Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Seiring dengan berkembangnya teknologi, kecerdasan buatan atau artificial intelligence disingkat AI makin banyak diterapkan di berbagai bidang kehidupan manusia. Banyak orang yang mulai tertarik menggunakan AI karena dianggap lebih cepat dan bisa membantu pekerjaan. Namun, dalam penerapannya terdapat kejahatan AI tersendiri yang mengancam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berikut lebih dekat hal ihwal dan kemungkinan kejahatan kecerdasan buatan:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Ketimpangan Sosial Ekonomi akibat AI
Meluasnya adopsi kecerdasan buatan dalam dunia kerja telah memperburuk ketimpangan sosial ekonomi, terutama bagi pekerja buruh yang mengandalkan keterampilan manual dan tugas berulang. Otomatisasi telah menyebabkan penurunan upah mereka hingga 70 persen, sementara pegawai kantor justru mengalami peningkatan gaji.
Meski AI sering diklaim mampu menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan mengatasi kesenjangan sosial, realitasnya justru menunjukkan dampak sebaliknya. Jika aspek ras, kelas, dan faktor sosial lainnya diabaikan, maka AI hanya akan memperdalam jurang ketidaksetaraan, menguntungkan kelompok tertentu dengan mengorbankan yang lain
2. Kehilangan Pekerjaan akibat Otomatisasi AI
Perkembangan AI dalam mendukung otomatisasi pekerjaan semakin mendominasi berbagai sektor, mulai dari pemasaran, manufaktur, hingga kesehatan. Namun, dampaknya tidak bisa dianggap remeh. Laporan terbaru memperkirakan bahwa 85 juta pekerjaan akan hilang akibat otomatisasi antara tahun 2020 hingga 2025. Kelompok pekerja marginal pun menjadi yang paling rentan terkena dampaknya.
Meskipun AI diprediksi akan menciptakan 97 juta pekerjaan baru pada tahun 2025, tantangan besar muncul karena banyak karyawan yang tidak memiliki keterampilan teknis yang dibutuhkan. Akibatnya, mereka berisiko tertinggal dalam persaingan di era digital ini.
3. Krisis Keuangan akibat Algoritma AI
Industri keuangan menjadi lebih mudah menerima keterlibatan teknologi AI dalam keuangan sehari-hari dan proses perdagangan. Akibatnya, perdagangan algoritmis mungkin harus bertanggung jawab atas krisis keuangan besar di masa depan.
Algoritma AI tidak mempertimbangkan konteks, keterkaitan pasar, dan faktor-faktor seperti kepercayaan dan ketakutan manusia. AI bisa saja menyebabkan kejatuhan tiba-tiba dan volatilitas pasar yang ekstrem. Namun, itu bukan berarti AI tidak memberi keuntungan apa pun ke dunia keuangan. Algoritma AI juga bisa membantu investor dalam membuat keputusan yang lebih cerdas dan tepat.
4. Manipulasi Sosial lewat Algoritma AI
AI semakin menjadi sorotan akibat potensinya dalam memanipulasi opini publik, terutama di ranah politik dan sosial. Laporan tahun 2018 telah memperingatkan bahwa AI bisa dimanfaatkan untuk manipulasi sosial, sebuah kekhawatiran yang terbukti nyata dalam berbagai pemilu. Contohnya, dalam Pemilu Filipina 2022, Bongbong Marcos diduga mengoptimalkan algoritma TikTok dengan konten provokatif untuk menarik suara generasi muda. Algoritma platform tersebut secara otomatis menyajikan konten serupa kepada pengguna, memicu kekhawatiran akan penyebaran informasi yang menyesatkan tanpa filter yang memadai.
Selain itu, ancaman deepfake semakin mengaburkan batas antara fakta dan fiksi di dunia digital. Teknologi ini memungkinkan wajah seseorang digantikan dengan sosok lain dalam foto atau video, menciptakan ilusi yang tampak meyakinkan. Dampaknya, berita palsu dan propaganda dapat dengan mudah menyusup ke masyarakat, menyulitkan publik dalam membedakan informasi yang valid dan hoaks. Situasi ini semakin memperkuat urgensi regulasi ketat terhadap penggunaan AI untuk memastikan keamanan informasi di era digital.
5. Bias Manusia pada AI
Selain bias data dan algoritma, AI dibuat oleh manusia dan manusia sendiri pada dasarnya adalah bias. Pengembang AI kebanyakan adalah laki-laki dari demografi dan ras tertentu, tumbuh di lingkungan sosial ekonomi yang tinggi, dan tanpa disabilitas. Populasi mereka sangat homogen sehingga sulit untuk berpikir lebih luas soal masalah dunia.
Contoh sederhananya adalah ketika teknologi pengenalan wicara (speech recognition) sukar memahami dialek atau aksen tertentu. Banyak perusahaan AI juga tidak mempertimbangkan konsekuensi dari chatbot yang meniru tokoh-tokoh terkenal. Mereka harus lebih berhati-hati atas terciptanya bias dan prasangka kuat yang membahayakan populasi minoritas.
6. Pelemahan Etika Akibat AI
Bersama dengan para teknologi, jurnalis dan tokoh politik, bahkan para pemuka agama, menyuarakan peringatan tentang potensi jebakan sosio-ekonomi AI. Sebuah kecerdasan buatan mampu mengedarkan opini tendensius dengan data-data palsu. Lebih banyak konsekuensi bisa terjadi jika AI dibiarkan berkembang tanpa pengawasan yang tepat.
Masalah di sisi lain adalah mentalitas tentang, “Jika dapat menghasilkan uang dari sesuatu, kita akan lakukan apa pun itu.” Tak peduli seberapa besar risiko kecerdasan buatan, perusahaan-perusahaan teknologi dikhawatirkan bakal terus mendorong perkembangannya kalau itu menghasilkan banyak uang. OpenAI bahkan baru saja tersandung kasus mengupah rendah karyawan Kenya yang bertugas menyempurnakan ChatGPT.
7. Sistem Senjata Otonom yang Didukung oleh AI
Seperti yang sering terjadi, kemajuan teknologi juga telah dimanfaatkan untuk tujuan peperangan. Untungnya, beberapa pihak telah mencegah meluasnya AI di bidang persenjataan ini. Dalam surat terbuka tahun 2016, lebih dari 30.000 orang, termasuk peneliti AI dan robotika, menolak investasi dalam pembuatan senjata otonom “berbahan bakar” AI.
Jika ada kekuatan militer besar yang mendorong pengembangan senjata AI, perlombaan senjata global akan hampir tak terelakkan. Prediksi ini membuahkan hasil dalam bentuk Sistem Senjata Otonomi Mematikan yang mampu menghancurkan target hanya dengan segelintir kueri dan regulasi. Bahaya bakal menjadi jauh lebih besar ketika senjata otonom itu jatuh ke tangan yang salah.
Saat persaingan politik dan penghasut perang cenderung tak terkendali, kecerdasan buatan dapat diterapkan dengan niat buruk.
8. “Mata-Mata” Sosial dengan Teknologi AI
Selain risiko eksistensial, kecerdasan buatan juga menimbulkan ancaman serius terhadap privasi. Salah satu contoh nyata adalah penggunaan teknologi pengenalan wajah (face recognition) di berbagai ruang publik.
AI ini tidak hanya mengidentifikasi individu, tetapi juga dapat melacak pergerakan mereka, mengumpulkan data aktivitas, serta membangun profil yang mencakup hubungan sosial dan pandangan politik. Dengan kemampuan tersebut, privasi pribadi semakin terancam, terutama jika teknologi ini jatuh ke tangan pihak yang tidak bertanggung jawab atau digunakan tanpa regulasi yang ketat. Kekhawatiran ini memperkuat urgensi perlindungan data serta kebijakan yang mengatur penggunaan AI agar tidak disalahgunakan.
SYAHDI MUHARRAM berkontribusi dalam artikel ini.
Pilihan editor: AI dan CSAM: Ancaman Baru di Ranah Kejahatan Siber