Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Bermain Esports Juga Olahraga

PerhelatanĀ Asian Games 2018 mengerek popularitas esports di Indonesia.

30 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pertandingan esports di Asian Games ke-18, Jakarta, Agustus 2018./ANTARA /INASGOC/Dhemas Reviyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Asian Games, esports berada di daftar cabang olahraga turnamen empat tahunan itu. Tim esports Indonesia berhasil meraih 1 medali emas dan 1 medali perak dari enam nomor pertandingan yang diadakan di Jakarta pada akhir Agustus 2018.

Tim esports Indonesia menempati peringkat kedua, di bawah Cina, yang mengumpulkan 2 medali emas dan 1 medali perak. Karena status pertandingan hanya demonstrasi, medali yang diraih tidak digabungkan dalam total perolehan medali. “Indonesia punya potensi besar di esports,” kata Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S. Dewa Broto, Senin, 18 Maret lalu.

Keberhasilan atlet esports Indonesia di Asian Games membuka peluang mengejar prestasi di SEA Games tahun ini. Untuk pertama kalinya pula esports akan dipertandingkan dalam pesta olahraga se-Asia Tenggara itu. Peluang mendulang medali juga terbuka dalam Asian Games 2022 di Hangzhou, Cina. “Di Hangzhou, esports menjadi pertandingan wajib,” tutur Gatot.

Definisi esports sebagai olahraga masih menjadi kontroversi. Selama ini olahraga lebih banyak dipahami sebagai aktivitas fisik dalam permainan atau kompetisi yang pelakunya membutuhkan latihan khusus dan mengikuti aturan tertentu. Selain untuk kesehatan, olahraga dilakukan sebagai hiburan.

Cikal-bakal esports muncul dari turnamen video game yang digelar pada era 1980-an. Produsen video game Nintendo bahkan mengadakan kejuaraan dunia yang menarik para penggila game. World Mind Sports Federation mengklasifikasikan esports sebagai olahraga asah otak seperti catur dan scrabble.

Pada 2013, pemain game League of Legends asal Kanada, Danny “Shiphtur” Le, menjadi gamer profesional pertama yang mendapatkan visa P-1A ke Amerika Serikat. Visa jenis ini diberikan khusus kepada atlet yang diakui secara internasional.

Gatot mengatakan esports bukan sekadar permainan video game. Esports juga mengandung kriteria sebuah olahraga, seperti keharusan pemain memiliki ketahanan tubuh, keterampilan, kecerdasan, dan kerja sama. Selain itu, gamer harus bisa membuat keputusan cepat saat tertekan.

Adanya komunitas atau organisasi resmi, aturan main, dan jadwal kompetisi yang teratur juga memperkuat posisi esports sebagai olahraga. “Regulasi yang dibuat federasi nasional mengacu pada federasi Asia dan global,” ucap Gatot.

Federasi Esports Internasional didirikan pada 2008 dan telah menyelenggarakan sepuluh kejuaraan dunia. Organisasi yang bermarkas di Seoul, Korea Selatan, itu memiliki 53 anggota, termasuk Asosiasi Esports Indonesia yang dibentuk pada 2013. Adapun Asian Electronic Sports Federation diresmikan tahun lalu dan telah diakui Komite Olimpiade Asia.

Di Indonesia juga digelar berbagai kompetisi esports. Tahun ini, untuk pertama kalinya diadakan turnamen Piala Presiden untuk para pemain Mobile Legends. Putaran final turnamen yang digelar di Istora Senayan, Sabtu, 30 Maret lalu, itu diikuti 16 peserta.

Pemain game profesional Richard Permana meyakini esports layak disebut olahraga. Sama seperti atlet olahraga lain, para pemain esports harus menyiapkan fisik, mental, dan strategi yang bagus untuk bertanding. “Disiplin latihannya,” kata Richard, yang juga chief executive officer grup esports Jakarta, TEAMnxl>.

Menurut Richard, pemain game membutuhkan fisik prima karena bisa duduk berjam-jam. Mereka tak boleh kehilangan konsentrasi dan harus bisa bereaksi cepat serta menghitung strategi. Kondisi makin kompleks ketika mereka bermain dalam tim. “Mata berfokus ke layar, telinga mendengar instruksi, juga harus berpikir cepat,” ujar spesialis Counter-Strike: Global Offensive itu. “Satu pemain bikin kesalahan sepele, semua bisa repot.”

Presiden Indonesia Esports Premier League Giring Ganesha mengatakan esports adalah olahraga kompetitif yang kini tumbuh menjadi bisnis besar. Hal ini serupa dengan sepak bola dan basket, yang juga ditonton banyak orang. “Para gamer itu juga harus berlatih empat-delapan jam sehari dan kompetisinya banyak,” tuturnya.

Meski esports sudah diperlakukan seperti olahraga, definisinya tidak tercantum dalam Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional. Asosiasi Esports Indonesia pun belum menjadi anggota Komite Olahraga Nasional Indonesia. “Itu bukan halangan. Unsur-unsur olahraga sudah ada di esports,” ucap Gatot S. Dewa Broto. “Terminologinya nanti bisa segera dimasukkan jika merevisi undang-undangnya.”

GABRIEL WAHYU TITIYOGA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus