan Tanah Abang. Kedua paguyuban itu menyisir para perajin tempe di wilayahnya yang masih berproduksi di masa mogok kerja. Sweeping dilakukan agar para produsen tempe di kedua wilayah tersebut satu suara menentang tingginya harga kedelai.
Ketua Kopti Jakarta Pusat, Khairun, mengatakan kegiatan
sweeping murni inisiatif kedua paguyuban untuk menertibkan anggotanya yang tak mematuhi kesepakatan. Khairun mengatakan peristiwa itu terjadi pada Sabtu malam pekan lalu. "Saat disidak, para produsen tempe menemukan 200 kilogram
tempe yang sudah siap dilepas ke pasar saat mogok produksi," kata Khairun.
INDRA WIJAYA | EKA YUDHA SAPUTRA