Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
JAKARTA — Sejumlah pihak meminta pemerintah mengkaji ulang ketentuan larangan ekspor bijih bauksit yang berlaku mulai Juni 2023. Fasilitas pengolahan komoditas (smelter) yang masih minim menjadi salah satu alasannya.
Wakil Ketua Komisi Energi DPR, Eddy Soeparno, ragu kapasitas smelter bijih bauksit akan meningkat signifikan dalam kurun waktu enam bulan. Pasalnya, pembangunan pabrik pengolahan ini tersendat berbagai kendala, dari biaya, perizinan, hingga pandemi. "Jadi, saya kira harus ada kebijakan dari pemerintah untuk meninjau ulang larangan tersebut," tutur dia saat dihubungi, kemarin.
Eddy menilai perlu ada pelonggaran aturan, terutama untuk penambang yang telah menunjukkan perkembangan pembangunan smelter secara riil. Mereka yang menunjukkan kemajuan dianggap perlu dikecualikan dari larangan ekspor selama periode tertentu sampai pabriknya berdiri. "Tapi, jika sampai tenggatnya tidak selesai, mereka tetap dilarang melakukan ekspor."
Jika dipaksakan beroperasi tanpa kapasitas smelter yang cukup, Eddy menyatakan aktivitas di sektor hulu industri tambang bauksit bakal berkurang lantaran tak ada serapan. Artinya, terdapat potensi pengurangan jumlah karyawan tambang. Industri penopang kegiatan tambang, seperti penyedia alat berat, juga bakal terkena dampak.
Komisi Energi telah membentuk panitia kerja mengenai ekspor bauksit. Eddy menuturkan timnya masih berupaya mengkaji masalah pembangunan smelter dan ekspor bauksit. Nantinya panitia kerja bakal menerbitkan rekomendasi soal isu tersebut.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Rizal Kasli, menilai pemerintah perlu mengkaji ulang neraca produksi dan konsumsi bauksit dalam negeri. "Perlu dilihat berapa kesiapan smelter yang akan selesai," kata dia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo