BAGAIMANA memilih SMA yang baik? Menjelang tahun ajaran baru, pertanyaan itu selalu bergema. Misalnya pada musim pendaftaran murid baru sekolah negeri Juni yang lalu, atau untuk sekolah swasta - yang hingga pekan ini masih berlangsung. Pilihan masyarakat sejak awal 1970-an, yakni sekolah-sekolah yang dianggap favorit. Ukurannya? Tak jelas. Misalnya, seorang ibu yang selalu memilih SMAN I, Jakarta, buat putra-putrinya mengatakan, "SMA I gurunya pilihan, laboratoriumnya lengkap, kegiatan olah raganya baik." Di kalangan orantua murid, SMA I memang dikenal sebagai sekolah favorit. Tapi kini ada yang mencoba mencari tahu ukuran-ukuran yang menjadikan SMA baik atau kurang baik, lewat suatu penelitian. Max Wullur, 49, mahasiswa Fakultas Pascasarjana IPB, 23 Juni lalu meraih gelar doktor dengan disertasi berjudul Beberapa Indikator Mutu Akademik SMA di Indonesia. Max mengambil sampel 102 SMA negeri yang tersebar di seluruh Indonesia. "Sengaja saya ambil yang negeri, karena lebih mudah memperoleh data-datanya," katanya. Dan 102 SMA yang dipilihnya itu adalah sekolah-sekolah yang pada 1981 dan 1982 mendapatkan tes sampling dari Direktorat Pendidikan Menengah Umum Departemen P & K. Tes sampling itu sendiri, menurut Benny Suprapto, direktur Pendidikan Menengah Umum, "Untuk membaca situasi lapangan, dan untuk membandingkan mutu sekolah di seluruh tanah air." Berdasarkan peringkat dari tes sampling itulah kemudian Max mencoba menganalisa mengapa SMA yang satu berprestasi tinggi, yang lain tidak. Putra Kiawa dari Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, ini menggolongkan 102 SMA negeri itu menjadi "baik" (31 sekolah), "cukup" (19 sekolah), dan "kurang" (52 sekolah). Dasarnya, hasil tes sampling para siswa kelas III IPA sekolah-sekolah itu dalam lima mata pelajaran: Matematika, Bahasa Indonesia, Fisika, Biologi, dan Kimia. Maka, berdasarkan penggolongan itu, langsung bisa dilihat bahwa SMA di Jawa umumnya termasuk "baik". Hanya SMA di Sumatera Barat dan Bali yang bisa menyamai kualitas SMA di Jawa. "Ini menunjang pernyataan Iskandar Alisyahbana dari ITB, bahwa lulusan SMA di luar Jawa biasanya mengalami kesulitan lebih besar dalam tes masuk perguruan tinggi," kata Max. Tapi apa yang membedakan mutu SMA-SMA itu? Berdasarkan hasil tes, Max Wullur tak melihat perbedaan nilai yang berarti pada tiga mata pelajaran (Kimia, Bahasa Indonesia, dan Biologi). Tapi pada Matematika dan Fisika ternyata murid-murid SMA yang "baik" meraih angka tinggi, jauh di atas siswa SMA yang "kurang". Analisa lebih lanjut menemukan bahwa rendahnya kualitas pelajaran Matematika dan Fisika di SMA luar Jawa dikarenakan faktor guru. Yakni, ditemukan oleh Max bahwa beberapa guru Matematika dan Fisika ternyata lulusan Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP), dan bukan dari jurusan eksakta. Ada guru Matematika berlatar belakang pendidikan sejarah atau ilmu sosial yang lain. Hal ini diakui sendiri oleh Benny Suprapto. "Kita memang kekurangan guru, terutama untuk ilmu eksakta," katanya. Hal itu diakui juga oleh Wirwahyu, kepala SMAN VI, Jakarta. Meski bukan guru Matematika yang disebutnya, tapi guru pada umumnya. "Kalau gurunya sudah bermutu, dijamin mutu akademis sekolah pun jadi baik," katanya. Bahkan Prof. Dr. Andi Hakim Nasution - rektor IPB yang menjadi ketua Komisi Penasihat untuk Max Wullur - mengatakan, "Konsep yang mengatakan bahwa guru SMA harus lulusan IKIP sudah usang." Bagi Andi Hakim, terutama guru untuk ilmu eksakta di SMA lebih diseyogyakan diambil dari para lulusan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Tapi tak berarti bila seorang murid masuk ke SMA yang bermutu - artinya memiliki guru yang baik, terutama guru Matematikanya - lantas si murid otomatis jadi pintar. Ada faktor lain yang ditemukan Max mengapa SMA-SMA jadi bermutu. Yakni, ternyata para siswa SMA itu sendiri memang sudah berpotensi baik. "Ada hubungan erat antara SMA yang baik dan SMP yang baik," tutur Max kepada TEMPO. Artinya, SMA yang baik memang mendapatkan masukan lulusan SMP yang pintar-pintar. Maka, sumbangan penting disertasi ini yakni, bila memang perlu pemerataan mutu SMA, guru dan murid pintar harus disebar. Caranya, seperti sudah di praktekkan di DKI Jakarta, ialah dengan mutasi guru dan rayonisasi penerimaan murid baru. Sudah sejak 1975, lulusan SMP di DKI Jakarta tak bisa sembarang memilih SMA, tapi hanya boleh memilih SMA di wilayah tempat ia tinggal (meski ini sering pula dilanggar, dengan cara si murid pindah alamat). Tapi, menurut Benny Suprapto, terutama untuk SMA luar Jawa, mutasi guru bisa merepotkan. "Jumlah guru yang baik di luar Jawa terbatas. Dengan cara menyebarkan guru-guru itu - hingga akhirnya tiap SMA punya guru baik tapi hanya satu atau dua orang - justru merugikan," katanya. Cara ini memang bisa memeratakan mutu, tapi cenderung menjadi mutu yang rendah. Max Wullur, bekas dekan Fakultas Keguruan Ilmu Eksakta IKIP Manado, yang mulai menggarap penelitiannya pada awal 1983 dan menyelesaikan penulisan disertasinya pada April 1984, setuju pada Andi Hakim: perlunya sarjana bukan dari IKIP menjadi guru. "Guru yang menguasai ilmu kependidikan, tapi kurang menguasai materi bidang studi, terutama untuk SMA, akan sulit mengembangkan kemampuan murid-muridnya," kata Max.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini