Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pejabat tinggi pemerintahan Trump diduga secara tidak sengaja membagikan rencana perang dalam sebuah grup pesan Signal yang mencakup seorang jurnalis, beberapa saat sebelum Amerika Serikat menyerang kelompok Houthi yang didukung Iran di Yaman. Hal itu seperti diungkap dalam laporan The Atlantic pada 24 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Insiden tersebut langsung mendapat kecaman dari anggota parlemen Demokrat-oposisi. Mereka menilai hal ini sebagai pelanggaran keamanan nasional dan tindakan melanggar hukum yang perlu diselidiki oleh Kongres.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemimpin redaksi The Atlantic Jeffrey Goldberg dalam laporannya mengatakan bahwa ia, tanpa meminta sebelumnya, diundang ke dalam grup obrolan terenkripsi di aplikasi Signal bernama ‘Houthi PC small group’ pada 13 Maret 2025. Dalam grup tersebut, penasihat keamanan nasional Mike Waltz menugaskan wakilnya, Alex Wong, untuk membentuk ‘tiger team’ guna mengoordinasikan aksi AS terhadap Houthi.
Dua hari berselang dari instruksi itu, Presiden AS Donald Trump memulai kampanye serangan militer besar-besaran terhadap Houthi di Yaman. Serangan pada 15 Maret itu ditujukan sebagai tanggapan atas serangan kelompok itu terhadap pelayaran di Laut Merah. Trump juga memperingatkan Iran untuk segera menghentikan dukungannya terhadap Houthi.
Masih dalam grup Signal yang sama, beberapa jam sebelum serangan dimulai, Menteri Pertahanan Pete Hegseth membagikan rincian operasional serangan. “Pesan itu mencakup informasi tentang target, senjata yang akan digunakan AS, dan urutan serangan,” kata Goldberg, dikutip dari Reuters, Kamis, 27 Maret 2025. Ia menyebut tindakan tersebut sebagai ‘shockingly reckless’ atau 'sangat ceroboh' dalam penggunaan obrolan Signal.
Dalam grup obrolan itu, Goldberg mengungkapkan, terdapat akun yang tampaknya mewakili Wakil Presiden JD Vance, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, Direktur CIA John Ratcliffe, Direktur Intelijen Nasional Tulsi Gabbard, Menteri Keuangan Scott Bessent, Kepala Staf Gedung Putih Susie Wiles, serta pejabat senior Dewan Keamanan Nasional (NSC) lainnya. Joe Kent, yang dicalonkan Trump sebagai Direktur Pusat Kontraterorisme Nasional, juga tampaknya tergabung dalam rantai pesan Signal tersebut meskipun belum dikonfirmasi oleh Senat.
Kata Trump dan Menhannya
Trump mengatakan kepada wartawan di Gedung Putih bahwa ia tidak mengetahui insiden grup Signal tersebut. “Saya tidak tahu apa-apa tentang itu. Saya bukan penggemar The Atlantic,” ujarnya.
Dewan Keamanan Nasional kemudian mengatakan bahwa penyelidikan sedang berlangsung. “Saat ini, utas pesan yang dilaporkan tampaknya asli, dan kami sedang meninjau bagaimana nomor yang tidak disengaja bisa ditambahkan ke dalam grup tersebut,” kata juru bicara NSC Brian Hughes.
Namun, ia berdalih bahwa kebocoran ini tidak membahayakan keamanan nasional AS. “Keberhasilan operasi terhadap Houthi membuktikan bahwa tidak ada ancaman terhadap personel militer atau keamanan nasional kami,” tuturnya.
Menteri Pertahanan Hegseth membantah telah membagikan rencana perang dalam grup tersebut. “Tidak ada yang mengirim pesan tentang rencana perang, dan itu saja yang bisa saya katakan,” katanya saat kunjungan resmi ke Hawaii pada Senin. Namun, Goldberg balas membantah pernyataan itu dalam wawancara dengan CNN. “Tidak, itu bohong. Dia memang mengirim pesan tentang rencana perang,” ucap dia.
Turut Tersebar, Wapresnya Trump Benci Bantu Eropa
Terungkap pula dalam percakapan di grup obrolan Signal itu, anggota yang diidentifikasi sebagai Vance tampak mempertanyakan apakah sekutu AS di Eropa layak mendapatkan bantuan dari AS dalam menghadapi ancaman di Laut Merah. “@PeteHegseth jika kamu pikir kita harus melakukannya, ayo lakukan,” tulis akun tersebut. “Saya hanya benci harus menolong Eropa lagi,” katanya, sebelum menegaskan, “Pastikan saja pesan kita jelas di sini.”
The Atlantic juga melaporkan bahwa Vance sempat menyarankan penundaan serangan selama sebulan, mengingat potensi dampaknya terhadap kebijakan Trump di Eropa dan risiko kenaikan harga minyak.
“Saya tidak yakin presiden menyadari betapa inkonsistennya ini dengan pesannya tentang Eropa saat ini," katanya sambil melanjutkan, "Ada risiko lebih lanjut bahwa kita akan melihat lonjakan harga minyak yang moderat hingga parah.” Namun, pada akhirnya, ia menyatakan kesiapannya untuk mengikuti keputusan grup.
Sejauh ini, Gedung Putih belum memberikan indikasi bahwa kebocoran ini akan menyebabkan perubahan dalam struktur staf pemerintahan. Juru bicara Gedung Putih Karoline Leavitt menegaskan, “Presiden Trump terus memiliki kepercayaan penuh pada tim keamanan nasionalnya, termasuk penasihat keamanan nasional Mike Waltz.”