Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jalan Perjuangan Marthen Indey

Marthen Indey mengikuti sejumlah gerakan pasca-Proklamasi 1945. Sempat ditawari jadi Gubernur Papua oleh Presiden Sukarno.

13 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah kegelapan malam pada pertengahan 1946, Marthen Indey dan Corinus Krey mengendap-endap di bibir pantai Kampung Nafri, Jayapura, Papua. Keduanya merupakan pentolan Komite Indonesia Merdeka (KIM). Mereka ingin menyeberangi laut. “Keluarga di situ yang menyediakan perahu,” kata Max Krey, anak kedua Corinus Krey, kepada Tempo pada Sabtu, 29 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Max mendengar sendiri cerita itu dari sang ayah. Marthen dan Corinus hendak menuju Kampung Tobati yang terletak di seberang perairan kawasan Teluk Youtefa. Marthen saat itu berusia 34 tahun, sedangkan Corinus 26 tahun. Mereka berupaya menghindari mata-mata Belanda. Keduanya hendak menghadiri pertemuan rahasia untuk membahas berbagai upaya mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kala itu Marthen masih menjabat Direktur Asrama Pendidikan Pamong Praja dan Mantri Batalyon Papua milik Belanda. Sementara itu, Corinus pengajar mantri. Markas itu berada di Kota Nica (yang merujuk pada Netherlands Indies Civil Administration/NICA) di Lembah Makanwai, sekarang Kampung Harapan, Sentani. Belanda mendirikan markas di sana karena Hollandia, kini Jayapura, sudah menjadi pangkalan sekutu terbesar untuk kawasan Pasifik Selatan.

Peneliti George Junus Aditjondro mencatatkan rangkaian pertemuan rahasia aktivis KIM itu dalam hasil penelitiannya yang berjudul ”Marthen Indey, Pilar Perjuangan Pembebasan Irian Barat di Jayapura”. Penelitian itu dipublikasikan di majalah Prisma edisi Februari 1987. George menuliskan bahwa Kampung Tobati menjadi tempat berkumpul para aktivis KIM berkat saran seorang korano atau kepala kampung di Tobati yang bernama Kaleb Hamid.

Mereka kerap menggunakan rumah seorang ondoafi atau kepala suku bernama Petrus Hamadi. “Tempatnya sulit didatangi karena terletak di atas air Teluk Youtefa,” tulis George. Pada Oktober 2019, di teluk itu berdiri Jembatan Youtefa dengan warna merah menyala yang dibangun dengan anggaran Rp 1,8 triliun.

Pemuka adat dan agama turut serta dalam pertemuan itu. Ada Lukas Jouwe, seorang pendeta, dan tokoh adat di Kampung Nafri Bernama Elly Uyo. Tempo mendapat catatan tangan yang ditulis langsung Corinus Krey, yang menyebut Kaleb, Lukas, dan Elly juga ikut menjadi anggota KIM. Karena dianggap tempat paling layak untuk berlindung, kelompok ini terus menggunakan lokasi itu untuk membuat pertemuan rahasia hingga awal 1947.

Berdiri pada 29 September 1945, Komite Indonesia Merdeka berpusat di Melbourne, Australia. Kelompok ini berisi nasionalis yang ingin memisahkan diri dari Belanda. Pada akhir 1946, KIM didirikan di Jayapura. Ketua pertamanya adalah Dr J.A. Gerungan, seorang dokter wanita dan Kepala Rumah Sakit di Abepura, Jayapura. “KIM adalah organisasi politik pertama di Papua,” demikian penjelasan sejarawan Universitas Cenderawasih, Bernarda Meteray, dalam bukunya yang berjudul Nasionalisme Ganda Orang Papua terbitan 2012.

Dalam perkembangannya, Marthen dan Corinus yang mengisi pucuk pimpinan di organisasi ini. Marthen sebagai ketua I, Corinus sebagai ketua II. Aktivis lain, Petrus Wattebossy, menjabat sekretaris. Peralihan pucuk pimpinan ini tercatat dalam buku biografi Marthen Indey dan Silas Papare yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1997.

Pada 15 November 1946, mereka menggelar pertemuan di Gedung Pisor yang berada di Hollandia. Mereka bersama-sama mendengarkan pembacaan hasil konferensi Linggarjati. Pada hari itu pula KIM berubah menjadi Partai Indonesia Merdeka. Sebulan kemudian, Marthen mengumpulkan 12 tokoh Papua dari berbagai suku. Mereka mengajukan protes ke penjabat Residen, Jan Pieter Karel van Eechoud, atas rencana pemisahan Irian Barat dari Indonesia.

Berbagai manuver Marthen dan kawan-kawan membuat Van Eechoud, yang juga seorang perwira polisi, gerah. Padahal Marthen adalah anak emas Van Eechoud. Mereka berdua pernah melatih ratusan orang selama tiga bulan di Batalyon Papua untuk membantu tentara Belanda.

Puncaknya, pada 23 Maret 1947, polisi Belanda dari pusat Kecamatan Piru datang dan menangkap Marthen Indey di Kamarian, Seram bagian barat, Maluku. Marthen langsung dibawa ke Ambon, lalu diterbangkan ke Sentani dan dijebloskan ke penjara. Kala itu istri dan anak-anaknya tetap tinggal di Ambon. Sementara itu, Corinus sudah ditahan Belanda pada 7 Maret 1947. Pentolan KIM, Kaleb Hamadi, Elly Uyo, dan aktivis lain juga ditangkap dan semuanya ditahan di Ifar, Sentani.

Marthen menghirup udara bebas pada 1950. Ia tinggal di Hollandia. Marthen terpilih mewakili masyarakat Depapre dan Sentani dalam Dewan Dafonsoro, sebuah dewan pertimbangan daerah, di Hollandia. Pada 19 Desember 1961, Presiden Sukarno mengumumkan Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) di depan ribuan rakyat di Yogyakarta. Marthen ikut dalam operasi untuk menghalau Belanda di Irian Barat tersebut.

Di bawah Presiden Sukarno, Marthen menjadi salah seorang utusan Delegasi Irian Barat ke markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, pada 19-24 Desember 1962. Ia menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) periode 1963-1968.

Sepulang dari acara PBB, Sukarno menawarkan Marthen menjadi Gubernur Papua. Ia menolak dengan alasan perjuangannya sudah terlalu panjang. “Bapak menolak karena sudah capek,” ujar anak angkat Marthen, Nicodemus Risakota, kepada Tempo.

Sepanjang hidupnya, Marthen sebetulnya dekat dengan Belanda. Ia pernah menempuh sekolah polisi Belanda di Sukabumi, Jawa Barat, lalu menjadi tentara sekutu. Jiwa nasionalis Marthen bertumbuh ketika ditugasi Belanda sebagai polisi jaga di Boven Digoel, Papua bagian selatan. Ia dipengaruhi sejumlah nasionalis dari Jawa yang sedang ditahan, di antaranya Soegoro Atmoprasodjo, bekas guru Tamansiswa di Yogyakarta.

Saat pindah ke Kota Nica untuk menjadi direktur asrama, komunikasi Marthen dengan Soegoro tetap berlanjut. Kala itu Soegoro dipercaya mengajar sejarah dan kebudayaan Indonesia kepada 40 calon pamong praja asli Irian. Menjelang akhir 1945, Marthen pindah ke Arso, Keerom, Papua. Sementara itu, Soegoro tetap tinggal di Kota Nica dan ditemani Corinus Krey yang belakangan menjadi ajudannya.

Marthen berkonfrontasi dengan Belanda pada Desember 1945. Marthen tak bisa menahan amarah setelah mendengar kabar bahwa sembilan orang Indonesia gugur di Kota Nica pada pertengahan Desember 1945. Satu di antaranya adalah anak didiknya di Batalyon Papua.

Peristiwa yang kerap disebut "Pembantaian di Kota Nica" itu bermula dari adanya rencana pemberontakan yang digagas oleh Soegoro, Corinus, dan aktivis lain. Mereka sebenarnya merencanakan aksi pada 31 Desember 1945. Namun rencana itu tercium orang Indonesia pro-Belanda. Belakangan, kabar pemberontakan itu berubah menjadi gerakan orang Islam untuk menangkap dan membantai semua orang Kristen pada perayaan Natal.

Desas-desus ini yang kemudian membuat tentara Kerajaan Belanda atau KNIL, yang sebagian besar tinggal di Kloofkamp, Hollandia, terpancing. Mereka yang sebagian besar beragama Kristen memburu orang Indonesia yang berasal dari Jawa dan Sumatera di Kota Nica. Sembilan orang yang melawan inilah yang kemudian ditembak mati.

Saat mendengar kabar itu, Marthen Indey langsung berangkat ke Kota Nica. Setelah terjadinya pembantaian itu, Soegoro yang ditangkap lalu dibuang karena dianggap mendalangi aksi. Sementara itu, Corinus dilepas. Sejak saat itu, Marthen dan Corinus mulai aktif di KIM untuk menyiapkan aksi melawan Belanda. “Marthen sangat tidak suka dengan cara Belanda yang suka asal serang,” ucap Nicodemus.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Gerakan dari Teluk Youtefa"

Fajar Pebrianto

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus