Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom sekaligus Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini turut menyampaikan duka cita atas meninggalnya Hamzah Haz. Wakil Presiden ke-9 RI tersebut dikenang sebagai penjaga anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) era 1990 hingga 2000.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Didik, yang juga merupakan pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef), mengatakan Indonesia kehilangan negarawan yang rajin memberikan pencerahan masalah-masalah ekonomi khususnya politik anggaran dan APBN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Tidak ada politisi yang tekun seperti Hamzah Haz dalam menulis masalah politik APBN ini di media massa pada akhir 1980-an dan tahun 1990-an,” kata Didik lewat pernyataan resmi, Rabu, 24 Juli 2024.
Tulisan Wakil dari Presiden Megawati Soekarno Putri itu dimuat di beberapa media nasional. Menurut Didik tidak hanya menulis, tetapi Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu juga menekuninya dalam praktek kenegaraan dalam pembahasan-pembahasan di DPR. “Karena dia merupakan pimpinan partai oposisi yang loyal,” ujarnya.
Didik membeberkan beberapa kontribusi Hamzah Haz dalam perekonomian. Ia berujar, 20 tahun lalu saat terjadi krisis APBN Hamzah Haz turun gunung untuk ikut menyelesaikannya. Pada pertengahan tahun 2000-2005 terjadi pro kontra kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Selanjutnya: “Mantan Wakil Presiden Hamzah Haz terlibat langsung dalam lobi-lobi...."
“Mantan Wakil Presiden Hamzah Haz terlibat langsung dalam lobi-lobi untuk mengatasi krisis APBN sekaligus potensi krisis politik,” kata Didik.
Saat itu subsidi kepada barang adalah pemborosan dan harus diganti menjadi subsidi kepada orang. Hamzah Haz ikut mendinginkan suasana dan meskipun tidak populer kemudian menyetujui kenaikan harga BBM dengan alasan kenaikan tersebut sebagai pilihan rasional.
Kontribusi tersebut lalu dibandingkan dengan pemimpin saat ini. Didik memaparkan, dalam mengatasi krisis sekarang, justru yang terjadi adalah dengan mengeruk APBN dan mendulang utang di luar kemampuan membayarnya.
Contoh kebijakan yang dipersoalkan adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Corona Virus Disease 2019. Kala itu pemerintah menarik utang jumbo untuk mengatasi pandemi. Dampaknya bisa sampai 2-3 periode kepresidenan.
Kini, Didik mengatakan, beban utang sudah super berat. Tahun depan, utang jatuh tempo mencapai Rp 800 triliun dan bunga yang harus dibayar menguras pajak rakyat. “Tidak ada lagi penjaga APBN seperti Hamzah Haz. APBN rusak pada sisi penerimaan, sekaligus lebih rusak pada sisi pengeluarannya,” ujarnya.
Pilihan Editor: Rupiah Ditutup Melemah Tipis di Level Rp 16.215 per Dolar AS