Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Seruan “All Eyes on Papua” akhir-akhir ini menggema di media sosial Indonesia. Kampanye ini digaungkan sebagai dukungan untuk masyarakat Papua yang saat ini sedang berjuang untuk menolak hutan adat mereka diubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa hari lalu, para pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan suku Moi menggelar doa dan ritual di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, pada Senin, 27 Mei 2024. Mereka datang dengan mengenakan busana khas suku masing-masing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami datang menempuh jarak yang jauh, rumit, dan mahal dari Tanah Papua ke Ibu Kota Jakarta, untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah kami lawan ini,” ucap pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu, Hendrikus Woro, pekan lalu.
Aksi damai ini dilakukan sebagai langkah lanjutan dari masyarakat adat Suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, dan Suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya, yang sedang mengajukan gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat mereka. Gugatan itu kini telah sampai tahap kasasi di Mahkamah Agung.
Pejuang lingkungan dari Suku Awyu, Hendrikus Woro, menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena memberikan izin kelayakan lingkungan hidup kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL). Izin tersebut mencakup lahan seluas 36.094 hektare, lebih dari setengah luas DKI Jakarta. Lahan itu berada di hutan adat milik marga Woro, yang merupakan bagian dari Suku Awyu.
Selain PT IAL, masyarakat adat Awyu juga mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama (KCP) dan PT Megakarya Jaya Raya (MJR). Dua perusahaan sawit itu sudah dan akan berekspansi di hutan Boven Digoel, milik Suku Awyu.
Sementara itu, sub-suku Moi Sigin berkonflik dengan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS). Perusahaan tersebut berencana akan membabat seluas 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit.
Lantas, siapa sebenarnya orang yang terlibat dan bermain di balik konflik Hutan Boven Digoel? Melansir dari laman The Gecko Project, PT Indo Asiana Lestari adalah sebuah perusahaan yang dimiliki oleh dua perusahaan Malaysia. Pemilik saham mayoritasnya adalah Mandala Resources, sebuah perusahaan cangkang yang terdaftar di Kota Kinabalu, Malaysia.
Perusahaan Mandala Resources itu dimiliki oleh dua pria yang juga memiliki perusahaan kontraktor dalam pengembangan sawit. Sementara pemegang saham minoritasnya adalah PT Rimbunan Hijau Plantations Indonesia. Perusahaan-perusahaan itu tidak dapat ditelusuri secara online karena tidak ada informasi terkait.
Sementara itu, PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) merupakan perusahaan di bawah naungan Mega Masindo Group. Perusahaan tersebut satu naungan dengan PT Papua Lestari Abadi (PLA) yang izinnya pernah dicabut Bupati Johny Kamuru pada 2019 lalu.
Melansir dari laman Project Multatuli, laporan Greenpeace menyebutkan Mega Masindo Group adalah sebuah grup perusahaan yang dikendalikan oleh Paulus George Hung. Dia adalah seorang pengusaha pembalakan kayu di Tanah Papua. Hung masuk dalam daftar pelaku usaha yang diduga melakukan pembalakan liar dan menjadi sasaran Operasi Hutan Lestari pada 2006.
Adapun PT Kartika Cipta Pratama (KCP) dan PT Megakarya Jaya Raya (MJR) adalah anak perusahaan dari Menara Group milik Chairul Anhar. Melansir dari catatan Majalah Tempo, sekitar 20 persen saham PT KCP dimiliki oleh PT Adiguna Bangun Persada. Sedangkan, 80 persen saham lainnya diduga terafiliasi dengan Pacific Inter-Link, perusahaan yang berbasis di Timur Tengah.
Hal yang sama terjadi di PT MJR. Perusahaan itu 20 persen sahamnya dimiliki oleh PT Estika Karunia Utama. Sementara 80 persen lainnya diduga terafiliasi dengan Pacific Inter-Link.
Berdasarkan wawancara Tempo dengan Chairul Anhar, pengusaha asal Bukittinggi, Sumatera Barat itu mengakui Menara Group memang berpartner dengan Pacific Inter-Link. Dia bahkan menjual 100 persen saham sejumlah perusahaan ke perusahaan Arab Saudi lain, yakni Tadmax Resources Bhd.
Meski begitu, Chairul menyatakan kerjasamanya dengan Tadmax dan Pacific gagal karena tidak ada alas hak yang memungkinkan kedua perusahaan itu bisa landing. Hal ini disebabkan karena dokumen hak guna usaha lahan yang belum keluar.
Di sisi lain, menurut penelusuran Tempo, beberapa nama pemegang saham, komisaris, dan direktur di Menara Group maupun anak-anak perusahaannya, seperti PT KCP, PT MJR, PT Manunggal Sukses Mandiri (PT MSM) dan PT Trimegah Karya Utama (PT TKU), adalah fiktif. Beberapa nama yang alamatnya sesuai dengan akta bisa ditemui. Mereka umumnya orang-orang kecil dari beragam pekerjaan.
Ada sopir pribadi, ibu rumah tangga, juga penagih utang rentenir. Umumnya mereka terkejut ketika diberi tahu punya perusahaan yang memiliki konsesi lahan di Papua. Kendati demikian, Chairul beralasan bahwa Menara Group adalah sebuah konsorsium yang memiliki banyak pemegang saham. “Tanah di Boven Digoel milik banyak pemegang saham. Menara Group yang berinvestasi di situ. Saya tidak bisa buka siapa saja anggotanya karena ini perusahaan privat, belum masuk bursa,” kata dia.
RADEN PUTRI | TIM TEMPO
Pilihan Editor: All Eyes on Papua: Apa yang Terjadi di Hutan Boven Digoel?