Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Soal Keluarga Ideal Bagi Pri & Nonpri

14 Juli 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOAL KB atau keluarga berencana tak luput dari prasangka bila menyangkut saudara kita WNI keturunan Cina. Menurut Melly G. Tan, sosiolog anggota staf peneliti di Leknas-LlPI, sejak 1972, saat pelaksanaan KB baru dimulai, prasangka WNI keturunan Cina enggan ber-KB, muncul. Konon, prasangka itu datang dari anggapan sebagian masyarakat bahwa Cina dianggap mempunyai pola keluarga besar. Haryono Suyono, ketua BKKBN, membantah keras dugaan itu. "Memang sulit kalau mau mencari WNI keturunan Cina ikut KB di Puskesmas," katanya. "Mereka datang sendiri ke klinik KB swasta atau ke dokter-dokter pribadi." Menurut Melly, yang pernah mengadakan penelitian di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan, angka kesuburan dan jumlah anak rata-rata golongan WNI keturunan Cina memang lebih rendah daripada golongan suku Jawa, Sunda, Minang, dan Batak. Di samping penelitian yang dilakukan Melly, dari tahun 1974 sampai dengan 1981 setidaknya ada tujuh penelitian di beberapa daerah yang mencoba rnencari tahu benarkah prasangka masyarakat itu. Hasilnya dirangkum dalam buku kecil diterbitkan BKKBN, 1982. Penelitian itu di Bali, Kotamadya Surabaya, Kotamadya Bandung, Kecamatan Lengkong, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Kotamadaya Ujungpandang, Kotamadya Parepare, Kabupaten Luwu, Kabupaten Bone, dan Kotamadya Medan. Yang pertama kali diketahui, ternyata WNI keturunan Cina rata-rata melakukan perkawinan dalam usia lebih tua dibandingkan dengan golongan pribumi. Misalnya, penelitian Soegeng Waloejo dari BKKBN Provinsi Bali pada 1974 menemukan, pribumi rata-rata menikah pada usia 20,3 tahun. Keturunan Cina pada 21,9. Penelitian di Kotamadya Medan oleh Adja Safinat dari Universitas Sumatera Utara tak menghitung data nyata. Yang di angketkan adalah umur ideal perkawinan. Diperoleh jawaban, pribumi menganggap usia 18-26 umur yang ideal. Dan yang keturunan Cina menyatakan usia yang lebih tua, 24-32 tahun. Tentang pengetahuan ber-KB, ketujuh penelitian memperoleh perbandingan sendiri-sendiri Di Bali persentase pribumi yang tahu tentang KB lebih besar (96% wanita pribumi dan 89% wanita keturunan Cina). Demikian pula penelitian di Kalimantan Barat, pada 1977, oleh Effendi Aman dari BKKBN provinsi ini. Tapi di Kotamadya Surabaya, R.H. Pardoko, dari Lembaga Kesehatan Nasional Surabaya, pada 1974 menghitung WNI keturunan Cina yang tahu tentang KB lebih dari 92%. Sedangkan pribumi di kota ini hanya 80% yang tahu. Mengenai jumlah anak yang diinginkan, ketujuh penelitian menemukan bahwa rata-rata responden, baik pribumi maupun keturunan Cina, menyebutkan lebih dari dua anak. Di Bali, menurut Soegeng Waloejo, kebanyakan responden menginginkan dua anak perempuan dan dua laki-laki. Penelitian di Kalimantan Barat mengungkapkan, rata-rata responden (pribumi dan keturunan Cina) menginginkan tiga sampai empat anak. Dan Adja Safinat di Medan memperoleh gambaran, responden belum memiliki rencana mau punya anak berapa. Ketujuh peneliti tak menyertakan analisa sikap hidup terhadap jumlah anak. Tapi menurut Melly G. Tan, rata-rata keturunan Cina mempunyai pandangan bahwa keluarga yang punya sepasang anak perempuan dan sepasang anak lakl-laki adalah keluarga Ideal. Dari segi lain, tiadanya cita-cita pada keluarga keturunan Cina hendak punya anak berapa mungkin disebabkan kuatnya garis patrilineal. Artinya, adanya cita-cita kuat untuk mempunyai setidaknya seorang anak laki-laki. Agama Khong Hu Cu mengatur, pengurusan meja sembahyang leluhur harus oleh anak laki-laki tertua. Walhasil, bisa dibayangkan, bagi keluarga Tionghoa yang masih teguh memegang adat ini - meski misalnya sudah beranak empat tapi perempuan semua - tentulah masih ingin anak lagi, dengan harapan anak berikut itu laki-laki. Bagi keluarga pnbum, motlvasi untuk mempunyai banyak anak kurang jelas. Mungkin keyakinan banyak anak banyak rezeki masih hidup di sebagin pribumi kita. Tapi bila memang demikian adanya, keyakinan yang dilandasi semangat spiritual agaknya akan lebih kuat bertahan. Berdasar ketujuh penelitian, pernyataan Ketua BKKBN memang benar. Yakni, WNI keturunan Cina lebih suka mengunjungi klinik-klinik swasta alias yang bukan milik pemerintah. Penelitian di Bali itu, misalnya, menunjukkan bahwa hanya 39% wanita keturunan Cina yang memperoleh alat kontrasepsi dari klinik pemerintah. Sementara itu, wanita pribumi yang mendapatkan alat itu dari Puskesmas, misalnya, sekitar 80% dari peserta KB. Bahkan laki-laki WNI keturunan Cina tak ada yang mengambil alat kontrasepsi dari klinik pemerintah. Kesimpulan yang bisa ditarik, wasangka masyarakat tentang adanya keengganan WNI keturunan Cina ber-KB ternyata tidak benar. Soalnya kini, bila soal pandangan keluarga ideal seperti yang dikatakan Melly G. Tan itu benar, maka memang kecenderungan WNI keturunan Cina untuk punya lebih dari satu anah kuat. Ditambah adanya semacam keharusan untuk punya anak laki-laki. soal KB bisa saja ditunda. Tapi ini masih harus dibuktikan. Buku sensus penduduk, sayangnya, tak menghitung populasi WNI keturunan Cina secara eksklusif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus