Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Hari Ibu 2022, Cuti Melahirkan 6 Bulan untuk Pekerja Perempuan Bisa Jadi Investasi Besar Perusahaan

Peneliti ungkapkan Cuti melahirkan 6 bulan berhubungan positif dengan produktivitas pekerja perempuan yang lebih baik.

23 Desember 2022 | 20.29 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Peneliti Health Collaborative Center (HCC) dan Pengajar Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ray Wagiu Basrowi/Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Hari Ibu 2022 bisa jadi momen yang baik untuk mengangkat tema pentingnya perlindungan pekerja perempuan. Peneliti Health Collaborative Center (HCC) dan Pengajar Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ray Wagiu Basrowi mengatakan perlindungan spesifik terhadap hak kesehatan pekerja perempuan di Indonesia perlu terus dikawal terutama dengan adanya momentum positif terkait Rancangan Undang Undang Kesehatan Ibu Anak yang akan segera disahkan pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Ray, RUU KIA adalah angin segar bagi perlindungan hak kesehatan pekerja perempuan. Sayang aturan ini memiliki banyak tantangan dalam penerapannya. Salah satunya adalah soal kebijakan cuti melahirkan 6 bulan dan dukungan menyusui di tempat kerja. Dari pantauan Ray di berbagai media massa, masih banyak penolakan yang terjadi soal isu cuti melahirkan hingga 6 bulan sejak RUU KIA resmi digolkan DPR RI. "Pemilik usaha sudah mulai bereaksi karena adanya potensi beban pembiayaan tambahan terkait cuti melahirkan yang semakin panjang," katanya dalamm diskusi terbatas pada Perempuan Terlindungi, Perempuan Berdaya pada 23 Desember 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Ray, cuti melahirkan 6 bulan untuk pekerja perempuan justru bisa menjadi investasi bagi perusahaan. "Karena banyak penelitian termasuk penelitian kami sendiri di Departemen Kedokteran Kerja FKUI yang membuktikan bahwa cuti melahirkan 6 bulan berhubungan positif dengan produktivitas buruh perempuan yang lebih baik. Jadi ini bukan cost. Tapi memang pemilik tempat kerja harus diberikan justifikasi praktis dan berbukti klinis berdasarkan real-world-evidence," kata Ray yang juga merupakan Chief Editor dari The Indonesian Journal of Community and Occupational Medicine.

Salah satu tugas besar dari penerapan UU KIA ini tentunya sosialisasi kepada pemliki usaha. Ray menyarankan pemerintah untuk menggunakan metode yang lebih mutakhir untuk komunikasi kepada para pengusaha, yaitu dengan mengajukan hasil kajian secara Health Economic atau ekonomi kesehatan. Ia menilai metode ini akan lebih efektif karena merasionalisasi investasi cuti 6 bulan akan memberi dampak menguntungkan bagi pemilik usaha dan bukan beban pembiayaan karena gaji dianggap tetap dibayar meskipun tidak bekerja. 

“Konsep bukti ilmiah efektivitas cuti melahirkan 6 bulan bisa dilakukan dengan model kohort retrospektif. Cara ini melihat perusahaan yang sudah menerapkan kebijakan ini dan menghitung parameter produktivitas dan pencapaian kinerja karyawan atau buruh yang kembali bekerja setelah cuti 6 bulan dibandingkan yang cuti 3 bulan saja," katanya. 

Ray mengatakan sebagai peneliti kedokteran kerja, timnya meyakini metode kohort retrospektif akan memberi alasan yang kuat karena baik secara teori maupun kajian aplikasi real-world di negara maju. "Hasilnya, pasti cuti 6 bulan lebih bisa meningkatkan produktivitas pekerja perempuan dibanding hanya cuti 3 bulan,” kata Ray.

Health Collaborative Center merekomendasikan perlu segera diaktifkan kolaborasi dengan industri dan akademisi atau universitas. Sebagai awalan, para pihak bisa bekerja sama menggarap penelitian klinis aplikasi terkait kedokteran kerja serta melakukan kajian health economic terkait cuti 6 bulan dan kebijakan perlindungan hak kesehatan pekerja perempuan. "Orientasi rekomendasi ini adalah murni untuk mencari jalan tengah yang menguntungkan semua pihak, tidak hanya kalangan pekerja tetapi tentu saja terhadap industri dan pemilik usaha," katanya. 

Ray mengatakan bahwa kajian model kohort retrospektif atau model program evaluation bisa dengan cepat memberi hasil yang langsung dapat dikomunikasikan kepada publik. Konsep ini juga bisa melihat aspek analisis ekonomi kesehatan. "Pemilik tempat usaha perlu semacam kekuatan hukum berbasis ilmiah agar sistem kompensasi setelah cuti 6 bulan tetap menjadi investasi perusahaan," kata Ray.

Ray mengatakan salah satu negara maju di Eropa sudah mengaplikasikan kebijakan seperti ini. Pengusaha memberikan cuti 6 bulan kepada para pekerjanya. Namun para pekerja perempuan itu pun harus dipastikan untuk memberikan ASI Eksklusif kepada buah hatinya. Bila terbukti anak tidak mendapatkan ASI Ekslusif, bukan karena alasan medis, maka perusahaan di negara itu bisa mencabut berbagai insentif yang diberikan dari si pekerja perempuan.

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus