Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Toko kaset pita masih bergeliat di Bandung dan Jakarta.
Album band-band lawas paling dicari.
Harga kaset mulai dari Rp 10 ribu hingga jutaan rupiah.
Kaset-kaset berderet rapi di rak kayu kecokelatan. Album musik Indonesia dan lagu Barat dipisah. Penataan di rak dibagi-bagi dalam kategori alternative rock, rock era 1970-1990, Britpop, ska, pop, klasik, jazz, serta jenis lain, seperti musik tradisional Sunda, Jawa, Batak, dan Bali. Sebagian kaset lainnya harus bertumpuk dalam kardus-kardus hingga mempersempit koridor dan ruang gerak pengunjung toko DU68 Musik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di ruangan yang memanjang dengan lebar sekitar 3 meter itu, kesan sumpek dan agak berantakan tak terhindarkan. Menempati lantai dua sebuah bangunan toko di Jalan Dipati Ukur Nomor 68B, Kota Bandung, selain kaset, ada cakram padat, piringan hitam, Walkman, radio compo, dan gramofon. Hampir seluruhnya merupakan barang bekas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Irham Vickry, 53 tahun, mulai berjualan kaset bekas sejak masih kuliah di jurusan Sastra Rusia Universitas Padjadjaran. Awalnya, perantau kelahiran Aceh yang gemar musik itu suka membeli kaset bekas. Ketika kehabisan uang bulanan, dia menjual lagi koleksinya tersebut dan hasilnya menguntungkan.
Karena itu, sekitar 1990, sambil terus kuliah, dia berjualan kaset bekas di sisi Jalan Dewi Sartika, dekat Alun-alun Bandung. Setelah lama di jalanan, sejak 2000, dia menyewa toko yang ditempatinya hingga sekarang. Vickry enggan pindah tempat karena tidak ingin ribet.
Awalnya ia berkongsi dengan seorang teman yang berjualan CD, lalu pisah ke toko sebelah. Konsep toko kaset bekas itu dia klaim sebagai yang pertama pada masa itu, ketika penjual lain biasanya hanya menggelar lapak atau berjualan di kios kecil.
Menurut Vickry, toko kaset bekas yang dirintisnya ini merupakan bentuk perlawanan terhadap toko-toko besar yang menjual kaset baru bersegel. "Karena mengalami masa anak kuliah dulu enggak punya duit buat beli ke toko kaset," ujarnya, Kamis, 16 Maret 2023. Alternatif pilihannya adalah pasar loak atau lapak kaset bekas.
Toko kaset bekas itu semacam didedikasikan bagi para mahasiswa sepertinya dulu. Usaha itu diniatkan untuk membuat orang bahagia tanpa harus keluar banyak uang. Sempat berjaya ketika awal membuka toko, dalam perjalanannya, Vickry nyaris bangkrut karena ikut terpukul oleh peredaran masif CD dan VCD bajakan yang berpusat di Pasar Kembang, Kota Bandung.
Pengunjung memilih kaset di toko kaset DU 68, Jalan Dipati Ukur, Bandung, Jawa Barat, 14 Maret 2023. TEMPO/Prima Mulia
Kala itu juga dia sempat kelimpungan mencari pinjaman karena pemilik toko meminta uang sewa dua tahun sekaligus. Setelah 5-7 tahun tergerus pembajakan, tokonya berangsur stabil hingga kini. Kesenangan pada musik dan ceruk pasar yang masih terbuka membuat Vickry bertahan. "Asal bisa bayar sewa toko dan karyawan, sudah aman. Hidup buat senang-senang aja, kok. Bahagia," kata dia sambil tertawa.
Setiap hari, konsumen potensialnya berjumlah 10-30 orang, terkadang bisa kurang atau lebih. Rentang usianya dari pelajar sekolah dasar hingga warga lanjut usia, dengan mayoritas anak muda dari kalangan mahasiswa. Mereka ada yang datang sebagai kolektor, penggemar musik, serta penjual dari berbagai kota di Indonesia dan luar negeri. Dalam dua minggu terakhir ini, misalnya, turis dari Swiss, Belanda, Jepang, dan Denmark mampir ke tokonya untuk mencari kaset dan vinil.
Menurut Vickry, kaset bekas memiliki daya tarik pada nostalgia serta bentuk fisiknya yang dianggap seksi oleh sebagian orang dibanding musik digital. Sedangkan bagi beberapa orang, kaset bekas punya nilai investasi yang harganya diharapkan melambung di masa depan. Vickry pun menggunakan media sosial untuk menawarkan isi tokonya.
Harga kaset bekas di tokonya mulai dari Rp 10 ribu hingga ratusan ribu rupiah untuk album tertentu yang langka. Stok koleksinya kini berjumlah puluhan ribu kaset yang memenuhi gudang toko di kamar belakang dan rumahnya. "Bisa buat buka toko lagi itu, sudah penuh."
Meski begitu, Vickry masih membeli kaset-kaset yang ditawarkan kolektor. Secara umum, menurut dia, kaset-kaset lawas yang bernilai mahal dalam beberapa tahun terakhir adalah album musikus Indonesia, misalnya Guruh Gipsy. Jika lengkap dengan booklet albumnya, koleksi itu di pasar seharga Rp 4-6 juta.
Debut album band-band rock Indonesia era 1970-an yang jumlah kopiannya terbatas juga menjadi incaran kolektor. Pun seperti album awal God Bless bertajuk Huma di Atas Bukit atau Cermin serta kaset Iwan Fals sebelum bergabung ke label besar. Harganya, menurut Vickry, sekitar Rp 500 ribu.
Belakangan, perburuan menyasar album musik keluaran 20 tahun lalu, seperti kaset Dewa, Sheila on 7, Padi, juga band-band ska. Secara umum, genre musik rock paling dicari. "Loyalitas komunitas penggemarnya kuat," tutur Vickry. Selain itu, tokonya menjadi tempat penitipan kaset baru karya band dan label lokal. Ada pula karya band mancanegara dengan berbagai genre musik, seperti death metal dan punk.
Aktifitas kios kaset pita Djadul milik Ridwan di Blok M Square, Jakarta Selatan, 17 Maret 2023. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Penjualan kaset Dewa dan Sheila on 7 juga laris manis di toko Djadul di lantai basement Blok M Square, Jakarta. Pemiliknya, Ridwan, mengatakan koleksi kaset pita mengalami pergeseran setelah masa pandemi. Sebelum pandemi, banyak orang mencari album era 1970-1980. "Sekarang kembali ke era 1990-an sampai 2000," kata Ridwan.
Selain mencari band-band lokal, pembeli mengincar musikus Barat. Grup musik yang paling banyak dicari adalah Oasis, Arctic Monkeys, hingga Coldplay. Naiknya permintaan album rilisan fisik band-band tersebut juga membuat penjualan kaset di toko Ridwan melonjak dua kali lipat. Dalam sebulan, kata Ridwan, 300 kaset terjual. Adapun sebelumnya, penjualan kaset pita hanya separuhnya.
Selain pada selera musik, perubahan terjadi pada kelompok pembelinya. Sebelumnya, banyak orang tua yang mencari kaset pita. Namun kini Ridwan lebih sering menjumpai anak muda dari kalangan pelajar dan mahasiswa. "Mungkin bagi mereka ini suatu yang baru dan unik. Sekarang kolektor-kolektor, tuh, anak-anak usia segitu," ujarnya.
Menurut Ridwan, banyak anak muda mulai menggemari kaset pita karena punya kepuasan berbeda dibanding format musik digital. Selain itu, album kaset pita mengandung nilai seni, seperti sampulnya yang bisa dipegang, dilihat, dan dibaca.
Ridwan, pemilik kios kaset pita Djadul di Blok M Square, Jakarta Selatan, 17 Maret 2023. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Kaset-kaset di Djadul dibanderol Rp 20-25 ribu. Namun harga itu bisa makin tinggi bila barangnya mulai langka dan sulit didapat di toko-toko lain. Kaset-kasetnya juga tak semua orisinal. Ridwan mengaku secara terang-terangan kepada konsumennya bahwa ada beberapa kaset yang merupakan hasil bootleg, yaitu rekaman fisik kopian.
Biasanya, kaset bootleg dibuat hanya untuk beberapa album yang tidak dirilis dalam bentuk kaset, seperti album Tatsuro Yamashita. "Kami jujur saja, ini bootleg, bikinan. Kualitas rekaman ngambil dari CD. Mereka mau, boleh. Kalau suka, beli. Kalau kolektor, enggak mau. Maunya orisinal. Kami terbuka saja," ujar dia.
Harga kaset bootleg dibanderol cukup mahal, yaitu Rp 50-75 ribu, karena pembuatannya terbatas. Ridwan mengungkapkan, produksi kaset bootleg hanya 20-100 unit. Keberadaan kaset bootleg ini, menurut dia, hanya untuk memenuhi permintaan selama kaset susah dicari. Pasalnya, ada juga pelanggan yang datang untuk dibuatkan kaset bootleg. "Ini khusus album yang di pasar agak susah. Kalau di pasar ada, bikin bootleg pasti enggak bakal laku."
FRISKI RIANA | ANWAR SISWADI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo