Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Magelang - Suasana Pasar Rejowinangun sudah diwarnai aktivitas transaksi penjual dan pembeli. Satu dari sekian kios yang dagangannya selalu habis tersapu para tamu adalah Getuk Gondok Hj. Sri Rahayu. Seperti yang sudah dikenal banyak orang, getuk adalah panganan tradisional yang terbuat dari bahan utama ketela pohon atau singkong, selalu menjadi buah tangan sekaligus camilan andalan Khas Magelang.
Sejarah Getuk Gondok
Kudapan khas Magelang yang sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang itu tak hanya mengenyangkan, namun juga lezat dan teksturnya lembut. Getuk Gondok pertama kali dibuat sekaligus dipopulerkan seorang warga Desa Karet, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang bernama Ali Mohtar sekitar 1940 an.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ali Mohtar kakek, waktu itu saya belum lahir, kemudian diwariskan ke orang tua, sampai ke saya," kata sang pemilik kios getuk, Sri Rahayu, 60 tahun, kepada Tempo, Ahad, 11 Juni 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sri sang penerus usaha dari generasi ketiga, menuturkan, nama 'gondok' awalnya adalah sebutan untuk Ali Mohtar yang kala itu terkena penyakit gondok saat berjualan getuk. Ali Mohtar yang menjadi pioner pedagang getuk di Dusun Karet itu cukup lama terkena penyakit gondok dan tak kunjung sembuh, maka masyarakat menyebut getuk dagangannya "Getuk Gondok".
Awalnya, Ali Mohtar membuat getuk lantaran kala itu, di masa penjajahan Jepang, beras yang merupakan bahan makanan pokok Indonesia, menjadi barang langka yang sulit di temukan. Sehingga penduduk lokal Magelang berupaya menggantinya dengan singkong yang saat itu banyak terdapat di sekitar rumah dan mudah ditemukan di pasar.
Kemudian, Ali melakukan inovasi agar singkong bisa dikonsumsi dengan rasa lain yang enak, unik dan tidak membosankan. Ali pun mengolah ketela dengan cara dikukus kemudian dihaluskan sekedarnya kemudian dicampur dengan gula hingga terbuatlah getuk tersebut.
Para pembeli yang mengerumuni kios Getuk Gondok Hj Sri Rahayu khas Magelang. Foto: TEMPO | Arimbihp.
Seiring berjalannya waktu, Sri sebagai sang penerus usaha Getuk Gondok akhirnya memberi nama produknya Getuk Gondok Hj. Sri Rahayu. Sehari-harinya, ibu empat anak itu mengolah kurang lebih 25 kilogram singkong menjadi ratusan getuk untuk dijual ke pasar.
"Ada juga yang langsung pesan ke rumah, dikemas dalam berbagai bentuk, ada dus, plastik mika, atau tampah dan tumpeng," kata Sri Rahayu. Dari hasil berjualan getuk itu jugalah, Ali Mohtar hingga Sri Rahayu bisa ke Tanah Suci dan menyekolahkan semua anaknya hingga menjadi sarjana.
Rasa Getuk Gondok Dipertahankan Keasliannya
Sembari melayani pembeli yang mulai ramai tiap pukul 09.00 hingga 15.00 WIB, Sri menceritakan, dirinya tidak tergoda memodifikasi getuknya dengan rasa kekinian lantaran ingin mempertahan originalitas produknya. "Rasa utama ori (manis gula pasir), cokelat, dan pandan. Bentuknya ada yang kotak lingkaran dan bulat seperti bakso," ujarnya.
Kristimewaan lain dari getuk yang diproduksi Sri yakni tidak menggunakan bahan pengawet kimia apapun, namun bisa bertahan hingga 7 hari. Selama pengolahan, Sri dan karyawannya selalu memilih singkong dengan kualitas terbaik, bahan-bahan alami seperti gula dan pandan, serta pengolahan yang menggunakan proses manual. "Pengolahannya mulai dari pengukusan bisa semalam, menghaluskannya juga ditumbuk tanpa alat, jadi bisa awet," ujar Sri.
Penjualan Getuk Gondok Hj. Sri Rahayu
Dalam sehari, Sri mengaku, bisa menjual lebih dari 300 kardus getuk ukuran sedang dan 200 an kemasan mika. "Bisa meningkat hingga 3 kali lipat produksi dan penjualnya saat Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru, karena banyak yang menjadikan getuk gondok ini sebagai oleh-oleh," kata dia. Apalagi, Getuk Gondok Hj. Sri Rahayu dibanderol dengan harga cukup terjangkau yakni mulai dari Rp 10.000 per bungkus mika.
Bukan hanya dari Magelang, pembeli Getuk Gondok Hj. Sri Rahayu juga datang dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan luar negeri seperti Singapura, Malaysia, dan Jepang. Seorang pembeli asal Sulawesi, Domas (37) mengaku sudah berlangganan getuk gondok lebih dari 20 tahun.
Domas yang dulunya sempat tinggal di Magelang mengatakan, setiap pulang kampung, ia selalu menjadikan getuk sebagai buah tangan andalan. Menurut Domas, citarasa getuk gondok tidak berubah, tetap enak meski ia kini sudah berpindah ke luar kota.
Pilihan Editor: 4 Macam Getuk Legendaris dari Jawa Tengah
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.