Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sardono W. Kusumo menampilkan teater tari di Candi Koto Mahligai, Jambi.
Karyanya diilhami migrasi burung-burung dari Siberia ke Australia yang singgah di Jambi.
Budaya lisan krinok dan tari tradisional tauh dari Jambi mewarnai pertunjukan itu.
POHON-POHON itu menjulang puluhan meter. Beberapa membentuk satu petak lahan. Akar pohon menjalar dan menyembul di tanah, bagaikan kaki dinosaurus yang kokoh. Pohon sialang—konon sebutan ini datang dari suku Anak Dalam di kawasan hutan Jambi—itu sendiri bukan nama jenis pohon, melainkan sebutan untuk pohon-pohon yang menjulang tinggi, jauh lebih tinggi daripada pohon lain di sekitarnya, pohon durian dan pohon duku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Khusus di Candi Koto Mahligai di kompleks Cagar Budaya Nasional Muarajambi, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, beberapa pohon sialang mengelilingi sebuah susunan batu bata yang membentuk persegi setinggi sekitar 1 meter. Inilah sisa sebuah candi yang dinamakan Koto Mahligai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika seorang lelaki berbaju koko putih, bercelana putih, bersarung setinggi paha, dan bertutup kepala sejenis lacak berkeliling di antara pepohonan sambil menepuk-nepuk dada bak gerakan tari saman, kawasan pepohonan tinggi dan sisa candi itu terasa jadi sebuah tempat pertunjukan. Lelaki itu mengimbau dengan suara berdendang: “Wahai, saudara dan saudari yang berada di sini....” Dan, memang, inilah awal Koto Mahligai Burung-Burung, teater tari karya koreografer Sardono W. Kusumo, yang dipentaskan di sana pada Rabu sore, 20 November 2024. Koreografi yang dipentaskan dalam Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2024 ini diilhami oleh migrasi burung-burung dari Siberia ke Australia yang singgah di Pantai Cemara, Jambi, dan puisi Fariduddin Attar, “Musyawarah Burung”.
Ini sebuah teater tari yang tidak bercerita. Sebuah teater suasana yang terbentuk oleh kelompok-kelompok penari dengan kostum masing-masing. Sebuah kelompok mengenakan topi kepala burung lengkap dengan paruhnya, berkaus panjang, dan berkain longgar. Di tubuh mereka ada rumbai-rumbai kain warna-warni. Itu yang perempuan. Penari lelaki bertelanjang dada.
Kelompok lain mengenakan baju dengan lengan sepanjang siku sehingga tangan dan bahu mereka bebas bergerak. Mereka bercelana komprang. Celana dan baju putih mereka buram dan berhiaskan kain bergradasi cokelat, krem, abu-abu, dan hitam. Inilah kelompok Palak Batu, yang juga menampilkan semacam instalasi tali-tali merah—terasa tali dan warna merah itu mengusir suasana monoton pepohonan dan daun-daun hijau.
Mereka semua bergerak lebih banyak dengan merendahkan tubuh dan kedua lengan bergerak seperti sayap berkepak-kepak. Hanya di pembuka pertunjukan mereka menepuk-nepuk dada dan berkeliling.
Terdengar suara kicau burung-burung. Lalu terdengar suara: “Segala burung di dunia, yang dikenal dan tak dikenal datang berkumpul...”. Itu cuplikan puisi “Musyawarah Burung” karya Fariduddin Attar terjemahan Hartojo Andangdjaja. Para penonton bergerak mengikuti para penari pilihan masing-masing, mungkin dengan sengaja atau asal berjalan, puisi Attar terdengar antara jelas dan tidak.
Di tengah pepohonan, tanah yang terjuluri akar-akar pohon, dan cericit burung-burung garapan komponis Otto Sidharta, teater tari ini bukan hanya tak bercerita. Puisi yang dibawakan oleh Hanindawan, sutradara asal Solo, dan Shinta, penari dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Jawa Tengah, tidak sepenuhnya tertangkap telinga. Juga gerak tari para penari adalah gerak intuitif dengan gaya masing-masing. Mereka hanya dibekali oleh “pencipta pertunjukan”—begitu salah seorang penari dari Program Studi Seni Drama, Tari, dan Musik (Sendratasik) Universitas Jambi mengatakan—agar mereka “bergerak seperti burung yang Anda amati”. “Ketidakjelasan” semua itu justru menyatukan seluruhnya di Candi Koto Mahligai.
Sardono W. Kusumo bukan baru kali ini menyajikan teater tari bersuasana lingkungan. Dalam Painting Performance, yang dipergelarkan di halaman Taman Warisan Melayu di depan Istana Kampong Glam, Singapura, pada 2016, misalnya, penonton bebas bergerak dan memilih tempat, yang menjadikan seluruh halaman itu menjelma menjadi ruang pertunjukan. Koto Mahligai Burung-Burung menyatukan apa pun yang hadir: tumpukan batu bata sisa-sisa candi, pepohonan, akar-akar di tanah, para penari, dan penonton.
Yang kemudian terimajinasikan oleh Koto Mahligai Burung-Burung adalah sebuah alam yang utuh. Suatu rasa bahwa alam dan kita saling menyapa, saling membutuhkan. Bait dalam puisi Attar mengatakan bahwa mereka tak tahu apakah mereka masih tetap burung-burung ataukah telah menjadi Sang Simurgh, sang “raja sejati”.
Para penari itu adalah mahasiswa Sendratasik Universitas Jambi ditambah beberapa dari sanggar-sanggar tari di Jambi, ISI Surakarta, dan komunitas Palak Batu, yang tersebar antara lain di Bangka dan Belitung. Tentu dalam tubuh mereka tersimpan yang selama itu mereka latih: olah dan gerak tubuh. Komunitas Palak Batu, alumnus Institut Kesenian Jakarta, bisa bergabung dengan mudah berkat tari (burung) kedidi, tari tradisional di Bangka, kata Arlin Putri, salah seorang pendiri Palak Batu. Total, sekitar 50 penari bergerak-gerak di Koto Mahligai.
Pertunjukan adalah pertunjukan. Suasana “para penari burung” bakal terasa monoton tanpa sebuah, katakanlah, “aksen” atau mungkin kontras. Maka “seekor burung” hitam bergelantungan seperti terperangkap jaring. Bulunya yang putih tersobek-sobek. Ia berkelojot di atas tanah, terbanting ke tanah, mencoba terbang, berpusing, terbanting lagi, dan seterusnya. Mendadak seolah-olah ia berdamai dengan “nasib”, tak lagi berkelojot dan terbanting-banting. Ia berjalan tenang menghampiri siapa saja yang bisa didekati, memberikan serpihan-serpihan kain putih, bulu-bulu dari tubuhnya.
Kemudian terdengar nyanyian, yang setengah meratap, setengah melengking. Inilah krinok, olah vokal yang sudah berabad-abad hidup di Tanah Melayu, antara lain di Jambi. Syair atau cerita dibawakan dalam bahasa Jambi yang merupakan ungkapan kata hati. Sementara itu, Eyi Lesar, sang burung hitam yang bergelantungan, terus saja membagikan bulu-bulunya. Juga Dekjjal Arbial, lelaki yang menepuk dada bak gerakan tari saman, terus saja berkeliling di antara pepohonan.
Sementara nyanyian krinok, bagi saya, terdengar bernada sedih, gerak atau tari yang dibawakan oleh para penari tampak santai dan bersuasana rasa syukur. Itulah tauh, tari pergaulan tradisional Jambi. Menurut Yanda, koordinator para penari dari Universitas Jambi, dulu tauh dibawakan sehabis panen oleh seluruh masyarakat, terutama muda-mudi, sebagai ungkapan rasa syukur.
Tauh ternyata memancing penonton untuk ikut menari atau berjalan santai sembari menggerakkan tangan ke depan dan belakang seperti mengayuh dan sesekali tangan bertepuk. Perjalanan pertunjukan pun meleburkan batas—yang sesungguhnya sejak awal batas ini terasa tiada—antara penonton dan yang ditonton. Sekitar 10 menit krinok dan tauh didendangkan dan ditarikan sebelum Koto Mahligai Burung-Burung berakhir.
Bambang Bujono
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo