Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkap risiko-risiko yang dihadapi oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Airlangga mengatakan dinamika global masih menjadi faktor utama yang berdampak pada perkembangan perekonomian negara ke depan. “Sejumlah risiko tentu masih akan kita hadapi seperti volatilitas harga komoditas, kemudian tingkat suku bunga yang relatif tinggi,” ujarnya kepada awak media seusai High Level Meeting Tim Pengendalian Inflasi Pusat (HLM TPIP), di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Jumat, 31 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, kebijakan perdagangan dari Amerika Serikat atau yang sering disebut kebijakan Trump 2.0 juga dinilai akan berdampak pada perekonomian dalam negeri. Kemudian, ada pula kerentanan ketahanan pangan dan energi yang diakibatkan oleh perubahan iklim.
“Ini yang perlu kita perhatikan, terutama di proyeksi ekonomi global tahun 2025 itu diperkirakan kira-kira 3,2 persen, di bawah rata-rata historis,” ucapnya.
Berdasarkan data World Economic Outlook (WEO) Update yang dirilis oleh Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) pada Januari 2025, pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2025 dan 2026 diproyeksikan sebesar 3,3 persen, atau di bawah rata-rata historis pada 2000 hingga 2019 sebesar 3,7 persen.
Kendati demikian, Airlangga menilai perekonomian Indonesia cukup membanggakan. Ia menyinggung masuknya Indonesia dalam jajaran negara dengan produk domestik bruto (PDB) yang disesuaikan dengan paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) tertinggi. Menurut catatan IMF, Indonesia menempati posisi ke-8 di antara ratusan negara lainnya.
“Lebih tinggi dari Italia, Prancis, dan ini betul capaian yang baik,” ujar Airlangga. “Tentu Indonesia harus tetap menjaga pertumbuhan ekonomi,” katanya lagi.
Sebelumnya, IMF mencatat produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia pada 2024—berdasarkan perhitungan paritas daya beli—sebesar $ 4,98 triliun.
Diketahui, PDB berdasarkan PPP merupakan PDB nominal yang memperhitungkan perbedaan standar kehidupan maupun harga barang dan jasa antar negara. Oleh karena itu, nilai tersebut diukur dalam dolar internasional.
Adapun menyitir data IMF, negara yang menempati posisi pertama dalam jajaran negara dengan pencapaian PDB tertinggi berdasarkan PPP ialah China. Pada 2024, pencapaian Negeri Tirai Bambu itu tercatat mencapai $ 37,07 triliun. Di urutan kedua, Amerika Serikat mencatatkan angka $ 29,17 triliun.
Kemudian India menyusul di posisi ketiga dengan pencapaian $ 16,02 triliun. Di urutan keempat, IMF mencatat PDB berdasarkan PPP Rusia yang mencapai $ 6,9 triliun. Lalu disusul oleh Jepang dengan pencapaian $ 6,57 triliun.
Di posisi keenam, Jerman menorehkan angka pencapaian PDB sebesar $ 6,02 triliun. Ketujuh, IMF mencatat PDB Brasil sebesar $ 4,7 triliun. Pada urutan ke-8, pencapaian PDB yang disesuaikan PPP Indonesia tercatat $ 4,66 triliun.
Di urutan ke-9 dan 10 terdapat Prancis dan Inggris yang, berdasarkan data IMF, masing-masing mencatatkan PDB sebesar $ 4,36 triliun dan $ 4,28 triliun.
Pilihan Editor: Dampak Penghematan Belanja Pemerintah ke Bisnis Hotel