Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Bagaimana Perempuan Gen Z Menghadapi Dunia Kerja

Pekerja perempuan dari kalangan Gen Z bercerita bagaimana mereka menghadapi tantangan dunia kerja, stigma dan bagaimana peluang jenjang karir mereka.

23 Desember 2024 | 12.03 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Setelah lulus kuliah pada Agustus 2023, Shopie menghadapi kenyataan bahwa mencari pekerjaan sesuai yang diinginkan bukanlah perkara mudah. Dia sempat menjadi karyawan kontrak tim staf khusus salah satu kementerian selama enam bulan. Hingga pada Mei 2024, dia mendapat tawaran sebagai pekerja tetap di sebuah perusahaan produk konsumen atau Fast Moving Consumer Goods di Jakarta Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai karyawan Generasi Z (Gen Z) yang tinggal di perkotaan, ia harus menghadapi tantangan kerja sekaligus biaya hidup yang makin mahal. Saat ini dia sedang mengikuti program pelatihan untuk menjadi manajer di perusahaan atau Management Trainee (MT). 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Program tersebut diikuti selama dua tahun dengan penilaian dan rotasi tiap enam bulan. Lulus tidaknya Shopie dalam pelatihan ini menentukan jenjang karirnya ke depan. “Setiap 6 bulan di-review performance. Jadi ada pressure untuk harus lulus,” ujarnya kepada Tempo Jumat 21 Desember 2024.

Meski menghadapi tekanan dan target yang tinggi untuk lulus program, namun ia memilih tetap bertahan. Menurut dia banyak karyawan Gen Z yang akhirnya berpindah-pindah karena belum bekerja tetap atau kontrak. Beruntung perusahaan tempatnya bekerja saat ini memberi jaminan kepastian kerja dan jenjang karir dibanding tempat kerja sebelumnya. 

Sejak penandatangan kontrak, perempuan yang lahir pada 2021 itu mendapat penjelasan rinci terkait Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Perusahaan juga menerangkan hak-hak untuk kesehatan, hak cuti dan benefit lain sejak awal. Disediakan pula saluran khusus untuk mengakses fasilitas kesehatan mental.

Bagi dia, pendekatan perusahaan yang menghargai hak karyawan untuk kesehatan mental juga membantu untuk produktif, meski harus menghadapi tekanan kerja yang tinggi. Apresiasi dari atasan atas kerja yang dilakukan juga perlu, untuk membuat pekerja betah. Dunia kerja yang makin kompetitif juga menjadi alasan dia beranggapan akan tetap bertahan di perusahaannya saat ini. “Sepertinya sulit kerjaan baru dan tak ada yang pasti tahun depan,” ujarnya.

Tantangan di dunia kerja juga dirasakan oleh Eliza Trisky Sihombing. Perempuan 21 tahun ini merupakan karyawan di salah satu bank swasta nasional di pusat kota Surabaya. Sejak awal bekerja dia dituntut mempelajari banyak hal terkait marketing bisnis dan transaksi. “Bulan-bulan awal itu berat,” ujarnya.

Eliza yang merupakan lulusan sekolah menengah atas harus berkompetisi dengan pekerja lain yang juga mayoritas Gen Z. Dia merasa target dan permintaan dari atasan sempat membuat mentalnya tertekan. Tapi dia berusaha untuk bisa menyesuaikan dengan ritme kerja perusahaan. Setiap evaluasi harian, Eliza berusaha membuat catatan, sehingga perlahan ada perbaikan. “Dipastikan tidak mengambil keputusan sendiri untuk minimalisir kesalahan.”

Menurut Pew Research Center,  generasi Z adalah mereka yang lahir pada tahun 1997–2012. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah Gen Z di Indonesia mencapai 26,4 persen dari total populasi nasional atau sekitar 71,5 juta jiwa. 

Ilustrasi Gen Z. Shutterstock

Kelompok ini memiliki stigma negatif yang melekat saat mereka menghadapi dunia kerja. Direktur Bina Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kementerian Tenaga Kerja Siti Kustiati mengatakan Gen Z kurang tahan menghadapi tekanan di dunia kerja. “Kalau under pressure tidak kuat dan bukan passion dia resign,” ujarnya. 

Selain itu, ia menilai kelompok ini kurang dapat bekerja sama dalam tim, kurang dapat berkomunikasi lisan dan tulisan dengan baik dan mudah bosan. Sehingga kerap kali memutuskan berhenti dari pekerjaan.

Gen Z juga kerap dianggap sebagai generasi yang dikenal sulit bertahan di satu perusahaan dalam jangka waktu yang lama. Dosen Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, Tia Rahmania mengatakan istilah tersebut dikenal sebagai job hopping atau kecenderungan seseorang untuk berpindah-pindah pekerjaan dalam jangka waktu yang memang relatif singkat. “Konteks singkatnya itu bahkan bisa kurang dari dua tahun,” ujarnya kepada Tempo.

Selain masalah karakter, menurut Tia, perusahaan juga berpengaruh pada kecenderungan job hopping. Hasil analisis platform survei daring Jakpat pada Februari 2024 memaparkan gaji yang kurang memuaskan jadi alasan 41 persen Gen Z memilih untuk resign. Selain itu alasan kedua adalah mendapat pekerjaan lebih baik. Disusul alasan beban kerja terlalu berat, merasa tidak diapresiasi lalu ingin menjelajahi jenis pekerjaan lain. 

Tia juga saat ini sedang melakukan penelitian fenomena job hopping Gen Z. Berdasarkan hipotesa sementara, terdapat faktor eksternal dan internal yang jadi pemicu Gen Z gemar berpindah. Faktor eksternal misalnya, kondisi ekonomi, peluang kerja dan lingkungan kerja di perusahaan. 

Sedangkan faktor internal terkait kepribadian dan karakter individu seperti fleksibel dan menginginkan kepemimpinan non hirarkis. Kelelahan emosional karena dalam lingkungan yang toxic juga bisa jadi pemicu. “Gen Z ini juga sangat concern dengan kesejahteraan mental mereka.”

Menurut dia, perusahaan juga perlu berkontribusi membuat Gen Z memiliki komitmen untuk bertahan di perusahaan. Fenomena job hopping juga bisa merugikan perusahaan, karena perusahaan juga berinvestasi pada sumber daya manusia. “Pekerja adalah aset yang berharga, apalagi mereka mendapatkannya dengan cost yang tinggi, seleksinya, assessment-nya, biaya mereka besar untuk mendapatkan SDM yang terbaik.”

Hal-hal yang bisa dilakukan seperti memberikan apresiasi, ruang untuk berkembang. Kesejahteraan fisik dan psikis juga perlu diperhatikan. Terkait dengan penerapan kepemimpinan bisa dilakukan dengan pendekatan humanis tanpa melupakan target-target dari perusahaan. Dalam etika kerja, jika tak sesuai dengan budaya organisasi, senior tetap memberikan supervisi. Pemberian saran dan rekomendasi bagi pekerja Gen Z juga harus jelas namun konstruktif.

Country Head of Marketing Jobstreet by SEEK Sawitri mengatakan beberapa tahun lagi Gen Z bakal jadi generasi yang memimpin. Sedangkan dalam dunia kerja, generasi ini masih mendapat stigma negatif karena tumbuh di era yang serba instan. Perkembangan dan perubahan pekerja Gen Z menurut dia perlu difasilitasi. Edukasi dan bimbingan perlu terlu terus dilakukan. “Generasi ini berbeda. Jadi yang lebih senior harus bisa beradaptasi dan bisa adjust. Mereka juga harus adaptasi.”

Artikel ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support. 
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus