Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Kenali Penyakit Kulit Vitiligo, Ada Riwayat Keluarga Hingga Bisa Sebabkan Tuli

Hari Vitiligo Sedunia diperingati pada 25 Juni. Kenali penyakit Vitiligo, sebuah penyakit yang tidak menular ini.

25 Juni 2024 | 18.54 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Hari Vitiligo Sedunia diperingati pada 25 Juni. Menurut Vitiligo Research Foundation, Hari Vitiligo Sedunia pertama kali diadakan pada tahun 2011 untuk mengampanyekan penyakit yang terlupakan di mata publik karena sering disepelekan dan disebut hanya akibat dari masalah kosmetik.
 
Menurut dokter spesialis dermatologi venereologi estetika lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Benny Nelson mengatakan vitiligo adalah kondisi kulit yang kehilangan warna kulit (pigmen) yang disebut dengan ‘melanin’ dan membentuk pola mirip warna pada bulu anak sapi.
 
Melanin yang hilang menyebabkan munculnya bercak putih di kulit yang memiliki batas tegas dengan kulit normal. Vitiligo sendiri, kata Benny, digolongkan dalam penyakit autoimun, yaitu kondisi di mana sel imun menyerang selnya sendiri, dalam hal ini adalah melanosit, yaitu sel yang menghasilkan melanin.
 
Secara global, terdapat sekitar 5 juta manusia yang mengalami vitiligo dengan prevalensi sekitar 0,5– 2 persen berada di rentang usia di bawah 1 tahun hingga 55 tahun. Sementara di Indonesia sendiri, penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Soetomo, Surabaya mendapatkan 115 pasien vitiligo sepanjang tahun 2018–2020, dengan prevalensi sebesar 1,4 persen.
 
Benny menyebut sampai saat ini penyebab vitiligo masih belum diketahui, namun bisa dipastikan penyakit ini tidak menular. “Penyebab pasti vitiligo masih belum diketahui, tetapi diduga multifaktorial (disebabkan oleh banyak faktor), seperti faktor genetik, autoimun, stres fisik atau psikis, paparan sinar ultraviolet, zat kimia, atau radikal bebas,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penderita vitiligo bisa saja mengalami penyakit penyerta lainnya yang beberapa diantaranya seringkali terabaikan. Sekitar 20 persen kasus vitiligo dikaitkan dengan penyakit autoimun seperti penyakit tiroid, anemia pernisiosa, penyakit Addison, lupus, rheumatoid arthritis, inflammatory bowel disease, dan alopecia areata.
 
Selain itu pasien juga harus memperhatikan kemungkinan vitiligo menyebabkan tuli sensorineural (kehilangan pendengaran akibat rusaknya saraf) karena sering terabaikan dan baru disadari saat komplikasi sudah di tahap akhir. Terdapat juga kasus jarang yang merupakan bentuk berat dari vitiligo, yaitu Vogt-Koyanagi-Harada Syndrome (VKHS) yaitu vitiligo, poliosis (rambut ikut memutih), kehilangan pendengaran, radang selaput otak, rambut rontok, dan kelainan pada mata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meskipun terdapat beberapa penyakit penyerta pada pasien vitiligo, namun penyakit ini tergolong sebagai penyakit autoimun, yang artinya justru memiliki sistem imun yang berlebihan, yang disebut dengan disregulasi sistem imun. Sebuah penelitian menarik pernah dilakukan di Amerika Serikat yang mengatakan bahwa pasien vitiligo memiliki kemungkinan lebih rendah terkena COVID-19 berat dibandingkan yang tidak memiliki vitiligo.
 
Namun karena masih belum ditemukan penyebab pastinya, vitiligo tidak dapat dicegah secara optimal. Riwayat keluarga yang mengalami vitiligo juga menyumbang faktor risiko sebesar 20 persen. Cara terbaik adalah menghindari paparan sinar ultraviolet terlalu lama karena diduga dapat memicu vitiligo genetik semakin rentan.
 
Perawatan kulit vitiligo
 
Benny mengatakan pada pasien vitiligo, kulit mereka akan rentan terhadap pajanan sinar ultraviolet karena melanin yang tidak dapat dihasilkan sebagai salah satu proteksi kulit. Saat berpergian, pasien vitiligo disarankan mencari tempat teduh dan menggunakan pakaian lengan panjang berwarna gelap dan berbahan lebih padat untuk menghindari sinar matahari. Sebagai contoh, Benny mengatakan pakaian berbahan denim memiliki Sun Protection Factor (SPF) sekitar 1700 sedangkan kaus berwarna putih hanya memiliki SPF sekitar 7.
 
Jika memungkinan, gunakanlah pakaian yang memiliki label ultraviolet protection factor (UPF) dan selalu pakai tabir surya yang memiliki SPF minimal 30 dan PA++, serta diaplikasikan ulang pada kulit setiap 2-3 jam sekali.
 
“Oleh karena itu, penggunaan tabir surya atau sunscreen menjadi hal yang wajib bagi pasien vitiligo. Perawatan kulit dasar (basic skincare) seperti mandi dengan sabun yang bersifat lembut (gentle) dan menggunakan pelembap juga tetap harus dilakukan,” tambah dokter yang praktik di RS Pondok Indah Jakarta ini.
 
Adapun perawatan kulit yang sebaiknya dihindari pada pasien yang menderita vitiligo adalah perawatan kulit yang menyebabkan trauma seperti laser, mikrodermabrasi, skin tanning atau perawatan lain yang bersifat eksfoliatif. Benny mengatakan, sebisa mungkin hindari luka karena pada pasien vitiligo terdapat fenomena Koebner, di mana saat terjadi luka, situs tersebut dapat menjadi lesi vitiligo yang baru.
 
Meskipun kulit pasien vitiligo dapat mengalami fenomena Koebner, nyatanya berdasarkan penelitian tahun 2014, pasien vitiligo memiliki kemungkinan 3 kali lebih rendah untuk mendapatkan kanker kulit melanoma, karsinoma sel basar atau karsinoma sel skuamosa.
 
Hal ini dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, pasien dengan vitiligo akan lebih sering memakai pakaian tertutup, lebih sering mencari tempat teduh, dan lebih teratur memakai sunscreen. Kedua, sel melanosit yang menjadi sumber keganasan kulit pada melanoma, justru dihancurkan oleh sel imun penderita vitiligo.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus