PEMECATAN wartawan, termasuk pemimpin redaksi, rupanya mulai jadi trend di Jakarta. Peristiwa yang mengguncang majalah Sinar dua pekan silam dan disusul oleh pemutusan hubungan kerja di harian Merdeka akhir Maret berselang mengesankan adanya kesewenang-wenangan terhadap orang pers. Pemimpin redaksi Sinar dan Merdeka diberhentikan begitu saja, demikian pula wakil pemimpin umum, wakil pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, dan asisten redaktur pelaksana. Selain itu, 13 wartawan Merdeka dimutasikan, disertai sepucuk surat yang isinya melarang mereka bekerja. "Pemecatan dan mutasi di Merdeka merupakan perbuatan sewenang-wenang yang telah dilakukan berulang-ulang," demikian bunyi surat protes 17 anggota redaksi Merdeka yang ditujukan pada Pemimpin Umum Muslich Aliehoesein. Alasan pemecatan tak jelas. Dalam surat pembebastugasan tertanggal 30 Maret 1994, hanya disebutkan bahwa PHK dilakukan semata-mata demi "menjaga eksistensi Merdeka dan guna melanjutkan usaha perbaikan serta pengembangan." Jadi, alasan yang spesifik justru tidak ada. Memang, menurut Agus Salim Suhana, sebelumnya ada beberapa pemberitaan yang tidak disukai oleh Muslich dan Direktur Utama PT Merdeka Pers (penerbit) B.M. Diah. Misalnya berita yang menyangkut Ketua PDI Megawati, Menteri Penerangan Harmoko, dan Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie. Agus yang sempat menjadi pemimpin redaksi selama sepuluh bulan itu mengungkapkan, gara-gara tiga berita ini, redaksi ditegur. Diakuinya, redaksi sama sekali tak berniat membesar-besarkan cerita tentang ketiga tokoh itu. "Kami mem-blow-up berita itu karena memperoleh wawancara khusus dengan beliau," ujar Agus. Ia menduga, faktor lain yang ikut berperan dalam pemecatan ini adalah perkara hak saham karyawan yang 20%. Seperti diatur dalam SK Menteri Penerangan Nomor 1 Tahun 1984, karyawan penerbitan pers berhak atas 20% saham perusahaan. Kebetulan Merdeka belum melaksanakan ketentuan itu, dan Agus mengingatkannya pada sebuah rapat direksi. Ia punya alasan kuat untuk itu, yakni instruksi Dirjen PPG bulan Puasa lalu, yang mengharuskan hak karyawan diberikan paling lambat 31 Maret 1994. Katanya, dia sekadar mengingatkan, tidak menuntut. Tapi benturan keras terjadi tiga hari setelah Lebaran. Ketika itu, atas perintah B.M. Diah, Merdeka memuat foto B.M. Diah bersama Herawati (istri pertamanya) dalam acara halalbihalal. Akibatnya, konon, istri keduanya (Yulia) berang dan mengadakan halalbihalal tandingan. Tak hanya itu. Ia bahkan menuntut agar fotonya dimuat. B.M. Diah tak setuju. Tapi ia tidak ingin sikapnya itu diketahui istri muda. Agus pun disuruh mencari alasan lain, tapi wartawan ini menceritakan apa adanya. Maka, dalam surat PHK, Agus dituduh membuat banyak kesalahan. Pertama, karena pada Merdeka edisi 9 Desember tercantum tanggal 9 November. "Ini saja sudah fatal karena agen jadi tak mau menjual," katanya. Selain itu, di bawah kepemimpinan Agus, Merdeka beberapa kali kebobolan berita besar. Contohnya ketika Ali Sadikin diterima Habibie. Juga ketika Towil Herjoto (bekas Dirut Bapindo) disebut sebagai saksi, padahal tersangka. Kesalahan terbesar adalah ketika Agus dkk. memprotes pengangkatan Soepeno Sumardjo sebagai asisten khusus pemimpin umum. "Vonis" pun jatuh. Sebagai pemimpin redaksi pengganti, atas persetujuan B.M. Diah, ditunjuk Yasofi Bachtiar, yang konon pernah dikenai PHK. Hanya saja pihak Merdeka belum meminta rekomendasi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) secara resmi. Berdasarkan UU, memang rekomendasi PWI merupakan salah satu syarat mutlak untuk mengubah nama pemimpin redaksi dalam SIUPP (surat izin usaha penerbitan pers). Lalu, apakah PWI akan merekomendasi Yasofi Bachtiar? "Tidak kalau pemimpin redaksi baru hanya akan napak tilas, tanpa memperbaiki keadaan di Merdeka," kata Tarman Azzam, Ketua PWI Cabang Jakarta. Singkatnya, PWI ingin kesejahteraan wartawan Merdeka ditingkatkan. Tidak seperti sekarang. Seorang redaktur yang sudah berpengalaman 15 tahun hanya digaji Rp 400 ribu -- termasuk uang transpor, uang makan, tanpa jaminan kesehatan. Sementara itu, ada beberapa wartawan yang sudah magang lebih dari lima tahun tidak diangkat sebagai karyawan. Akibatnya, nafkah mereka hanya bergantung pada honorarium yang dihargai antara Rp 3.000 dan Rp 5.000 per berita. Selain itu, yang juga dipertimbangkan oleh PWI adalah performa Merdeka sendiri. Menurut Tarman, harian itu hampir dua tahun sekali mengganti pemimpin redaksi. Maka, "Rekomendasi kali ini akan diberikan secara hati-hati," Tarman menegaskan. Sementara itu, Departemen Penerangan tak akan turut campur selama kasus PHK dapat diselesaikan secara intern. "Sebaiknya diselesaikan dahulu secara organisatoris," kata Menteri Harmoko. Mungkin sesudah itu barulah Pemerintah menyetujui pergantian pemimpin redaksi. Kalau hal itu diterapkan Pemerintah pada setiap media cetak, alangkah baiknya. Tapi kenyataan bicara lain. Satu majalah berita terbitan Jakarta telah mengajukan permohonan pergantian pemimpin redaksi, lengkap dengan rekomendasi PWI, tapi sampai sekarang tak kunjung dijawab. Padahal, rekomendasi PWI itu diberikan pada November 1993.Budi Kusumah, Ardian Taufik Gesuri, dan Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini