Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto diuji keseriusannya membereskan masalah perkebunan sawit mulai dari isu pembukaan lahan sebagai deforestasi, perkebunan tidak bayar pajak sampai Rp300 triliun dan 500 lebih perusahaan tanpa Hak Guna Usaha (HGU).
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengatakan kementeriannya akan fokus pada penertiban 537 perusahaan yang memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) tanpa Hak Guna Usaha (HGU).
Selama 100 hari kerja dalam Kabinet Merah Putih, Nusron mengatakan akan memberi sanksi pada perusahaan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sanksi utama yang akan diterapkan adalah denda pajak, dengan besaran yang saat ini sedang dihitung oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP),” kata Nusron Wahid dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi II DPR, seperti dikutip dalam keterangan tertulis pada Rabu, 30 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian ATR/BPN mencatat pada 2016 hingga Oktober 2024, ada 537 perusahaan kelapa sawit yang memiliki IUP tapi tidak memiliki HGU dengan lahan garapan sekitar 2,5 juta hektar.
“Ini yang mau kita tertibkan dalam waktu 100 hari ini harus tuntas, kalau ditotal jumlahnya ada 2,5 juta hektar,” kata dia.
Kementerian ATR juga menahan sementara proses pendaftaran maupun penerbitan HGU. Tak hanya itu, Nusron Wahid mengatakan, tindakan perusahaan yang terus beroperasi tanpa izin mencerminkan ketidakpatuhan terhadap peraturan. “Itu yang kami bahas, bukan berarti setelah mereka membayar denda otomatis mendapatkan HGU. Keputusan final nanti tergantung itikad baik dan sikap pemerintah,” kata Nusron.
Nusron Wahid mengatakan penertiban ini untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang telah ada sebelumnya, yakni Keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 27 Oktober 2016 terkait Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, khususnya Pasal 41.
“Jadi sebelumnya yang boleh menanam kelapa sawit itu harus punya IUP atau punya HGU, sekarang dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi itu adalah punya IUP dan juga punya HGU,” katanya.
9 Langkah Penertiban dalam 100 Hari Kerja
Menurut Nusron, akan melakukan penertiban dalam 9 langkah. "Pertama adalah menata ulang sistem dan tata cara pemberian perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Usaha (HGU) yang lebih berkeadilan, mengarusutamakan pemerataan, tetapi tetap menjaga kesinambungan perekonomian," kata Nusron.
Kedua, kata dia, menyelesaikan pendaftaran dan penerbitan sertifikat HGU untuk 537 badan hukum yang sudah mempunyai izin usaha perkebunan (IUP) kelapa sawit, namun belum mempunyai HGU.
Ketiga, ujar Nusron, menyelesaikan pendaftaran tanah ulayat masyarakat hukum adat untuk menghindari konflik dengan badan hukum di kemudian hari.
"Total tanah ulayat yang menggunakan hukum adat di Indonesia ini masih kurang lebih sekitar 3,5 juta hektar, tapi yang sudah terdaftar kurang dari 1.000 hektar. Jadi masih pekerjaan besar ini untuk yang tanah ulayat," ujarnya.
Keempat, kata dia, inovasi pengelolaan dan pemanfaatan tanah wakaf produktif sehingga berguna bagi kemaslahatan umat.
"Kami ada ide pemikiran tanah-tanah yang terlantar, yang jumlahnya lebih dari 1,5 juta hektar, ada pemikiran, tapi ini sifatnya masih pemikiran, HPL (hak pengelolaan lahan)-nya akan kita serahkan sama Bank Tanah, tapi penggunaannya akan kita serahkan kepada Badan Wakaf supaya menjadi wakaf produktif dan kemudian itu ada kemaslahatan," ucapnya.
Kelima, ujar dia, menyelesaikan pendaftaran 1,5 juta bidang tanah untuk mencapai target 120 juta bidang tanah pada tahun 2024.
"Ini termasuk PTSL (pendaftaran tanah sistematis lengkap), PTSL dari tahun 2017 sampai tahun 2024 ini bulan Desember, kami ditarget 126 juta bidang tanah. Sampai bulan Oktober ini sudah tercapai 119 juta bidang tanah sehingga kami masih harus nambah lagi," katanya.
Keenam, kata Nusron, pemenuhan target 104 Kantor Pertanahan sebagai kabupaten/kota lengkap pada tahun 2024. Ketujuh, koordinasi secara vertikal maupun horizontal terkait penyiapan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan terintegrasi dengan online single submission.
Kedelapan, penyiapan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2025-2045.
Terakhir, pelaksanaan program Integrated Line Administration and Spatial Planning (ILASP) bekerja sama dengan World Bank bertemakan penguatan rencana tata ruang, administrasi pertanahan, dan batas administrasi desa di Indonesia yang memperhatikan perubahan iklim.
"Yang melibatkan tiga kementerian/lembaga, yaitu Kementerian ATR/BPN, Kemendagri, dan Badan Informasi Geospasial," kata dia.
Tunggakan Rp300 Triliun
Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo mengatakan negara berpotensi mendapat pemasukan hingga Rp 300 triliun dari pengusaha sawit yang tak membayar pajak. Ia mengklaim, dalam waktu dekat para pengusaha itu akan menyetor Rp189 Triliun pada tahap pertama.
“Tapi tahun ini atau tahun depan bisa tambah Rp120 triliun lagi, sehingga totalnya Rp 300 Triliun masuk ke kas negara,” ujarnya dalam acara Dialog Ekonomi Kadin bersama Pimpinan Dewan Kadin Indonesia, Rabu, 23 Oktober 2024 di Menara Kadin, Jakarta.
Hashim menyebut pengusaha-pengusaha yang tidak membayar pajak itu dengan sebutan ‘pengusaha nakal’. Lebih lanjut, kata Hashim, pengusaha 'nakal itu' adalah pengusaha yang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan tidak memiliki rekening bank di Indonesia.
Adik Presiden itu membeberkan, ada sekitar 25 pengusaha yang tidak memiliki NPWP dan rekening bank di Indonesia. Ia juga menyebut, total pengusaha ‘nakal’ pengemplang pajak tersebut berjumlah sekitar 300 orang.
Lebih lanjut, Hashim menyebut, para Jaksa Agung Muda Indonesia telah siap untuk menindak para pengemplang pajak tersebut.
Sebelumnya, Koran Tempo edisi Senin, 14 Oktober 2024 menyebut Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara telah mengidentifikasi sekitar 2,45 juta hektare sawit terletak di kawasan hutan. Kebun itu milik 5.096 subyek hukum yang terdiri dari korporasi, koperasi dan kelompok tani. Di dalamnya, tercatat 2.128 perusahaan dengan luas 2,17 juta hektare.
Berbekal data tersebut, Satgas itu mengirim surat tagihan denda kepada para pengusaha yang melakukan pelanggaran. Perusahaan yang mendapat tagihan dapat memilih untuk melunasi secara penuh atau membayar angsuran sesuai dengan kesepakatan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menyebut, pemerintah telah mengirim tagihan untuk denda sesuai dengan pasal 110A Undang-Undang Cipta Kerja kepada anggotanya sejak tahun lalu.
“Yang sudah mendapatkan surat dan tagihan dari KLHK hampir 90 persen lebih perusahaan sudah membayar,” klaim Eddy.
Masalah Lain Terkait Swit
Indonesia juga menghadapi masalah berat lain terkait sawi, yakni Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR), yang semula akan diterapkan mulai 30 Desember 2024 namun kemudian diundur.
Jika diterapkan, perusahaan penjual kedelai, daging sapi, kopi, minyak kelapa sawit, dan produk lainnya di blok beranggotakan 27 negara Eropa harus membuktikan bahwa rantai pasokan mereka tidak berkontribusi terhadap kerusakan hutan.
Indonesia dan Malaysia, yang bersama-sama menyumbang sekitar 85% dari ekspor minyak kelapa sawit global, sebelumnya telah menuduh Uni Eropa melakukan kebijakan diskriminatif dengan menargetkan minyak kelapa sawit.
Pemerintah Indonesia sedang berjuang mencari titik temu terkait EUDR tersebut dalam negosiasi Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA).
Antara dan Vindry Florentin berkontribusi dalam penulisan artikel ini.