Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Jakarta Marathon 2017, Hindari Dehidrasi Dampak Maraton

Banyak kasus cedera berat maupun ringan akibat kurangnya persiapan fisik dan karakteristik pelari yang cenderung memaksakan diri untuk maraton

29 Oktober 2017 | 17.45 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah peserta ikuti ajang Mandiri Jakarta Marathon 2017 di Jakarta, 29 Oktober 2017. Beberapa tokoh nasional yang ikut serta dalam perhelatan tahun ini antara lain Wagub DKI Jakarta Sandiaga Uno yang ikut kategori 21K dan Walikota Bogor Arya Bima di kategori 10K. TEMPO/Rully Kesuma

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ahad 29 Oktober 2017 ini, Monas dipenuhi tidak hanya oleh orang-orang yang sedang menikmati minggu pagi, namun juga para peserta Jakarta Marathon 2017. 16 ribu peserta mengikuti kegiatan itu untuk memperebutkan total hadiah sebesar Rp 774 juta.

Ajang ini akan melombakan lima nomor lari, di antaranya full marathon dengan jarak tempuh 42 kilometer yang diikuti 2.500 pelari. Kemudian nomor lari half marathon dengan jarak tempuh 21 kilometer yang diikuti 4.500 peserta. Nomor lari 10 dan 5 kilometer yang diikuti sekitar 9.000 pelari, dan maratoonz atau lomba lari anak-anak yang diikuti 300 peserta. Baca: Kenapa Kita Harus Selfie? Ini Jawaban Psikolog

Berlari menempuh jarak 42 kilometer tentu membutuhkan kesiapan yang luar biasa. Siap fisik, siap mental. Tak lupa kecukupan nutrisi dan waktu istirahat. Hal-hal mendasar seperti itu, menurut dokter spesialis kesehatan olahraga Michael Triangto, yang kerap tidak dipenuhi secara seimbang oleh pelari umum.

Dokter dari Rumah Sakit Mitra Kemayoran, Jakarta, ini menuturkan ada banyak kasus cedera berat maupun ringan yang terjadi akibat kurangnya persiapan fisik, juga karakteristik pelari yang cenderung memaksakan diri. "Lari adalah olahraga yang relatif murah. Semua golongan bisa melakukannya dengan berbagai alasan, dari kesehatan hingga diajak teman," ujar Michael saat ditemui di ruang praktiknya, April lalu. Baca: Mengapa Penampilan Gaya TNI tetap Diminati?

Ia mengatakan, olahraga lari menghasilkan banyak manfaat jika dilakukan dengan benar. "Orang yang berolahraga tentu sehat. Tapi jangan langsung menyimpulkan lebih banyak berolahraga akan jauh lebih sehat," Michael menjelaskan.

ilustrasi menyiram air untuk mengurangi dampak dehidrasi. Shutterstokilustrasi menyiram air untuk mengurangi dampak dehidrasi. Shutterstok

Dia mengatakan pernah mendapat kasus ada pelari yang jatuh koma gara-gara dehidrasi saat mengikuti lomba lari jarak jauh di Jakarta. Michael menyayangkan hal tersebut karena semestinya olahraga dilakukan untuk membuat tubuh sehat dan bugar, bukan sebaliknya.

Ada beberapa bahaya yang perlu diperhatikan dari kegiatan lari jarak jauh, misalnya dehidrasi. Gejalanya berdampak fatal pada banyak organ tubuh. Kekurangan cairan, ujar dia, bisa menyebabkan kerusakan ginjal, jantung, otak, hingga hilangnya kesadaran. "Ada orang yang bisa terus berlari karena instingnya, padahal otaknya sudah hilang kesadaran," ia menuturkan.

Meski ada risiko cukup tinggi, bukan berarti kekhawatiran Michael menjadi larangan keras untuk mengikuti kegiatan ultramaraton. Menurut dia, pelari harus mengetahui sejak awal tujuannya berlari. "Kalau olahraga sampai merusak badan, tentu jangan. Kalau untuk prestasi, mendapat penghargaan, hadiah, lupakan soal mendapat kesenangan dan kesehatan," ucap dia. Baca: 10 Cabang Olahraga ini Terbukti Paling Sehat

Pelari pun harus benar-benar menjalankan program persiapan secara bertahap. Jenis latihan yang dilakukan atlet dan awam, dia mengungkapkan, jelas berbeda. Ketika atlet sudah mulai berlari sejak usia muda, pelari yang baru mengenal kegiatan ini pada usia yang tak lagi muda tentu harus melakukan lompatan penyesuaian. Dan, tak semuanya mampu.

Pernyataan Michael tersebut disepakati Agung Mulyawan, pelatih atletik nomor lari jarak jauh pemusatan latihan nasional. Agung menerangkan, perbedaan signifikan proses latihan atlet dengan pelari biasa berada pada agenda latihan.

Keseharian seorang atlet memang dirancang untuk berlatih. Dalam sehari, mereka punya pola latihan-istirahat-makan-latihan-istirahat. Sedangkan pelari awam punya aktivitas rutin lain di luar latihan dan beristirahat, seperti bekerja atau bersekolah.

Untuk menyiapkan diri mengikuti ultramaraton, pelari harus berlatih setidaknya 12 pekan sebelum pertandingan. Itu pun bagi atlet atau pelari yang sudah terbiasa. Adapun bagi pelari pemula, jangan coba-coba mencicipi ultra maraton sebelum melakukan persiapan minimal enam bulan sebelum perlombaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus