Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Libur panjang sering kali jadi momen lepas kendali. Makanan berlimpah, jam tidur kacau, dan aktivitas fisik nyaris nihil. Begitu hari kerja kembali dimulai, diet kilat yang ekstrem langsung jadi solusi instan. Dalam waktu singkat, orang berlomba memangkas berat badan tanpa memikirkan dampaknya bagi tubuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Fenomena ini bukan hal baru. Setiap habis libur, pencarian soal diet cepat melonjak. Janji turun berat badan drastis dalam sepekan terasa menggiurkan, apalagi jika dibungkus istilah "detoks" atau "cleansing". Padahal, sudah banyak para ahli kesehatan menyebut diet kilat yang ekstrem justru bisa memicu masalah serius
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Hasil Sementara, Risiko Selamanya
Crash diet atau diet kilat biasanya menuntut pembatasan kalori secara drastis dan menghilangkan satu atau beberapa kelompok makanan dari menu harian.
Menurut American Academy of Family Physicians yang dikutip dari laman Penn Medicine, penurunan berat badan melalui langkah diet ini lebih banyak berasal dari air dan otot, bukan lemak. Begitu pola makan kembali ke kebiasaan semula, berat badan biasanya ikut kembali bahkan bisa bertambah.
Pola ini dikenal sebagai yo-yo dieting atau turun-naik berat badan yang berulang dan dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, diabetes, hingga gangguan mental seperti depresi.
Efek Diet Ekstrem
Dilansir dari laman GoodRx dan Obesity Action Coalition, berikut efek yang dapat timbul apabila menerapkan diet ekstrem.
- Risiko Malnutrisi dan Gangguan Hormon
Pembatasan makanan yang terlalu ketat membuat tubuh rentan mengalami kekurangan gizi. Malnutrisi bisa menghambat pertumbuhan otot dan tulang, menyebabkan dehidrasi, konstipasi, hingga memperlemah sistem imun.
Tak hanya itu, diet ekstrem bisa mengganggu keseimbangan hormon, termasuk hormon reproduksi. Pada perempuan, ini bisa memicu gangguan siklus menstruasi dan berdampak pada kesuburan.
- Perubahan Mood hingga Citra Tubuh Negatif
Kurangnya asupan nutrisi juga bisa memengaruhi suasana hati. Diet ekstrem kerap dikaitkan dengan rasa lelah, kesulitan konsentrasi, hingga peningkatan risiko gangguan makan. Fokus berlebihan pada bentuk tubuh dan makanan bisa memperburuk citra diri dan menciptakan siklus diet yang tak sehat.
“Crash diet tak hanya membuat tubuh kelaparan, tapi juga bisa membuat seseorang kehilangan koneksi sosial karena terlalu sibuk memikirkan apa yang boleh dan tidak dimakan,” ujar Karen Hovav, dokter anak dan pakar nutrisi, yang dikutip dari laman GoodRx.
- Risiko Batu Empedu dan Produk ‘Ajaib’ yang Berbahaya
Penurunan berat badan yang terlalu cepat, seperti lebih dari 1,5 kg per minggu dan diet rendah kalori di bawah 800 kalori per hari, dapat berpotensi memicu batu empedu. Beberapa metode diet juga melibatkan konsumsi teh pelangsing, suplemen, atau pil diet. Meski banyak dijual bebas, produk-produk ini tak jarang mengandung zat berbahaya yang dapat memicu gangguan irama jantung, kejang, hingga kerusakan organ. - Otot dan Tulang Terkikis
Tanpa pengawasan medis, diet ekstrem bisa menggerus massa otot dan tulang hingga lebih dari 25 persen dari total penurunan berat badan yang akan berdampak pada kekuatan fisik dan metabolisme, serta meningkatkan risiko kerapuhan tulang di usia lanjut. Otot dan tulang yang melemah ini akan mempengaruhi kualitas hidup jangka panjang seseorang.
- Gizi Berantakan
Tubuh membutuhkan asupan nutrisi harian untuk berfungsi optimal. Diet ekstrem yang kilat seringkali memangkas bukan hanya kalori, tapi juga jenis makanan, seperti makanan tanpa karbohidrat, tanpa lemak, atau tanpa produk susu. Teknik ini menyulitkan tubuh mendapatkan protein, vitamin, dan mineral esensial. Dalam jangka pendek, tubuh mungkin masih bisa bertahan, tapi kekurangan nutrisi bisa menyebabkan gangguan serius jika terus berlanjut.
- Berat Badan Balik Lagi
Berat badan yang turun drastis cenderung sulit dipertahankan. Tubuh merespons kekurangan kalori ekstrem dengan menurunkan laju metabolisme, sebagai bentuk perlindungan dari “kelaparan.” Akibatnya, saat pola makan kembali normal, berat badan bisa naik lebih cepat dari sebelumnya. Dalam satu studi yang dikutip oleh Obesity Action Coalition, menyatakan bahwa 40 persen pelaku diet ekstrem mengalami kenaikan bobot yang lebih besar dari berat yang sempat hilang.
- Masalah Kesehatan Lainnya
Efek samping lain dari diet ekstrem dapat meliputi ketidakseimbangan elektrolit, detak jantung tidak normal, kadar gula darah rendah, dehidrasi, asam urat akut, rambut rontok, lemas, dan sembelit. Semua dampak ini bisa muncul hanya karena tergiur langsing instan.
Daripada mengejar hasil instan, penurunan berat badan yang sehat lebih fokus pada konsistensi dan keberlanjutan. Prinsip utamanya ada pada makan seimbang, beraktivitas fisik, tidur cukup, dan peka terhadap sinyal lapar tubuh.
Pakar gizi menyarankan untuk mengisi piring dengan sayuran, buah, biji-bijian utuh, protein tanpa lemak, dan lemak sehat. Aktivitas fisik juga tak perlu harus berat, yang penting dilakukan secara rutin. Dan yang tak kalah penting, hindari menghakimi makanan sebagai “baik” atau “buruk”.
Jika memang ingin menjalani diet rendah kalori, penting untuk melakukannya di bawah pengawasan dokter. Diet tanpa pengawasan medis berisiko membawa lebih banyak kerugian ketimbang manfaat. Sebelum memulai, konsultasikan dulu dengan ahli, apalagi jika punya kondisi medis tertentu.