Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Penyebab Industri Animasi Indonesia Tak Berkembang Meski Banyak Cerita Rakyat

Problem utama industri animasi besar seperti Pixar dan Disney itu masih sama dengan di Indonesia.

12 Desember 2020 | 14.06 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa ahli membeberkan alasan mengapa industri animasi di Indonesia tidak berkembang dalam acara webinar bertajuk “Animasi di Indonesia: Jaringan Sosial dan Pengembangan Konten Lokal”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Webinar tersebut digelar Jumat, 11 Desember 2020, oleh Pusat Penelitian Kewilayahan (P2K) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peneliti Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM) Aris Arif Mundayat menerangkan dirinya sering bertanya mengapa kisah yang banyak di masyarakat sering kalah dengan film-film animasi tingkat global. Padahal, menurutnya, banyak cerita rakyat, bahkan ada buku yang berjudul 366 cerita rakyat Nusantara.

“Kenapa kalah? sebenarnya ini bukan persoalan technical, karena banyak juga animator kita yang mendapat kontrak untuk ikut proyek animasi global. Kenapa cerita rakyat kalah? Ini menjadi pertanyaan yang sering saya tanyakan,” ujar dia, Jumat.

Sebenarnya, kata Aris yang merupakan lulusan antropologi UGM itu, problem utama industri besar seperti Pixar dan Disney itu masih sama dengan di Indonesia. Misalnya, dia mencontohkan, Indonesia membutuhkan 7.000-an animator, industri besar juga sama membutuhkan animator dalam jumlah yang besar.

Aris mengatakan industri global mencari talenta animasi itu ke seluruh dunia, yang artinya ada potensi jaringan yang perlu dipikirkan, bukan hanya untuk mengembangkan industri.

“Juga membangun model alternatif yang bisa kita dapatkan, model jaringan animasi global, karena mereka betul-betul menggunakan seniman animasi, termasuk Indonesia,” tutur dia.

Direktur dan Kurator-Produser Dapoer Dongen Noesantara Yudhi Soerjoatmodjo mengatakan dia menyadari ketika menjadi seorang pemimpin perusahaan game lokal bahwa secara visual dan digital kreativitas orang Indonesia mampu bersaing. Namun, kata dia, secara story telling masih buruk.

“Kami ini seperti tidak punya ide dan gagasannya sangat miskin bahkan. Jadi kalau bicara yang sifatnya dari tradisi, yang mereka lakukan hanya sekadar menggambar cerita itu dengan gambar baru, tapi ceritanya sama,” kata Yudhi.

Misalnya, Yudhi mencontohkan, cerita Mahabharata, pasti yang diketahui hanya perang antara Pandawa dan Korawa. Kalaupun dikreasikan, Yudhi menambahkan, paling yang diubah hanya senjata yang digunakan saja, padahal banyak cerita-cerita sampingnya yang menarik.

Selain itu, Yudhi juga menemukan persoalan bacaan wawasan. Menurutnya, banyak para kreator yang tidak suka menambah wawasannya, dan hanya membaca di sekitar mereka. “Jadi kalau bicara game ya mereka hanya suka animasi, desain grafis, mereka tidak suka baca sastra, dan informasi lainnya,” tutur dia.

Hal itu, Yudhi menyebutkan, hampir terjadi di semua sektor industri kreatif di Indonesia, mulai dari film, teater, dan fotografer. Jadi yang jadi permasalahan juga adalah tidak biasa membaca, melihat di luar dunianya, berdiskusi lebih luas, dan ini yang membuat kreator Indonesia menjadi miskin secara budaya.

“Ini merupakan tantangan besar bagi kami, bagaimana membuat tukang jahit menjadi pencipta, karena kreator di Indonesia hanya menjadi penjahit saja, bukan pencipta. Mereka hanya mengikuti yang diarahkan dari industri besar di Amerika, Jepang dan Korea, mereka tidak membuat karya orisinal,” ujar Yudhi.

Sedangkan Direktur Program Minikino—organisasi festival film pendek Indonesia—Fransiska Prihadi menerangkan adanya masalah di mana pembuat film hanya ingin menonton filmnya sendiri. “Dari berbagai kegiatan yang kita buat, sering kali ada tendensi seperti itu,” kata Fransiska.

Menurutnya, Indonesia jika ingin sukses di bidang animasinya membutuhkan kesadaran dan pendidikan, khususnya bagi para kreator. Dia mengusulkan agar pemerintah memperkuat perpustakaan audio visual dan menciptakan sistem dan infrastruktur yang bisa membawa manfaat bagi kreator.

“Kita memiliki short film library, tapi kita belum bisa membuatnya diakses online, karena infrastruktur itu adalah PR-nya,” tutur dia. “Ide lainnya adalah budaya ini hanya bisa ada dan berkembang dengan pertukaran bukan dengan isolasi.”

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus