Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Marthen Indey bertemu dengan pejuang Indonesia di pengasingan.
Awalnya memata-matai, akhirnya menjadi simpati.
Kesadaran Marthen dan kawan-kawannya soal kolonialisme mulai bersemi.
MARTHEN Indey baru sadar dia, keluarga, dan 31 anak buahnya akan diasingkan begitu kapal motor yang membawa mereka tiba di Anida, Pesnamnam, satu kawasan hutan di hulu Sungai Digul, Papua Selatan. Pantas saja, pemerintah kolonial Belanda yang saat itu menduduki Papua memerintahkan mereka membuka hutan dan membangun bivak-bivak di belantara itu. Padahal tempat itu sangat menyeramkan karena menjadi tempat tinggal suku Jair dan Mandobo yang kerap membunuh musuh-musuhnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak diketahui persis kapan mereka mulai diasingkan. Hanya, waktunya berdekatan dengan masuknya pasukan Jepang ke Kota Fakfak pada 1 April 1942. “Tadinya kami kira itu hanya tugas sementara. Tahu-tahu saya, istri, Mama, dan anak angkat kami yang berumur dua tahun diberangkatkan bersama keluarga polisi lain,” kata Marthen dalam wawancara dengan wartawan, sosiolog, dan aktivis lingkungan, George Junus Aditjondro. “Kami dibuang secara halus,” Marthen menambahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah ini tertulis dalam artikel George Junus Aditjondro berjudul "Marthin Indey, Pilar Perjuangan Pembebasan Irian Barat di Jayapura" yang terbit di majalah Prisma edisi 2 Februari 1987. Pengasingan berbungkus penugasan itu adalah buntut bocornya rencana Marthen Indey dan anak buahnya yang hendak menangkap orang-orang Belanda dan membebaskan pejuang kemerdekaan Indonesia yang ditahan di Boven Digoel. Marthen ketika itu menjabat wakil komandan polisi jaga atau tweede posthuis commandant, salah satu divisi polisi kolonial Belanda di Papua.
Rencana gerakan itu disusun di dalam rapat-rapat gelap di tengah keseharian para polisi itu menjalani tugas. Marthen dan agen polisi bawahannya akan menangkap atasannya, Inspektur Kontroler Wagner. Sialnya, ada satu bawahan Marthen yang berkhianat dan rencana itu bocor ke pihak Belanda. Walhasil, selama delapan bulan Marthen dan para polisi berikut keluarganya diasingkan di hutan rimba. Mereka hidup nomaden dan memakan apa saja yang ada di hutan, seperti umbut-umbut sagu, pinang hutan, kulit pohon ganemo, dan ikan sungai.
Menurut Marthen, beberapa anak buahnya yang masih membujang mencoba melarikan diri menembus hutan dan menyeberangi Sungai Digul. Tak diketahui bagaimana nasib mereka tatkala menerabas hutan lebat yang penuh dengan pohon-pohon besar serta bengawan yang panjang itu. Toh, Marthen bersama istrinya, Agustina Heumassey, serta dua anak angkat mereka, Frans Marcelino Engelbert Indey dan Fikena Soroway Indey, bertahan selama hampir delapan bulan. Dinas polisi Belanda kemudian memanggil dia kembali dan menugasinya memata-matai tentara Jepang di Asmat.
Lepas dari perkara ini, pada Juli 1943, Marthen ditugasi ke Australia. Selain Marthen dan keluarga kecilnya, ada 32 pegawai Belanda yang naik kapal dari Tanah Merah, Digul, menuju Brisbane dan Cairns. Di Negeri Kanguru, dia mengikuti pelatihan pasukan terjun payung dan menjalani pendidikan spionase bersama Netherland Forces Intelligence Service, dinas intelijen Belanda.
RENCANA penculikan yang gagal adalah momen bergabungnya Marthen Indey dengan gerakan yang membela Republik Indonesia. Buku Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare yang ditulis Onnie Lumintang menyebutkan simpati Marthen pada Indonesia muncul ketika ia yang bertugas di dinas polisi Belanda pindah tugas dari Manokwari ke Tanah Merah, Digul.
Marthen yang berkarier sebagai polisi Belanda memang sering bertugas di daerah dengan medan sulit dan tugas berat. Salah satunya pada Juli 1940, saat pemerintah Belanda menugasi Marthen membantu dinas rahasia mengawasi pergerakan intelijen Jepang di Manokwari. Ketika itu para spion Jepang menyebar di beberapa daerah dan menyamar menjadi nelayan atau pekerja di perkebunan kapas serta pabrik.
Suatu ketika, saat bertugas kawasan di Tanah Merah, Marthen bertemu dengan orang-orang Indonesia yang menjadi tahanan pemerintah Belanda. “Marthen Indey sering duduk dan bercerita dengan para tahanan,” demikian petikan buku yang ditulis oleh Onnie Lumintang. Wartawan dan aktivis George Junus Aditjondro yang pernah mewawancarai Marthen yakin pada momen inilah simpati terhadap gerakan perjuangan Indonesia muncul. Menurut George dalam tulisannya di majalah Prisma, Marthen pada mulanya berinteraksi dengan para tahanan itu untuk memata-matai kegiatan mereka. Tapi lama-kelamaan Marthen terpikat oleh cara berpikir dan pengalaman para tahanan itu.
Soegoro Atmoprasodjo (kedua kanan) saat pembukaan Konfrensi Perintis Irian Barat Indonesia Bagian Timur, di Makassar, 5 Januari 1960/Buku 25 Tahun Trikora
Di sana pula Marthen bertemu dengan Soegoro Atmoprasodjo, pengajar di Tamansiswa dan aktivis Partai Indonesia (Partindo). Belanda membuang Soegoro ke Digul pada 1935 dengan tuduhan terlibat dalam pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Jawa Tengah pada 1926-1927. Marthen juga berkenalan dengan Sukardjo, mantan anggota angkatan laut asal Bandung, dan Hamid Siregar, anggota Partindo cabang Medan.
Pada masa awal pendudukan Jepang, Soegoro termasuk daftar tahanan yang dibawa pemerintah Belanda ke Australia. Begitu Jepang bertekuk lutut kepada tentara sekutu, Soegoro kembali ke Papua setelah direkrut untuk mengajar oleh Residen Papua dan pendiri Sekolah Pamong Praja, J.P.K. van Eechoud. “Soegoro sangat dipercaya Van Eechoud dan dianggap loyal kepada Belanda sehingga diangkat menjadi direktur pertama Sekolah Pamong Praja,” ujar Bernarda Meteray dalam buku Nasionalisme Ganda Orang Papua.
Hubungan Marthen dengan Soegoro pun berlanjut ketika Soegoro kembali ke Papua. Setelah berdiskusi dengan Soegoro, Marthen punya angan-angan agar Papua bisa lepas dari pemerintah kolonial Belanda. Tokoh masyarakat Papua, Thaha Alhamid, juga membenarkan bahwa Soegoro punya pengaruh terhadap rasa kebangsaan Marthen Indey dan beberapa tokoh Papua saat itu. "Dia adalah guru kami. Dia adalah mentor kami," tutur Thaha, mengulang perkataan Marthen kepadanya. Tempo menemui Thaha pada Juli lalu.
Ketika menjadi bagian dari tentara sekutu, Marthen Indey terlibat dalam sejumlah pertempuran melawan Jepang di Biak, Morotai, juga Leyte. Dia pun terlibat dalam operasi pembersihan di Arso, Waris, dan Sarmi pada Januari-Maret 1945. Pada masa pembersihan inilah Marthen bertemu dengan Silas Papare, Corinus Marselus Koreri Krey, dan Samuel Damianus Kawab. Mereka lantas memberontak terhadap Belanda seraya memperluas gagasan untuk melepas belenggu penjajahan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kepincut Pejuang di Pengasingan"