Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pak Spauan (63) menunjukkan buah pala yang sudah matang di perkebunananya di Pulau Hatta, Banda Naira, Maluku, 20 Mei 2016. TEMPO/Iqbal Lubis
Seorang anak bermain saat ibunya memilah biji pala yang akan dijual di Pulau Hatta, Banda Naira, Maluku, 20 Mei 2016. Pada abad ke-14 dan abad ke-15, pala yang dihasilkan kepulauan Banda menjadi komoditas eksklusif dalam perdagangan rempah global hingga saat ini. TEMPO/Iqbal Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pak Spauan (63) membuka buah pala dan memisahkannya dari bunga (fuli) dan biji di perkebunananya di Pulau Hatta, Banda Naira, Maluku, 20 Mei 2016. Pala tetap jadi sumber pendapatan utama penduduk kawasan Banda. TEMPO/Iqbal Lubis
Bunga (fuli) dan biji di perkebunananya di Pulau Hatta, Banda Naira, Maluku, 20 Mei 2016. Hampir seluruh bagian buah pala dapat menghasilkan uang. Daging buah bisa dibuat manisan dan sirup. Fuli untuk bumbu masak atau diekstrak sarinya menjadi bahan baku kosmetik dan parfum. Harga fuli lebih tinggi dibandingkan harga biji pala. Harga 1 kg fuli yang dihasilkan dari 6 kg biji pala Rp 120.000. TEMPO/Iqbal Lubis
Seorang warga memtik buah pala yang sudah matang dari atas pohon di perkebunan Pulau Hatta, Banda Naira, Maluku, 20 Mei 2016. Biji pala kering kualitas terbaik pernah mecapai harga hingga Rp 150.000 per kg, tetapi saat ini hanya Rp 90.000 per kg. TEMPO/Iqbal Lubis
Proses pemisahan cangkang biji Pala atau dalam bahasa Banda Toke di Pulau Hatta, Banda Naira, Maluku, 20 Mei 2016. Pala sudah menjadi sumber utama ekonomi kehidupan masyarakat di pulau yang dahulu beranama Rozengain ini. TEMPO/Iqbal Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini