Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Spesialis jantung dan pembuluh darah Mega Febrianora menjelaskan memilih pasangan perlu memperhatikan kecocokan empat hal, yakni kompatibilitas fisik, kecerdasan, emosional, serta seksualitas untuk memastikan jantung tetap sehat karena rasa aman dan tenang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sebagai seorang kardiolog, mungkin nasihatnya adalah cari pasangan yang good for your heart, pasangan yang baik untuk jantung. Yang sudah kita bahas, pasangan yang menenangkan, enggak bikin tensi naik, enggak bikin deg-degan karena emosi terus," kata Mega dalam siaran Kementerian Kesehatan, Jumat, 14 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mega menyebut dalam sebuah hubungan cinta yang stabil terdapat produksi dua jenis hormon, yakni oksitosin yang memberikan keterikatan secara emosional, ketenangan, dan rasa percaya, juga vasopresin yang membuat orang ingin setia dalam hubungan. Untuk mempertahankan keduanya, butuh upaya dari kedua pihak dalam hubungan sehingga kecocokan pasangan menjadi penting.
Dia mencontohkan sejumlah hal yang dapat dilakukan, misalnya memeluk pasangan selama 20 detik, memeluknya delapan kali dalam sehari, atau menciumnya selama minimal 6 detik. "Ada usaha yang dilakukan untuk mempertahankan love hormone tersebut yang akhirnya membuat efeknya adalah jantung jadi tenang, blood pressure-nya turun, heart rate-nya jadi turun," paparnya.
Menikah saat emosi belum stabil
Upaya-upaya tersebut juga menjelaskan mengapa sejumlah orang memiliki bahasa cinta berupa kontak fisik. Jika sedang dalam hubungan atau pernikahan jarak jauh maka pasangan dapat melakukan hal lain yang juga dapat memproduksi hormon oksitosin. Karena itu, kematangan emosional serta kemampuan menyelesaikan masalah menjadi faktor-faktor penting dalam memilih pasangan demi memastikan kesehatan jantung.
Ia juga menjelaskan menurut sejumlah studi, stabilitas emosional terbentuk pada usia 30-an. Sementara pada usia 20-an manusia masih belajar untuk menjadi dewasa. Sayangnya, di Indonesia biasanya orang menikah pada usia 20-an.
"Masa-masa di mana kita belum matang atau belum stabil secara emosional. Kemudian, misalnya pasangan berubah dan ketika pasangan berubah, mungkin tipenya sudah berubah juga. Chemistry-nya juga jadi enggak dapat," paparnya.
Namun, hal tersebut bukan sesuatu yang mutlak karena ada yang matang secara emosional pada usia 20-an. Dia pun mengingatkan untuk tidak perlu terburu-buru mencari pasangan dan lebih cermat memilih.