Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemanis buatan aspartam rencananya akan dinyatakan sebagai zat kemungkinan karsinogenik atau bisa memicu kanker pada Juli 2023, menurut dua orang sumber kepada Reuters. Pemanis buatan itu banyak digunakan mulai dari minuman soda diet hingga permen karet dan beberapa minuman buatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut kedua sumber itu, aspartam akan dimasukkan pada daftar zat yang mungkin bersifat karsinogenik terhadap manusia untuk pertama kali oleh Badan Internasional Penelitian Kanker (IARC) yang berada di bawah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Keputusan yang dirampungkan awal Juni 2023 dalam pertemuan para ahli eksternal IARC tersebut dimaksudkan untuk menilai apakah suatu zat kemungkinan berbahaya atau tidak berdasarkan semua bukti yang telah dipublikasikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan itu tidak mempertimbangkan berapa banyak produk yang aman dikonsumsi. Rekomendasi bagi konsumen dibuat oleh komite lain yang terdiri dari para ahli aditif makanan WHO, yang dikenal sebagai gabungan WHO dengan Komite Pakar Zat Aditif Makanan Organisasi Pangan Dunia (FAO) atau JECFA, bersama penilaian dari regulator-regulator nasional.
Namun, keputusan IARC sebelumnya tentang zat-zat yang lain telah menimbulkan kekhawatiran konsumen, mendorong gugatan hukum, dan menekan produsen dalam membuat komposisi baru dan beralih ke zat pengganti. Hal itu memicu kritik terhadap IARC karena penilaiannya dapat membingungkan masyarakat.
JECFA juga sedang meninjau ulang penggunaan aspartam di 2023. Pada akhir Juni mereka mulai bertemu dan dijadwalkan mengumumkan temuan pada 14 Juli, bertepatan dengan pengumuman keputusan IARC.
Pada 1981, JECFA menyatakan aspartam aman dikonsumsi dalam batas harian yang diterima. Orang dewasa berbobot 60 kg, misalnya, dianggap berisiko jika mengonsumsi 12-36 kaleng minuman ringan diet per hari, tergantung jumlah aspartam dalam minuman itu. Anggapan itu telah diterima oleh banyak regulator nasional, termasuk di Amerika Serikat dan Eropa.
Juru bicara IARC mengatakan baik temuan IARC maupun JECFA bersifat rahasia hingga Juli. Dia menambahkan kedua temuan itu saling melengkapi. Kesimpulan IARC mewakili langkah fundamental pertama dalam memahami karsinogenisitas, sedangkan JECFA melakukan penilaian risiko, yang menentukan kemungkinan terjadinya jenis kerusakan tertentu, misalnya kanker, dalam kondisi dan tingkat paparan tertentu.
Namun, menurut surat dari regulator AS dan Jepang, industri dan regulator khawatir jika kedua proses tersebut dilakukan bersamaan akan menimbulkan kebingungan.
"Dengan hormat kami meminta kedua lembaga itu mengkoordinasikan upaya meninjau ulang aspartam guna menghindari kebingungan atau kekhawatiran masyarakat," tulis Nozomi Tomita, pejabat Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, dalam surat bertanggal 27 Maret 2023 kepada Wakil Direktur Jenderal WHO, Zsuzsanna Jakab.
Jadi Perdebatan
Keputusan IARC bisa menimbulkan dampak yang luas. Pada 2015, komite mereka menyimpulkan bahwa glifosat mungkin bersifat karsinogen. Beberapa tahun kemudian, meski badan lain seperti Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) mempertanyakan hal ini, perusahaan-perusahaan masih merasakan akibat dari keputusan itu.
Pada 2021, Bayer dari Jerman kalah dalam pengadilan banding ketiga terhadap vonis pengadilan AS yang memberikan ganti rugi kepada konsumen-konsumen yang menuding herbisida berbasis glifosat buatan Bayer menjadi pemicu kanker. Keputusan-keputusan IARC juga dikecam karena memicu panik yang tidak perlu mengenai zat atau situasi yang sulit dihindari.
IARC memiliki empat tingkatan klasifikasi: karsinogenik, kemungkinan besar karsinogenik (probably carcinogenic), kemungkinan karsinogenik (possibly carcinogenic), dan tidak bisa diklasifikasikan. Tingkatan-tingkatan itu didasarkan pada kekuatan bukti, bukan seberapa berbahaya suatu zat.