KELUARGA Berencana tak hanya menyejahterakan rumah tangga. Tapi juga mendatangkan keuntungan bagi beberapa perusahaan farmasi. Setidaknya, sebuah perusahaan farmasi nasional dan dua asing mendapatkan keuntungan dari program KB Indonesia. PT Kimia Farma adalah perusahaan farmasi nasional itu. Sejak 1979 perusahaan ini dengan BKKBN teken kontrak: pihak Kimia Farma diminta memproduksikan pil KB. Kurang jelas berapa juta butir pil KB harus diproduksikan Kimia Farma, tapi kontrak tahun 1983-1984 mencapai 36 juta butir. Diperkirakan oleh H. Salamah Adiputra, direktur Proyek Pabrik Pil KB Kimia Farma di Bandung, tahun 1984 - 1985 kontrak akan naik menjadi 40 juta butir. Sejak KB dicanangkan, agaknya pil KB memang kontrasepsi favorit di kalangan peserta KB. Data BKKBN per April 1984, misalnya, dari sekitar 14,4 juta akseptor, 67% menggunakan pil KB. Hanya lebih dari 16% yang memakai IUD atau spiral, dan lebih sedikit lagi yang menggunakan kondom, cuma lebih dari 7%. Tentu saja PT Kimia Farma tak sendirian dalam memproduksikan pil KB untuk sekitar 8 juta akseptor pil KB. PT Schering Indonesia, yang beroperasi di sini sejak 1966, juga memproduksikan pil KB. Menurut Anwir Luthan, manajer pemasaran PT Schering Indonesia, tahun 1983 perusahaan yang berinduk di Jerman Barat ini memproduksikan 50 juta paket pil (satu paket untuk persediaan sebulan). Yang bukan untuk dijual ke BKKBN sekitar 2 juta paket. Dan bila digabungkan dengan produksi suntikan KB-nya, nilai produksi alat kontrasepsi PT Schering Indonesia sekitar Rp 940 juta. Saingan PT Schering adalah PT Organon yang punya induk perusahaan di Negeri Belanda. Yang terakhir ini baru masuk Indonesia pada 1975. Produksi pil KB-nya, bernama Ovostat 28, cuma ratusan ribu paket. Misalnya, untuk tahun 1983 pesanan BKKBN hanya berjumlah sekitar 750 ribu paket Ovostat 28. Larisnya pil KB di sini diperkirakan karena penggunaannya yang praktis, tinggal telan. Meski, si pemakai, yakni para ibu-ibu akseptor, harus cukup rajin mengingat-ingat, adakah hari itu ia sudah menelan tablet KB ini. Bila tidak, kebobolan memang risiko yang harus ditanggung. Benar, ketika mula-mula dibuat pil-pil KB banyak memberikan efek samping. Misalnya, pasangan Usman dan Tam Lie Cu dari Medan pada awal-awal mereka ikut KB, akhir 1960-an. Lie Cu menggunakan pil. "Ternyata jantung jadi berdebar-debar, jadi kemudian saya beralih ke spiral," tutur Lie Cu, yang kini 41 tahun, ibu dua anak. Efek samping tablet KB memang juga tergantung kondisi ketahanan tubuh si penelan. Buktinya, tak semua akseptor lantas meninggalkan pil. Apalagi, dari pihak PT Schering diperoleh keterangan bahwa dari tahun ke tahun selalu ada percobaan untuk mengurangi efek samping. Misalnya dengan mengubah komposisi bahan tablet, mengurangi dosis, dan sebagainya. Sementara itu, sikap budaya Indonesia terhadap alat-alat kontrasepsi agaknya memang menguntungkan jenis tablet, yang ditelan lewat mulut ini. IUD atau spiral ternyata mengundang reaksi. Misalnya pada 1972 musyawarah ulama terbatas yang dibentuk Menteri Agama memutuskan, spiral tabu dipasang bila masih ada alat atau obat lain sebagai gantinya. Bahkan pihak Gereja Katolik waktu itu melarang semua cara ber-KB selain dengan pantang berkala. Baru pada 1983, fatwa Majelis Ulama Indonesia memperingan ketentuan pemasangan spiral. Yakni, spiral boleh dipasang asal yang memasang dokter atau perawat perempuan. Gereja Katolik pun kemudian mengendurkan kendali. soal kontrasepsi diserahkan kepada kebijaksanaan tiap-tiap keluarga, asal tidak melanggar moral agama. Tapi pil tetap jadi favorit. Buktinya, produksi pil KB PT Schering yang 50 juta paket pada tahun 1983 itu adalah jumlah produksi 28% lebih banyak dari produksi pada 1982. DARI BKKBN memang sudah datang perkiraan, pada tahun-tahun mendatang pemakai spiral akan bertambah. PT Kimia Farma tahun ini, berdasarkan kontrak BKKBN, sudah akan memproduksikan spiral pula. Untuk ancar-ancar, Salamah Adipura menyebut sekitar 1,5 juta spiral akan diproduksi. Keuntungannya, selain efek spiral lebih ringan, "Orang tak perlu takut lupa, karena - tak seperti pil KB, yang harus ditelan sewaktu-waktu -, spiral sudah dipasang permanen," kata Salamah. Mungkin BKKBN memang bermaksud menggalakkan pemakaian spiral, karena diperkirakan tingkat kegagalannya rendah. Yang jelas, sebagian besar akseptor KB selama ini berkeluarga berencaa dengan bantuan negara. Tepatnya, alat-alat kontrasepsi yang diberikan cuma-cuma atau dijual murah lewat klinik-klinik pemerintah, sekitar 25% adalah bantuan gratis dari luar negeri. Untuk tahun-tahun yang akan datang, bila nanti bantuan itu sudah disetop, pasaran bebas alat kontrasepsi tentulah akan makin ramai. Soal ini sudah menjadi perhitungan Parulian Simanjuntak, direktur Adminsitrasi dan Keuangan PT Schering Indonesia. "Nanti peran swasta akan lebih besar," katanya. Waktu itulah, mungkin, pabrik-pabrik jamu di sini - seperti PT Air Mancur, Jamu Jago, Nyonya Meneer - yang kini belum ikut terjun memproduksikan alat-alat kontrasepsi, akan menerjunkan diri. Gejala itu sudah tampak, misalnya di PT Darya Varia Laboratoria, perusahaan farmasi yang berdiri pada 1976, kini sudah memulai riset untuk membuat pil KB. Artinya, bisnis kontrasepsi di Indonesia diramalkan bakal menanjak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini