Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kritisi Proyek 20 Juta Hektare Hutan untuk Pangan dan Energi, Walhi: Legitimasi Penyerahan Lahan untuk Korporasi

Walhi mengkritisi wacana pemerintah mengenai pembukaan 20 juta hektare hutan untuk pengembangan di sektor pangan dan energi. Apa sebabnya?

4 Januari 2025 | 17.09 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemandangan udara terlihat dari kawasan hutan yang dibuka untuk perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia, 6 Juli 2010. REUTERS/Crack Palinggi/File Foto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi secara tegas mengkritisi rencana pemerintah mengenai proyek pembukaan 20 juta hektare hutan untuk pengembangan sektor pangan dan energi.

Dikutip dari laman Walhi, proyek ambisius ini justru berpotensi menjadi legalisasi deforestasi yang tidak hanya akan merusak lingkungan, tetapi juga membahayakan keselamatan masyarakat Indonesia. Rencana ini dianggap dapat memicu bencana ekologis besar yang tidak dapat dihindari.

Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, menegaskan bahwa pembukaan 20 juta hektare hutan untuk proyek tersebut akan melepaskan emisi karbon dalam jumlah yang sangat besar.

Emisi ini berpotensi memperburuk dampak perubahan iklim, menyebabkan kekeringan yang meluas, kegagalan panen, dan peningkatan kasus zoonosis (penyakit yang berpindah dari hewan ke manusia). "Selain itu, rencana ini juga dapat mengakibatkan penggusuran besar-besaran terhadap masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan, serta menciptakan gelombang pengungsi iklim di wilayah pesisir yang terancam kehilangan tempat tinggal," kata Uli.

Lebih lanjut, Walhi mengingatkan dampak kerusakan biodiversitas yang akan muncul akibat konversi hutan menjadi lahan untuk pangan dan energi. Rencana ini juga berpotensi memicu konflik agraria yang kerap kali berujung pada kekerasan dan kriminalisasi. Dalam hal ini, pendekatan keamanan yang akan digunakan untuk mengamankan jalannya proyek ini dikhawatirkan justru akan menambah ketegangan dan memperburuk situasi sosial.

Uli menyoroti peran Kementerian Kehutanan, yang seharusnya bertindak sebagai penjaga dan pelindung hutan-hutan Indonesia. Ia berpendapat bahwa Kementerian Kehutanan harus berada di garis depan dalam menghalangi rencana pembongkaran hutan, bukan malah terlibat dalam merencanakan dan melegitimasi kehancuran hutan dengan alasan pembangunan sektor pangan dan energi.

"Kebijakan tersebut menunjukkan bahwa Presiden Prabowo dan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni belum memahami dengan benar tugas dan tanggung jawab mereka dalam menjaga kelestarian lingkungan," kata Uli.

Sebagai informasi, saat ini lebih dari 33 juta hektare hutan telah dibebani izin untuk berbagai sektor kehutanan. Selain itu, 4,5 juta hektar lahan konsesi tambang berada atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan, dan sekitar 7,3 juta hektare hutan telah dialihkan untuk perkebunan sawit. Walhi mencatat bahwa penguasaan hutan oleh korporasi ini telah memicu berbagai masalah ekologis yang serius dan sangat sulit untuk diperbaiki.

Alih-alih memperkuat penegakan hukum dan menuntut pertanggungjawaban korporasi yang merusak lingkungan, pemerintah justru cenderung tunduk pada kepentingan bisnis besar yang terus menerus melegitimasi kerusakan hutan.

Dalam pandangan Walhi, narasi pemerintah yang mengedepankan swasembada pangan dan energi sebagai alasan untuk proyek ini hanya dianggap sebagai alat untuk melegitimasi penyerahan lahan dalam jumlah besar kepada korporasi.

Uli menegaskan bahwa pemerintah harus memahami bahwa pangan dan energi bukan sekadar komoditas untuk bisnis besar, tetapi adalah hak dasar rakyat yang harus dipenuhi. Selama sektor pangan dan energi tetap diperlakukan sebagai bisnis, pemerintah akan terus menambah masalah dan memperburuk krisis sosial-ekologis yang sudah ada.

Walhi menekankan bahwa pemenuhan hak rakyat atas pangan dan energi hanya dapat tercapai jika negara menjadikan rakyat sebagai aktor utama dalam produksi dan konsumsi keduanya. Perlindungan hak masyarakat atas wilayahnya harus menjadi prioritas, dengan mengutamakan pengakuan terhadap hak ulayat dan akses terhadap sumber daya alam yang ada di sekitar mereka. Selain itu, pengelolaan sumber daya pangan dan energi harus disesuaikan dengan karakteristik lokal dan potensi alam yang ada di tiap wilayah, bukan berdasarkan kepentingan ekonomi semata.

Dengan demikian, Walhi menegaskan bahwa pemerintah harus mengambil langkah tegas untuk melindungi hutan dan rakyat Indonesia dari proyek yang berpotensi membawa bencana ekologis dan sosial. Kebijakan yang pro-rakyat dan berkelanjutan menjadi kunci untuk memastikan masa depan yang lebih baik bagi lingkungan dan generasi mendatang.

Adil Al Hasan berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Anggota Komisi IV DPR Sindir Menteri Kehutanan Raja Juli Soal Kelestarian Hutan Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus