Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kembalinya 15 Tengkorak Leluhur Suku Tanimbar di Maluku

Tengkorak para leluhur Suku Tanimbar di Belanda akhirnya kembali ke tempat asalnya di Maluku. Bagaimana proses pemulangannya?

6 Desember 2024 | 08.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Acara penyambutan dan upacara adat masyarakat Tanimbar terhadap 15 tengkorak leluhur yang tersimpan lebih dari 100 tahun di Museum Vrolik Belanda. FOTO/Yayasan Budaya Kita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Sebanyak 15 tengkorak leluhur suku Tanimbar tersimpan di Museum Vrolik, Belanda.

  • Di masa kolonial, seorang tentara KNIL membawanya ke Belanda untuk bahan penelitian ras.

  • Menucha Latumaerissa dan Yayasan Budaya Kita berupaya mengembalikannya ke Maluku.

SETELAH menempuh tiga hari perjalanan udara, Menucha Latumaerissa dan dua anggota timnya, Wesley Tigele dan Brinsley Lainsamputty, akhirnya tiba di Kepulauan Tanimbar, Maluku, pada 4 November 2024. Ketua Yayasan Budaya Kita itu terbang dari Amsterdam, Belanda, membawa pulang barang yang sangat berharga bagi orang Tanimbar: 15 tengkorak leluhur mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Proses pemulangan tengkorak Tanimbar ini berbeda dengan program repatriasi sejumlah artefak Kerajaan Singasari dari pemerintah Belanda ke pemerintah Indonesia beberapa waktu lalu. Tengkorak ini dikembalikan melalui kerja sama antara pihak swasta dan masyarakat adat Tanimbar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemulangan itu berawal dari sesuatu yang tak terduga. Menucha menemukan sebuah buku tua di toko loak pada 2022. Kertas dan sampulnya sudah menguning. Buku berjudul Volkenkundige Opstellen itu dicetak Ellermen, Harms & Co di Amsterdam pada 1917. Buku seharga 6 euro atau sekitar Rp 100 ribu tersebut ternyata menyimpan informasi “harta karun”. Buku bekas dari Colonial Institute itu tidak tebal dan berisi dua bab, “Tanimbarschedels” yang ditulis Johannes Pieter Kleiweg de Zwaan dan “Over ornamentkunst van Seram” yang ditulis Herman F.E. Visser.

Acara penyambutan dan upacara adat masyarakat Tanimbar terhadap 15 tengkorak leluhur yang tersimpan lebih dari 100 tahun di Museum Vrolik Belanda. FOTO/Yayasan Budaya Kita

Tulisan Kleiweg de Zwaan itu secara spesifik berbicara tentang 15 tengkorak dari Tanimbar yang dibawa ke Belanda pada 1912. Menucha adalah pemuda yang tertarik pada budaya tanah leluhurnya di Maluku dan tergelitik dengan tulisan tersebut. Ia merasa informasi ini sangat berharga dan sesuai dengan keprihatinannya terhadap banyak artefak Nusantara yang diselundupkan ke Negeri Kincir Angin.

Menucha, yang bekerja di kepabeanan bandar udara di Belanda, menyaksikan banyak artefak selundupan yang berakhir di balai lelang. “Saya pikir ini tidak bagus. Benda-benda ini kekayaan budaya kita, tapi tak boleh diperjualbelikan, cukup dilihat saja,” katanya kepada Tempo di Jakarta, Ahad, 10 November 2024.

Kleiweg adalah antropolog Belanda yang melakukan banyak penelitian mengenai Hindia Belanda. Di buku itu Kleiweg menggambarkan tengkorak Tanimbar tersebut satu per satu, seperti ukurannya, yang digunakan untuk penelitian ras. Dia juga membandingkannya dengan tengkorak lain dari suku-suku yang berbeda di Hindia Belanda. Dia menemukan bahwa ras Maluku tidak sama dengan ras Asia, tapi serupa dengan bangsa Polinesia.

Kleiweg menerima tengkorak-tengkorak itu pada 1912. Tengkorak itu diambil G.N.A Ketting, perwira Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL), dari Tanimbar. Tak diketahui cerita awal Ketting mendapatkan belasan tengkorak itu. Ketting kemudian mengirimkan tengkorak tersebut kepada Lodewijk Bolk, ahli anatomi di Amsterdam, yang kemudian memberikannya kepada Kleiweg. Dalam laporan penelitiannya, Kleiweg menyatakan tengkorak itu berasal dari Kampung Amtoefoe (Amtufu) di pantai timur Yamdena, pulau terbesar di Kepulauan Tanimbar. Di tengkorak itu juga tertera tulisan asal dan tanggal pengambilannya. Keterangan ini memudahkan Menucha melacak asal-usulnya.

Acara penyambutan dan upacara adat masyarakat Tanimbar terhadap 15 tengkorak leluhur yang tersimpan lebih dari 100 tahun di Museum Vrolik Belanda. FOTO/Yayasan Budaya Kita

Menucha lalu menghubungi Museum Vrolik, museum anatomi di Amsterdam yang menyimpan tengkorak-tengkorak itu, dan menanyakan keberadaannya. Museum menyambut positif kedatangan Menucha yang membawa buku tua tersebut. “Mereka kaget saya punya buku ini. Mereka bahkan mereka tidak punya salinan atau bukunya,” ucap Menucha.

Menucha tak percaya bisa melihat tengkorak-tengkorak yang sudah seabad lebih mengendon di dalam kotak-kotak penyimpanan museum tersebut. Ia merasa tengkorak itu harus dikembalikan ke asalnya, sejalan dengan kebijakan repatriasi dari pemerintah Belanda. “Visa mereka tinggal di Belanda sudah habis,” ujarnya, berkelakar. Dia juga melihat puluhan tulang dari daerah lain, seperti Aru, Nias, dan Papua.

Menucha berniat mengembalikan tengkorak-tengkorak itu dan disambut baik oleh pihak Museum Vrolik. Sayangnya, tidak ada petunjuk atau catatan yang lebih rinci soal tengkorak Tanimbar.

Menucha juga berupaya melacak peninggalan serupa ke beberapa museum lain dan menemukan sejumlah artefak berbagai suku di Indonesia. Ia mendapat informasi bahwa sejumlah artefak Indonesia juga tersimpan di sebuah museum di Belgia. “Mereka menghubungi saya. Katanya, ada sekitar 4.000 artefak yang dibawa para misionaris,” tuturnya.

Acara penyambutan dan upacara adat masyarakat Tanimbar terhadap 15 tengkorak leluhur yang tersimpan lebih dari 100 tahun di Museum Vrolik Belanda. FOTO/Yayasan Budaya Kita

Menucha mengungkapkan, misi Yayasan Budaya Kita tidak hanya untuk benda-benda bersejarah dari Maluku, tapi juga dari wilayah lain di Indonesia. Benda-benda ini, dia menambahkan, penting untuk dikembalikan ke asalnya, terutama kepada kelompok masyarakat atau suku yang berhubungan erat dengannya.

Dia lalu berupaya mencari keluarga dari Amtufu di antara 80 ribu orang Maluku dan keturunan Maluku di Belanda. Tentu tak mudah menemukannya, seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Tapi sepertinya semesta sedang mendukung niat itu. Berdasarkan sejumlah literatur yang dibaca Menucha, tak banyak orang asli Tanimbar saat itu, seperti orang-orang dari marga Maselaman dan Bwarleling.

Secara tak terduga, Menucha bertemu dengan anggota keluarga Maselaman, satu-satunya keluarga dari Tanimbar yang bermukim di Belanda. Itu terjadi ketika dia diajak temannya bermain bola dan diperkenalkan dengan pemain lain, yang ternyata dari keluarga Maselaman. “Saya tidak menduga sama sekali. Cepat sekali saya bertemu orang dari Tanimbar,” ujarnya.

Dari keluarga Masaleman, jalan menuju ke Tanimbar mulai terbuka. Keluarga itu ternyata masih terus berhubungan dengan keluarganya di Tanimbar. Dengan begitu, Menucha bisa menghubungi salah satu kepala desa di Amtufu di Pulau Yamdena, pulau terbesar di Kepulauan Tanimbar. Ia juga berkoordinasi dengan Museum Vrolik, Kedutaan Besar RI di Belanda, dan pemerintah daerah Tanimbar untuk proses pemulangan tengkorak itu.


•••

MENUCHA Latumaerissa dan timnya sebenarnya hendak mengembalikan belasan tengkorak Tanimbar itu ke Desa Amtufu di Kepulauan Tanimbar. Tapi kampung tua itu sudah terbagi dua menjadi Desa Lorulun dan Tumbur. Mereka juga sempat mengalami hambatan dalam hal administrasi karena kepala desa yang selama ini berhubungan dengan mereka untuk proses pemulangan itu meninggal beberapa hari sebelum kedatangan Menucha dan kawan-kawan.

Joseph Malindar, juru bicara tetua adat kedua desa, menuturkan, Menucha memproses upaya pengembalian tengkorak itu sejak setahun lalu. “Tapi lebih intensif dalam beberapa bulan terakhir. Kami di sini memusyawarahkan dengan para pemangku adat karena kampung tua Amtufu sudah terpisah secara administratif untuk penyambutan dan penerimaannya,” katanya kepada Tempo melalui sambungan telepon.

Akhirnya, Menucha dapat membawa tengkorak itu ke Maluku. Tengkorak itu dibawa dalam kotak hitam berukuran sedang seberat 31 kilogram. Dia dan kotak tengkorak itu mendarat di Bandara Mathilda Batlayeri di Amtufu pada Senin, 4 November 2024.

Salah satu dari 15 tengkorak yang dihadirkan dalam acara penyambutan dan upacara adat masyarakat Tanimbar terhadap 15 tengkorak leluhur yang tersimpan lebih dari 100 tahun di Museum Vrolik Belanda/FOTO/Yayasan Budaya Kita

Tak kurang dari 50 orang menyambut kedatangan mereka di balai adat Sori Uluntutul. Penyambutnya dari wakil pemerintah daerah hingga para tetua adat Sori Lur, Sori Twal, dan Sori Mud dari Desa Lorulun dan Tumbur.

Di dekat pagar rumah adat, mereka diterima Sori Lur. Sebotol sopi (sejenis minuman keras tradisional) dan penyumbatnya, yang dilambangkan dengan uang, menyertai kotak itu masuk ke Sori Uluntutul dan diterima para tetua adat. Terjadilah dialog serah-terima dari tnyanuk marumat (pembicara kecil) kepada tnyanuk silai (pembicara besar) sambil menyerahkan sopi dan sumbatnya. Kotak kemudian dibuka. Menucha mengambil tengkorak bertulisan “Jamdena 63-1912”, yang merujuk pada Pulau Yamdena, di bagian belakangnya dan diletakkan di atas kotak.

Mereka kemudian menyalakan 15 lilin sebagai tanda duka dan berdoa syukur atas kembalinya 15 tengkorak leluhur mereka. Kotak itu lalu diserahkan secara bertahap kepada pemerintah daerah hingga tetua adat kedua desa. Mereka berterima kasih kepada Menucha dan tim yang telah membawa pulang tengkorak leluhur mereka. Personel stasiun televisi Belanda ikut datang ke Tanimbar melaporkan acara pengembalian tengkorak ini.

Joseph Malindar menuturkan, serangkaian upacara adat yang dilakukan untuk menyambut tengkorak itu. Kembalinya 15 tengkorak ini dianggap sebagai lunasnya utang Belanda kepada mereka. Para tetua adat kemudian memusyawarahkan di mana penempatannya.

Saat ini, Joseph  menjelaskan, kotak berisi tengkorak ini dititipkan di keluarga yang dianggap sebagai ahli waris tengkorak tersebut, yakni kakak-adik Xaverius Buarlele dan Caspar Buarlele. Dua bersaudara itu mendapatkan cerita lisan secara turun-temurun tentang kerangka leluhur yang dibawa ke Belanda. “Di masyarakat Tanimbar tidak ada tradisi tulis, jadi berdasarkan cerita lisan keluarga,” ucap Joseph. Caspar, yang mantan pilot, konon pernah mencarinya ke Eropa pada 1980-an, tapi tak menemukannya.

Acara penyambutan dan upacara adat masyarakat Tanimbar terhadap 15 tengkorak leluhur yang tersimpan lebih dari 100 tahun di Museum Vrolik Belanda. FOTO/Yayasan Budaya Kita

Caspar menceritakan, pada sekitar Oktober 1963, keluarganya membawa Caspar ke lokasi tengkorak tersebut. “Jadi saya tahu persis ceritanya. Pada saat itu saya berumur 9 tahun,” ujarnya melalui aplikasi pesan. Ia mengatakan, cerita tentang tengkorak leluhurnya itu cukup panjang.

Dari cerita keluarga secara lisan, Caspar mendapatkan informasi bahwa tengkorak leluhurnya dibawa ke Belanda. Pada Oktober 1994, ia pernah mencoba mencari informasi mengenai tengkorak itu di Belanda. Sayangnya, usahanya tidak mendapatkan hasil. Ia tidak mendapat informasi apa-apa.

Joseph nenerangkan, tengkorak itu berfungsi sebagai duan (pelindung atau penjaga). Nenek moyang masyarakat Tanimbar mempunyai tradisi menempatkan jasad di atas batu di dalam goa atau di atas pohon. Mereka tidak mengenal tradisi penguburan jenazah. Mereka akan datang ke “makam” itu sambil membawa sesajen pada waktu-waktu tertentu sekaligus merawat tengkorak dan memohon kekuatan. Mereka percaya bahwa di gua, batu, pohon, sungai, dan berbagai tempat memiliki penunggu atau penjaga yang mereka sebut duan. “Di sinilah mengalir animisme dan dinamisme dalam kehidupan masyarakat Tanimbar sebelum 1911. Jadi hubungan antara manusia dan duan itu disebut hubungan holistik,” ujar mantan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Tanimbar itu.

Perangkat dan tetua adat berencana menyimpan dan menempatkan tengkorak-tengkorak itu di sebuah balai adat di bekas kampung tua Amtufu. Rumah adat inilah yang nanti akan dibangun di antara kedua desa itu dalam upaya memelihara warisan leluhur mereka. Semua tengkorak itu akan diabadikan sebagai benda bersejarah, budaya, dan spiritual bagi warga Desa Lorulun dan Tumbur. Joseph menyatakan, meskipun saat ini warga desanya telah menganut agama Kristen atau Katolik, adat tradisi penghormatan terhadap leluhur masih terus dilakukan.

Menucha mengaku ada sejumlah tantangan dalam upaya mengembalikan tengkorak tersebut. Untuk proses pengembalian kali ini ia menghabiskan tak kurang dari 20 ribu euro atau sekitar Rp 334 juta, yang diperoleh dari bantuan Museum Vrolik dan donasi publik. Ia cukup senang Museum Vrolik mendukung usahanya mengembalikan tengkorak yang mereka nilai “kurang penting” itu. “Bagi kami, ini penting. Ini `artefak´ masyarakat biasa, bukan `artefak´ dari seorang tokoh,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Dian Yuliastuti, Seno Joko Suyono

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus