Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Uni Emirat Arab (UEA) menjadi negara paling terobsesi dengan mata uang kripto pada tahun ini. Dasarnya adalah sebuah studi yang menganalisis tingkat adopsi mata uang kripto dalam kehidupan sehari-hari, minat publik, dan aksesibilitasnya di setiap negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ranking negara-negara dihasilkan berbasis empat faktor kunci. Dua di antaranya adalah tingkat kepemilikan mata uang kripto dan pertumbuhan adopsi yang merefleksikan seberapa dalam mata uang digital ini terintegrasi ke dalam kehidupan sehari-hari. Dua lainnya adalah aktivitas pencarian (search) yang mengindikasikan minat publik dan jumlah ATM Bitcoin yang menjadi dasar pengukuran aksesibilitas secara fisik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CEO Atmos Nick Cooke mengatakan bahwa adopsi mata uang kripto bukan sekadar tren investasi. Ia mengatakan bahwa di beberapa wilayah, kripto menjadi pelindung terhadap inflasi dan ketidakstabilan mata uang konvensional, sementara di tempat lain menjadi langkah menuju ekonomi digital.
Dan, faktor aksesibilitas, menurutnya, sangat penting dalam mendukung pertumbuhan aset digital di sebuah negara, selain tingkat ketertarikan. "Ketika kejelasan regulasi, integrasi pembayaran, dan kegunaan di dunia nyata selaras, kripto bergerak dari spekulasi menjadi bagian mendasar dari transaksi sehari-hari,” kata Cooke dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Senin, 7 April 2025.
Daftar Negara Paling Terobsesi dengan Kripto
Dalam laporan Atmos, UEA mencatat skor tertinggi di dunia, yakni 98,4. Negara ini dinilai memiliki tingkat kepemilikan kripto tertinggi di dunia, yakni 25,3 persen dari total populasi. Pertumbuhan adopsinya juga sangat tinggi, mencapai 210 persen, meski infrastruktur fisik masih terbatas dengan hanya satu mesin ATM Bitcoin yang tersedia.
Singapura menempati peringkat kedua dengan skor 97,5. Hampir seperempat penduduknya memiliki mata uang kripto, dengan pertumbuhan adopsi sebesar 150 persen. Meski tidak memiliki satu pun ATM Bitcoin, jumlah pencarian terkait kripto ditemukan tetap tinggi, mencapai 160 ribu per bulan.
Sementara itu, Amerika Serikat berada di posisi ketiga dengan skor 85,4. Tingkat kepemilikan kriptonya mencapai 15,5 persen. Namun, AS unggul dalam hal infrastruktur dengan hampir 30 ribu ATM Bitcoin tersebar di seluruh wilayah negara itu. Amerika Serikat juga mencatat volume pencarian kripto tertinggi secara global, yaitu lebih dari 4,2 juta pencarian per bulan.
Kanada menyusul di posisi keempat dengan skor 72. Negara ini mencatat pertumbuhan adopsi tertinggi sebesar 225 persen, dengan 10,1 persen dari populasinya memegang aset kripto. Kanada juga memiliki jaringan ATM Bitcoin terbesar kedua di dunia, dengan 3.561 unit.
Turki berada di peringkat kelima dengan skor 67,8. Tingkat kepemilikan kriptonya mencapai 19,3 persen, dengan jumlah pencarian bulanan sebanyak 802 ribu. Meski pertumbuhan adopsinya tak setinggi negara-negara lain di posisi atas, peran kripto semakin penting di tengah ketidakstabilan ekonomi yang melanda negara tersebut.
Jerman menduduki posisi keenam dengan skor 61, setara dengan Kanada untuk pertumbuhan adopsi yang sebesar 225 persen. Namun, Jerman yang disebut sebagai negara dengan pertumbuhan tingkat adopsi tercepat untuk tahun ini. Jerman mencatat lebih dari satu juta pencarian kripto tiap bulan, melampaui beberapa negara dengan tingkat kepemilikan kripto oleh warganya yang besar. Dengan ketersediaan jaringan 176 ATM Bitcoin, Jerman dinilai terus mengintegrasikan mata uang Kriptoo ek dalam lanskap keuangannya.
Swiss, Australia, Argentina, dan Korea Selatan menempati posisi tujuh hingga sepuluh. Swiss dikenal dengan kawasan Crypto Valley-nya serta memiliki jaringan ATM sedang dan tingkat adopsi yang relatif stabil. Australia mencatat 1.489 ATM Bitcoin, sementara Argentina—meski dilanda krisis ekonomi—memiliki tingkat kepemilikan kripto yang tinggi, yakni 18,9 persen.
Korea Selatan menutup daftar 10 besar, dengan pertumbuhan adopsi sebesar 167 persen dan tingkat kepemilikan 13,6 persen. Namun, negara ini hanya memiliki dua ATM Bitcoin secara nasional.
Di Indonesia, adopsi mata uang kripto juga dinilai menunjukkan tren yang terus meningkat selama lima tahun terakhir. Berdasarkan data dari Atmos, pada 2019 tingkat kepemilikan kripto di Indonesia sebesar 11 persen, naik menjadi 13 persen pada 2020, lalu sedikit turun ke 12 persen pada 2021. Namun, terjadi lonjakan signifikan pada 2022 dengan angka 19 persen, yang kemudian terus meningkat hingga mencapai 29 persen pada 2023.
Secara total, dalam lima tahun tersebut, pertumbuhan kepemilikan kripto di Indonesia mencapai 163,64 persen. Meski data untuk tahun 2024 belum tersedia, tren ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia semakin tertarik terhadap aset digital dan adopsinya berpotensi terus berkembang di masa depan.