Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Museum Vrolik didirikan dua abad lalu oleh ilmuwan Belanda yang brilian tapi rasis.
Di masa Hindia Belanda, ahli anatomi Gerard dan Willem Vrolik mengumpulkan ratusan tengkorak dari Indonesia.
Tengkorak koleksi Vrolik kini diupayakan untuk dikembalikan ke negara asalnya.
PESAN awal pengelola Museum Vrolik, museum sejarah tubuh manusia di Amsterdam, Belanda, itu terdengar janggal. “Kalau museum lain berusaha menarik sebanyak mungkin pengunjung, kami malah mulai dengan memberi peringatan bahwa mungkin tidak semua orang akan menikmati museum ini,” kata Direktur Museum Vrolik Laurens de Rooy, lalu tertawa kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di situs web museum itu juga tertera peringatan: “Tidak semua orang berkenan melihat sampel anatomi yang jelas berasal dari manusia. Karena itu, kunjungan kemari mungkin kurang cocok untuk sebagian publik, seperti anak-anak dan calon orang tua.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu bukan peringatan kosong. Bahkan, sebelum memasuki museum mungil ini, jasad manusia dan hewan berupa tengkorak dan embrio dalam tabung formalin sudah jelas terlihat dari etalase kacanya di balik pintu masuk.
Museum yang berlokasi di kompleks Universitair Medisch Centrum (UMC), Amsterdam—rumah sakit terbesar di Belanda—ini adalah museum anatomi yang didirikan pada abad ke-19 oleh ilmuwan Gerard Vrolik dan Willem Vrolik. Selain ahli anatomi, bapak dan anak ini menguasai ilmu botani, fisiologi, fisika, dan kebidanan. Gerard, Willem, dan beberapa penerus mereka, seperti Lodewijk Bolk, adalah penganut gagasan rasisme yang menganggap orang kulit putih lebih unggul dari ras lain. “Tentu ini pemikiran yang amat tercela dan tidak mencerminkan pandangan kami sekarang,” ujar Laurens de Rooy kepada Tempo di UMC pada Rabu, 27 November 2024.
Museum Vrolik berlokasi di dalam gedung Rumah Sakit Universitair Medisch Centrum (UMC) Amsterdam. Foto: Linawati Sidarto
Selain melakukan studi ilmiah seperti tentang perkembangan embrio, penyakit, dan evolusi, ilmuwan Museum Vrolik di abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjajaki antropologi fisik. Bidang terakhir ini mencakup rassenonderzoek, penelitian yang berangkat dari pandangan bahwa umat manusia dapat dikelompokkan ke dalam berbagai ras. Ini dilakukan dengan meneliti tengkorak manusia, yang kebanyakan diambil dari wilayah jajahan Belanda, termasuk Indonesia.
“Dari sekitar 350 tengkorak dari wilayah jajahan, kurang-lebih 80 persen berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia,” ujar De Rooy. Walaupun tidak bisa dipastikan, banyak dari tengkorak tersebut mungkin diambil secara paksa.
Ketika Menucha Latumaerissa, pria yang aktif di komunitas Maluku di Belanda, menghubungi Museum Vrolik pada 2022 mengenai keberadaan tengkorak asal Kepulauan Tanimbar di sana, De Rooy langsung antusias. “Kami ingin proaktif dalam pengembalian kerangka-kerangka manusia ke tempat asal mereka, tapi tidak tahu pihak mana yang harus kami hubungi,” kata De Rooy, yang memimpin Museum Vrolik sejak 2002.
Kerangka-kerangka manusia asal Tanimbar itu diangkut ke Belanda pada 1912 oleh G.N.A. Ketting, dokter militer Hindia Belanda yang bertugas di Maluku. Tengkorak-tengkorak Tanimbar ini menjadi bagian dari rassenonderzoek. “Koleksi seperti ini tidak punya makna ilmiah lagi. Lagi pula, kalaupun digunakan untuk penelitian, ini tetap bermasalah, mengingat cara perolehan tengkorak-tengkorak tersebut,” tutur De Rooy.
Tengkorak-tengkorak Tanimbar pernah dipamerkan ketika museum masih berada di gedung lama di Jalan Mauritskade Nomor 61, Amsterdam. Tapi, sejak museum pindah ke UMC pada 1984, tengkorak-tengkorak itu hanya teronggok di tempat penyimpanan.
Pengembalian 15 tengkorak itu ke Desa Amtufu, Tanimbar, pada Kamis, 5 November 2024, adalah repatriasi kedua kerangka manusia ke negara asalnya yang dilaksanakan Museum Vrolik. Pada 2019, tengkorak dan kerangka manusia dari komunitas Maori dikembalikan ke Selandia Baru. Ironisnya, De Rooy menerangkan, pengembalian ke negara-negara kolonialis pemukim—tempat penjajah kemudian menguasai daerah hingga kini, seperti Selandia Baru, Australia, dan Amerika Serikat—sering lebih mudah. “Hal-hal yang berhubungan dengan komunitas asli biasanya sudah teratur rapi dengan berbagai peraturan karena masyarakat asli telah lama termarginalisasi.”
De Rooy mengungkapkan, repatriasi ke Indonesia lebih rumit. Walaupun sejak 2022 pemerintah Belanda telah memiliki komisi resmi yang mengurus pengembalian benda cagar budaya rampasan ke Indonesia, proses ini hanya mencakup kerja sama antarpemerintah. “Pemilik museum ini adalah rumah sakit UMC, bukan pemerintah pusat,” kata De Rooy. Sampai sekarang, Museum Vrolik belum pernah menerima permintaan repatriasi dari Indonesia, baik dari pemerintah maupun komunitas tertentu.
Museum Vrolik ikut membiayai pemulangan 15 tengkorak Tanimbar ke Maluku bersama Yayasan Budaya Kita pimpinan Menucha Latumaerissa. “Kami juga menjalin kerja sama yang baik dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag dan maskapai Garuda,” ujar De Rooy.
Lemari kaca berisi kerangka dan sisa-sisa tubuh manusia di Museum Vrolik/Frank Wiersema/UMC Amsterdam
Museum Vrolik kini tengah menginventarisasi semua koleksi mereka yang berasal dari Indonesia. Proses ini tidak selalu mudah karena dokumentasi tentang kapan, dari mana, dan dalam kondisi apa kerangka-kerangka manusia tertentu sampai ke tangan museum amat beragam. “Ada yang memiliki arsip lengkap yang rinci dan ada juga yang hanya berinformasi ‘tengkorak dari Jawa’,” kata De Rooy. Proses ini diperkirakan rampung tahun depan.
Satu kendala penting yang masih harus diatasi adalah biaya. “Kami berusaha, seperti buat tengkorak Tanimbar, menyisihkan dana untuk proses repatriasi. Tapi tentunya kemampuan kami terbatas,” ucap De Rooy.
De Rooy menekankan pentingnya upaya melaksanakan proses repatriasi dengan saksama. Meskipun koleksi museum adalah dasar beroperasinya institusi tersebut, banyak barang simpanan mereka lebih dari sekadar obyek. “Sebuah tengkorak bukan benda seperti kursi atau meja. Kalau bisa ditelusuri sumbernya, sebuah tengkorak bisa mempunyai makna yang amat mendalam sebagai leluhur komunitas tertentu.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Linawati Sidarto (Amsterdam)