Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Kesehatan

Apa Beda Demensia dengan Alzheimer?

Ketahui apa beda demensia dengan alzheimer, apa gejalanya, dan bagaimana mencegahnya.

30 September 2021 | 21.54 WIB

Ilustrasi demensia/Alzheimer. Wisegeek.com
Perbesar
Ilustrasi demensia/Alzheimer. Wisegeek.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Apakah kamu tahu apa perbedaan antara demensia dengan alzheimer? Terkadang orang menganggap demensia atau pikun dengan alzheimer itu sama saja. Intinya, sama-sama menunjukkan gejala sering lupa dan penderitanya berusia lanjut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Anggapan ini ada benarnya sekaligus salah. Alzheimer adalah satu dari beragam jenis demensia. Adapun demensia terdiri atas beberapa kategori, antara lain demensia alzheimer itu sendiri, demensia vascular, demensia Parkinson's, demensia fronto-temporal, dan demensia lewy bodies.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam bahasa awam, demensia sama dengan pikun. Ini adalah kondisi yang menggambarkan kumpulan gejala penurunan fungsi kognitif, seperti daya ingat, emosi, pengambilan keputusan, dan fungsi otak lainnya. Lantaran begitu parah, maka kondisi pikun ini mengganggu kemampuan seseorang dalam beraktivitas sehari-hari.

Jika dibiarkan, maka perlahan-lahan semakin banyak bagian otak yang rusak dan gejala yang timbul pun menjadi lebih parah. Semakin tua usia, semakin rentan untuk terkena demensia.

Direktur Eksekutif Alzheimer Indonesia atau ALZI, Michael Dirk R. Maitimoe mengatakan demensia alzheimer adalah penurunan fungsi otak yang mempengaruhi daya ingat, emosi, perilaku, dan fungsi otak lainnya. "Misalkan lupa cara memasak, tidak bisa membuat perencanaan, dan lainnya," kata Michael dalam jumpan pers daring berjudul "Kenali Demensia Alzheimer dan Pentingnya Deteksi Dini" pada Jumat, 24 September 2021.

Ilustrasi pasangan lansia/kakek-nenek. Freepix.com

Ada sepuluh gejala demensia alzheimer. Jika pendamping atau lansia itu sendiri merasakan gejala tersebut, segera berkonsultasi ke dokter spesialis saraf, psikiatri, atau geriatri. "Perlu pendampingan farmakologi (minum obat sesuai anjuran dokter) dan non-farmakologi (psikologi dan sosial)," kata Michael.

Mengutip laman Alzheimer Indonesia, otak seseorang dengan alzheimer mengalami penumpukan zat abnormal yang mengakibatkan terganggunya sistem persinyalan di antara sel saraf. Sel-sel saraf rusak memicu penurunan produksi zat kimia penting dalam otak, yakni neurotransmitter, yang berfungsi mengkomunikasikan antar-sel saraf.

Beberapa faktor risiko yang dapat memicu demensia alzheimer antara lain kurang beraktivitas fisik, kebiasaan merokok, mengkonsumsi alkohol berlebih, polusi udara, cedera kepala, jarang bersosialisasi, kurangnya edukasi, obesitas, hipertensi, diabetes, depresi, dan memiliki gangguan pendengaran. Belum ada obat untuk menyembuhkan demensia. Namun demikian, laju penyakit ini dapat ditekan melalui deteksi dini tadi, kemudian melakukan tindakan yang diperlukan.

Baca juga:
Tips Membedakan Lupa karena Pikun, Teledor, atau Kelelahan

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus