Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Memakai atau membeli pakaian bekas saat ini sudah menjadi tren gaya berbusana milenial. Kata lain yang merujuk pada aktivitas tersebut dikenal sebagai aktivitas thrifting.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sederhanananya yang dikutip dari goodwilaz.org, thrifting berarti berbelanja di toko barang bekas, garage sale, atau pasar loak yang menampilkan barang bekas dengan harga murah. Tak hanya sekadar di tokonya secara langsung, seseorang bisa melakukan thrifting melalui situs elektronik komersial atau disebut marketplace secara online.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Biasanya kumpulan barang bekas tersebut telah dipakai sebelumnya oleh para pemiliknya, namun dijual secara eceran dalam kondisi dan kualitas yang tetap baik oleh penjual. Barang thrifting ini pun bukan dilakukan dengan mencari apa yang telah kita inginkan sebelumnya, melainkan berburu apapun barang bekas yang ada di toko tersebut.
Baca: Tips Membuka Throft Shop Jual Barang Bekas Berkualitas
Popularitas Thrifting
Disebutkan dalam laman absustainably.com, popularitas thrifting di Amerika ini akan bertumbuh 16 kali lebih cepat daripada sektor ritel lainnya sampai tahun 2026, yang trennya sudah mulai dibentuk sejak 2016 lalu.
Sementara di Indonesia thrift shop tersebar luas diberbagai daerah, mulai dari Bandung dengan pusat di Cibadak Mall atau disebut Cimol, sedangkan di Jakarta tersebar di daerah Pasar Senen, Pasar Baru, Glodok Plaza, dan tempat lainnya.
Adapun banyak manfaat dari kegiatan thrifting yang semakin popular ini, salah satunya adalah sebagai alternatif untuk mendukung pengurangan limbah fashion. Misalnya dalam produksi baju baru, setidaknya dibutuhkan 713 galon air untuk menumbuhkan kapas untuk bahan baju tersebut.
Sementara kapas yang diproduksi pun membutuhkan banyak pupuk, pestisida, mesin untuk memanen kapas, bahan bakar untuk menyalakan mesin, dan pengemasan untuk mengirim kapas.
Lalu mengutip data dari United Nations Environment Programme pada tahun 2021, sektor fashion menggunakan 93 miliar meter kubik air setiap tahunnya, dengan melibatkan pewarnaan dan pemrosesan kain yang menyumbang sekitar 20 persen dari air limbah industri secara global.
Selain itu, kegiatan trifting pun akan menekan tingkat emisi industri fasthion. Menurut United Nations Climate Change News pada 2019, perluasan sektor fashion sendiri menghasilkan 10 persen emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh perluasan penggunaan energi secara intensif. Ditambah dengan penghasilkan miliaran ton karbondioksida.
Oleh sebab itu, membeli baju baru yang sebagai catatan merupakan salah satu bentuk fast fashion ini memiliki dampak lingkungan lebih besar dibandingkan dengan membeli yang bekas. Yang sebabnya kegiatan thrifting sering disebut sebagai ramah lingkungan.
FATHUR RACHMAN
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.