Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kasus bullying alias perundungan semakin banyak terdengar. Salah satu kasus yang cukup menyayat hati adalah ketika seorang bocah di Tasikmalaya, Jawa Barat, meninggal dunia setelah mengalami depresi akibat perundungan. Bocah SD berusia 11 tahun ini menjadi korban bullying dan dipaksa menyetubuhi kucing oleh teman-temannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dokter Spesialis Anak, Yuni Astria mengatakan dari berbagai literatur, definisi bullying sebenarnya cukup bervariasi. Salah satunya mengartikan bullying sebagai perilaku agresif atau perilaku yang tidak diinginkan disertai tidak imbangnya kekuatan, terjadi berulang atau mungkin berulang secara terus-terusan. "Dari defisini tersebut dapat kita cermati bahwa tindakan bullying tidak hanya berupa tindakan yang melibatkan fisik sebab seringkali kebanyakan dari kita mengganggap bullying hanya berupa kekerasan fisik semata," katanya dalam keterangan pers yang diterima Tempo pada 25 Juli 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yuni mengatakan tindakan yang dapat dikatakan bullying dapat dikategorikan dalam dua bagian, yang pertama tindakan tidak melibatkan sentuhan dan yang melibatkan sentuhan atau fisik berupa menendang, meninju, atau tindakan kekerasan fisik lainnya. Kategori kedua adalah bullying tanpa sentuhan yaitu memgeluarkan kata-kata bersifat ancaman, menyindir, mengejek dengan panggilan tertentu, mengolok-olok (bullying secara verbal). "Ada lagi bullying psikologis yang lebih halus dari verbal bullying jika melakukan tindakan melibatkan emosinal seperti menyebarkan rumor tertentu sehingga membuat anak menjadi tertekan bahkan depresi. Terakhir adalah cyber bullying yaitu melalui pengiriman sms, telepon, media sosial yang bertujuan untuk mempermalukan seseorang," katanya.
Apabila ada anak yang “diledek” temannya dengan panggilan nama tertentu, ia termasuk korban bullying, sementara teman yang melakukan hal tersebut sudah dapat dikatakan sebagai pelaku bullying. Yuni menemukan fakta bahwa dalam sebuah studi didapatkan bahwa bentuk terbanyak bullying adalah verbal bullying (bullying melalui kata-kata) berupa mengejek atau menyebut nama dengan “panggilan” tertentu sebesar 40 persen.
Pada usia remaja, kebanyakan verbal bullying yang terjadi meliputi penyebaran gosip atau rumor tidak benar. Di samping itu, cyber bullying pada usia remaja hingga dewasa muda kejadiannya semakin meningkat dari 9 persen menjadi 18 persen seiring dengan kemajuan teknologi internet dan berkembangnya media sosial. "Dari angka tersebut, sebagian besar mereka juga mengalami bullying di waktu sekolah," kata Yuni Astria.
Dalam kasus perundungan, faktor-faktor yang menyebabkan seorang anak menjadi pembuli sangat beragam, meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor risiko internal yang menyebabkan seseorang menjadi pelaku bullying, antara lain tidak mendapat kasih sayang dan perhatian adekuat dari orang tua, di sisi lain orang tua yang terlalu memberi kebebasan kepada anak juga tidak dianjurkan. "Faktor lain adalah didikan terlalu keras (melibatkan fisik untuk melatih disiplin), memiliki pengalaman di-bully oleh kakak, serta orang tua dengan kararkteristik pembuli juga merupakan faktor risiko seorang anak dapat menjadi pelaku bullying," kata Yuni Astria.
Faktor eksternal yang mempengaruhi timbulnya perilaku bullying dapat bersumber dari teman sebaya maupun faktor lingkungan. Yuni mencontohkan teman-teman yang memiliki perilaku bullying atau kekerasan, seringkali mencontoh adegan kekerasan dari televisi atau video permainan. "Tidak adanya peraturan yang tegas dari pihak sekolah terkait perilaku bullying serta kurangnya supervisi terhadap siswa/i ketika kegiatan non-akademis turut andil dalam mengembangkan perilaku bullying pada anak sekolah," kata Yuni Astria.
Baca: Anak Korban Bullying Meninggal, Jokowi Singgung Tanggung Jawab Semua Pihak